Selepas menamatkan pendidikan di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bali, tanpa pikir panjang Nanta langsung memulai langkahnya menjadi jurnalis dengan bekerja di salah satu media yang cukup eksis. Langkahnya tampak tidak menemui halangan yang berarti, mengingat sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) ia sudah menaruh ketertarikan dengan dunia jurnalistik. Melihat Najwa Shihab yang sigap melaporkan peristiwa Tsunami Aceh, membawa khayalannya beterbangan.
“Jika aku jadi jurnalis, akan banyak tempat, orang, dan tantangan yang bisa ditemui”.
Memulai dengan mengikuti ekstra kurikuler jurnalistik hingga menekuni dunia itu di Lembaga Pers kampus membuatnya cukup kaya akan pengalaman. Bukan bosan yang dirasakannya, makin hari ia semakin tahu bahwa masih banyak yang belum diketahui dalam dunia ini.
“Nan, sekarang kamu sudah besar, sudah lulus, dan sekarang sudah kerja. Bantu-bantu keluarga ya, lakukan dengan bertanggung jawab,” ujar Bapaknya di sela-sela memotong rumput untuk makanan sapi.
“Pasti, Pak. Jangan khawatir. Nanta pasti bantu-bantu keluarga,” sahut Nanta menanggapi nasihat bapaknya sambil melihat hamparan padi yang mulai menguning.
Sebagai seorang anak yang lahir dari keluarga petani, membuatnya terbiasa hidup sederhana dan mengikuti segala aturan yang ada. Kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, membuatnya tersadar, bahwa negara tempatnya tinggal memberi setiap warga negara kebebasan untuk berpendapat. Berbeda dengan desa tempatnya tinggal, sangat bergantung pada ketokohan untuk mengambil keputusan. Dan rakyat biasa seperti dirinya hanya memiliki peran sebagai silent majority.
Kini ia mendapat kesempatan untuk mengakses tempat yang tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang. Berbekal semangat belajar dan rasa ingin tahu yang tinggi, ia datangi banyak pihak guna memperoleh berita untuk melepas dahaga informasi masyarakat. Mulai dari kantor kepolisian, kejaksaan tinggi, hingga kantor pemerintahan tidak absen ia datangi. Kalimat yang dikatakan pimpinan redaksinya menambah semangat untuk belajar dalam debutnya menjadi jurnalis.
“Nan, tidak banyak yang memiliki kesempatan ini. Jadikan ini tempat untuk belajar. Tidak hanya untuk mencari nafkah, tapi juga untuk meningkatkan kualitasmu sebagai jurnalis,” ujar Pak Oka.
***
Terik matahari yang memancar tanpa dihalangi setitik awan menggiring sekumpulan wartawan yang tengah memburu berita di kantor kepolisian. Kebanyakan dari mereka memenuhi kantin di pojokan kantor dengan beberapa meja dan kursi kayu yang tertata cukup rapi. Nanta menyeruput kopi hitam tanpa gulanya meski teman-teman wartawan di sekelilingnya terlihat cukup sibuk berdiskusi tentang berita-berita yang sudah mereka dapatkan.
“Ehh Nan, sudah tahu belum? Ada berita panas nih,” ujar Adi sesudah mendaratkan diri di sebuah kursi kayu.
“Hah? Kopi panas?” sembari mendekatkan telinganya ke dekat Adi.
“Bukan kopi panas, tapi berita panas, Nan!” sahut Adi dengan volume suara lebih keras.
“Ohh, berita panas. Memangnya berita apa, Di?”
“Barusan aku dapat kabar kalau ada isu korupsi dana desa. Jumlahnya nggak main-main Nan, 2 milyaran rupiah. Gila nggak tuh?!”
“Gila!!! Seriusan?! Saat rakyat kesusahan masih ada saja oknum pejabat dengan santainya makan uang rakyat. Harus dibuat kapok tuh,” diikuti dengan tumpahan kopi yang baru sedikit diminum oleh Nanta.
“Ssstttt!!! Jangan keras-keras, Nan, ini masih sebatas isu. Pihak berwenang juga masih dalam proses penyelidikan,” sambil mengambil tisu dan membersihkan meja.
“Gimana kalau kita investigasi kasus ini, setelah dapat info jelas kita naikkan jadi berita. Biar kapok mereka!” ujar Nanta menggebu-gebu.
“Ngawur! Harus izin dululah sama pimpinan redaksi, jangan asal investigasi gitu, Nan,” Adi mengingatkan.
“Ya sudah, nanti kita omongin lagi itu acara konferensi pers sudah mau mulai,” tutup Nanta sambil mengajak Adi beranjak dari kantin.
Bulan penuh tampak menyembul di langit dan menerangi pinggiran kota kala itu, beberapa kendaraan mulai terparkir di halaman rumah yang saat ini difungsikan sebagai kantor. Seperti biasa, setiap malam ia dan beberapa teman wartawannya berkumpul untuk menyelesaikan berbagai berita yang sudah mereka himpun. Nanta cukup menikmati rutinitas yang sudah ia jalani hampir satu tahun ini.
Namun belakangan, ia agak terganggu dengan isu korupsi yang sempat disampaikan oleh Adi saat di kantor kepolisian beberapa waktu lalu. Keresahannya semakin menjadi tatkala isu ini semakin sering dibicarakan di tempatnya bekerja, “Kenapa banyak yang membicarakan, tapi tak satu pun yang berani memberitakannya,” pertanyaan yang selalu timbul tapi hanya bisa ia simpan sendiri.
Dalam duduknya, ia membulatkan tekad untuk memulai investigasinya, isu korupsi ini berhasil memicu adrenalinnya untuk melompati batasan yang ia miliki. Rasa kesalnya pun berhasil melampaui rasa takutnya.
Bermodal informasi yang sangat terbatas, ia mulai investigasinya dengan menemui Adi, pemberi informasi tentang isu korupsi yang menyeret oknum pejabat di daerahnya. Meski timbul tenggelam, kasus ini sudah menjadi sorotan banyak mata. Hal ini memperkuat keinginannya membuka kasus yang sangat tidak manusiawi ini ke hadapan masyarakat.
“Di, dari mana kita harus mulai?”
Tatapan Adi menerawang ke langit seolah-olah mencari petunjuk atas pertanyaan Nanta yang terlihat begitu bersemangat. Asap kendaraan memberikan stimulus yang buruk terhadap kecepatannya dalam mencari ide. “Tunggu, beri waktu aku berpikir sebentar,” ujarnya.
“Jangan kelamaan, hari keburu siang.” Nanta mengingatkan.
Seutas senyum mulai tersimpul dari wajah Adi, sepertinya Adi sudah menemukan jawaban dari pertanyaan yang beberapa waktu lalu disampaikan temannya. “Aku tahu kita harus mulai dari mana. Ayo berangkat, jangan buang-buang waktu lagi,” Adi langsung beranjak ke sepeda motornya.
“Oii, tunggu! Punya jawaban kok disimpan sendiri!” protes Nanta lalu menyusul Adi dari belakang.
***
Waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi saat mereka memasuki gedung utama Kantor Kejaksaan. Langkah mereka agak cepat menuju ke salah satu ruangan yang berada di lantai dua. Senyum mereka tersimpul setelah berhasil menemui orang yang dicari—Pak Ketut merupakan salah satu pejabat Kejaksaan Negeri yang bertugas mengurusi kasus dugaan korupsi dana desa oleh oknum pejabat di daerahnya. Basa-basi menjadi senjata ampuh untuk memulai setiap pertemuan, tak terkecuali pertemuan mereka dengan Pak Ketut.
Tidak mau melewatkan kesempatan emas, Nanta mulai melempar satu per satu pertanyaan yang sudah ia siapkan. Pak Ketut pun menjawab seluruh pertanyaan dengan lancar meski di beberapa bagian ia agak tergagap dan terdiam sejenak sebelum menjawab pertanyaan Nanta.
“Tumben saya lihat ada anak muda yang begitu semangat mengusut kasus seperti ini. Kalian tidak takut konsekuensinya?” tanya Pak Ketut tersebut sesudah sesi wawancara.
“Untuk apa takut Pak? Kami hanya ingin menunjukkan kelakuan pejabat yang tidak punya simpati pada masyarakatnya, meski di tengah situasi sulit seperti sekarang,” sahut Nanta.
“Semangat seperti ini yang saya suka, mengingatkan saya akan masa muda dulu,” ujar Pak Ketut mencoba melayangkan ingatannya ke masa mudanya dulu. Saat ia dan teman-teman kuliahnya coba mengusut kasus korupsi dana beasiswa yang dilakukan oleh pihak rektorat. Nahas, ia dan teman-temannya lebih dulu dibungkam dengan ancaman diberhentikan sebagai mahasiswa.
“Apa kalian yakin melanjutkan ini?”
“Yakin, Pak. Ini kami lakukan tidak untuk diri kami sendiri. Tapi untuk kepentingan orang banyak,” tegas Nanta.
“Baiklah kalau begitu. Setelah ini kalian bisa coba datangi kantor pemerintah yang saya sebut tadi untuk mencari keterangan lebih lanjut,” tutup Pak Ketut.
Sejatinya, jauh di dalam diri, ia menyimpan rasa takut yang coba ia tumpuk dengan semangat membongkar kasus yang sering disebut juga sebagai extra ordinary crime. Tindak kejahatan luar biasa yang hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Rasa takut bertambah karena apa yang dilakukannya adalah inisiatif sendiri tanpa sepengetahuan Pak Oka. Kini ia sudah terlanjur memulai langkahnya, dalam pikirannya hanya satu—bagaimana cara untuk melangkahkan kakinya ke garis akhir.
Mereka sudah berada di kantor pemerintahan yang disebutkan Pak Ketut. Langkah mereka mengarah ke gazebo yang terdapat di area halaman kantor. Ia mengambil botol minum di tasnya, “..glek..glek..glek..” dalam waktu singkat air minum dalam botol tersisa setengahnya.
“Kamu haus apa doyan sih?” ujar Adi disambut gelak tawa oleh mereka berdua.
Suara kicau burung yang tengah bertengger di ranting pohon mengantarkan pikirannya berkelana mencoba menebak-nebak apa yang akan terjadi di masa depan. Nasib-nasib nahas wartawan senior yang mencoba mengungkap kasus-kasus besar mulai terpampang jelas di depannya. Sentuhan angin di wajahnya membawa ingatannya pada cerita Pak Oka saat awal-awal ia menjadi wartawan.
Pak Oka menceritakan bagaimana teman seperjuangannya memutuskan berhenti menuliskan berita tentang mega korupsi pembangunan resort di tahun 1990-an disebabkan oleh berbagai ancaman yang diterima—tidak hanya untuk dirinya, tapi ancaman tersebut juga diterima oleh keluarganya. Rekaman percakanannya dengan Pak Oka berhasil membuat bulir-bulir keringat mengalir di pelipisnya, beberapa kali ia juga coba menarik nafas panjang, menenangkan jantungnya yang berdegup cukup kencang.
“Kamu kenapa, Nan?”
“Aku mulai takut dengan apa yang sudah kita mulai,” sahutnya tanpa memandang lawan bicaranya.
“Loh, barusan di Kejaksaan kamu sangat bersemangat. Kenapa mendadak nyalimu ciut?” Adi mulai penasaran.
“Barusan aku terbayang risiko yang bisa kita hadapi, Di. Bisa jadi kita banyak dapat ancaman pembunuhan habis ini,” jelas Nanta.
“Ya, namanya juga risiko, Nan. Kita kan sudah dewasa, ya harus berani hadapi risiko secara bertanggung jawab.”
Kalimat yang dikatakan Adi mengingatkannya dengan nasihat bapaknya. “Nan, sekarang kamu sudah besar, sudah lulus, dan sekarang sudah kerja. Bantu-bantu keluarga ya, lakukan dengan bertanggung jawab.”
Kalimat itulah yang akhirnya berhasil mengubur rasa takut yang sempat menguasai, dan digantikan dengan keyakinan membuncah untuk menyelesaikan investigasinya bersama Adi.
Langkah mereka mantap menemui beberapa pejabat yang direkomendasikan oleh Pak Ketut. Banyak pertanyaan mereka lontarkan kepada beberapa pejabat—kebanyakan dari mereka pun menampik dan berdalih bahwa tidak mengetahui isu yang sedang mengemuka. Bahkan beberapa merespon kedatangan mereka dengan sangat sinis, seolah-olah mereka adalah ancaman yang harus segera dilenyapkan.
“Dari mana kalian dengar isu semacam itu? Bohong itu!”
“Kalau soal itu saya kurang tahu, coba tanya ke sebelah. Sudah sudah, saya mau lanjut kerja dulu.”
“Itu hanya isu belaka, jangan langsung percaya.”
Hal demikian tidak membuat mereka patah arang, mereka cukup puas dengan apa yang sudah mereka dapatkan. Melalui gawainya, ia mulai menyusun berbagai informasi yang sudah didapatkannya hari itu. Merangkainya menjadi informasi yang utuh dan bisa disampaikan ke masyarakat. Belum juga ia menuntaskan satu kalimat, layar gawainya menunjukkan ada panggilan masuk dari Pak Oka.
“Nan, bisa ke kantor sekarang?” ujar Pak Oka dari seberang telepon.
“Bisa, Pak. 15 menit lagi saya sampai,” sahutnya tanpa basa-basi.
Ia pun menyimpan gawainya ke dalam saku celana seraya meninggalkan Adi yang masih duduk di gazebo.
“Di, aku balik duluan ya. Ada panggilan mendadak dari bos,” ujar Nanta sambil berjalan ke arah parkiran.
“Wah, dapat bonus nih,” canda Adi yang masih duduk sambil memainkan gawainya.
Pikirannya mulai liar, berbagai spekulasi timbul tenggelam di kepalanya. Ada apa gerangan tiba-tiba Pak Oka menghubunginya, mendadak pula. Apakah ini berhubungan dengan yang dilakukannya hari ini? Kendati pun iya, siapa yang membocorkannya? Berbagai pertanyaan yang muncul di kepalanya membikin ia makin pusing selama dalam perjalanan. Menjelang pukul 2 siang, ia tiba di kantor.
Langkahnya cukup hati-hati memasuki ruangan Pak Oka, berharap hal baik selalu menyertainya. Pak Oka terlihat membaca beberapa pesan di ponselnya saat ia melangkahkan kaki kirinya ke dalam ruang kerja pimpinannya. Udara segar yang masuk ke ruangan Pak Oka melalui jendela tidak membatalkan niat bulir-bulir keringat meramaikan pelipisnya. Jantungnya semakin berdegup kencang saat ia sudah duduk di hadapan Pak Oka yang kini menatap dirinya lekat-lekat.
“Langsung saja ke poinnya Nan, apa kamu merasa melakukan hal di luar tugas-tugas yang saya berikan?” sambil melempar tatapan tajam ke arah lawan bicaranya.
“E-ee, maksud Bapak?” tanya Nanta agak terbata-bata.
“Begini, saya minta kamu sudahi apa yang sedang kamu lakukan. Hal tersebut sangat berisiko tidak hanya buat kamu, tapi juga buat perusahaan ini. Apa kamu mau apa yang kamu lakukan berdampak pada keberlangsungan perusahaan dan pekerjaan teman-temanmu? Tentu tidak bukan?”
“Mohon maaf, Pak, bukan bermaksud untuk tidak sopan. Tapi saya belum mengerti apa yang Bapak maksud.” Nanta masih menerka-nerka arah pembicaraan Pak Oka.
“Jangan pura-pura tidak tahu, Nan, yang saya maksud dari tadi adalah isu korupsi yang lagi jadi bahan perbincangan. Itu adalah isu yang sangat sensitif, apalagi kasus ini melibatkan beberapa pejabat yang punya kekuasaan begitu besar. Jadi kalau kita mengambil manuver terlalu dalam, maka itu akan mengancam keberlangsungan perusahaan tempat kita mencari nafkah,” tegas Pak Oka.
“Tapi, Pak, kasus ini sangat merugikan rakyat. Kita sebagai pihak yang memiliki kelebihan untuk mengakses sumber informasi harusnya memberikan informasi yang utuh kepada rakyat terkait kasus ini, supaya rakyat tahu kelakuan pejabatnya yang tidak punya rasa simpati terhadap kesulitan rakyat,” Nanta coba membela diri.
“Saya memaklumi semangatmu, saya memahami idealisme yang kamu yakini. Tapi, kita hidup di dunia yang penuh dengan kepentingan. Idealisme yang kita bawa pada akhirnya dibenturkan pada realita yang ada. Saat ini kamu hidup di realitas yang penuh kepentingan, di satu sisi kasus ini sangat merugikan rakyat, tapi di satu sisi kita dihadapkan dengan kepentingan untuk bertahan hidup. Jadi kira-kira mana yang kamu pilih jika dihadapkan dengan dua pilihan tersebut?” Pak Oka mulai menyudutkan Nanta.
“Tapi, Pak, saya sudah dapat beberapa informasi terkait isu ini. Menurut saya kalau isu ini kita angkat, kita akan dapat respon yang bagus dari masyarakat!” Ia coba meyakinkan.
“Begini deh, Nan, saya kasi pilihan. Keluar dari media ini dan silakan lanjutkan investigasimu dengan segala risikonya. Atau hentikan investigasimu dan silakan lanjutkan karirmu di media ini.”
Bagaikan petir di siang hari, kata-kata Pak Oka menyambar kesadaran Nanta. Pandangannya seketika kosong beberapa saat, suara-suara bising lalu lalang kendaraan di depan kantornya juga nampak enggan singgah di telinganya. Ia hanya bisa menatap Pak Oka tanpa mengeluarkan sepatah kata dari bibirnya.
Ia kembali teringat nasihat Bapaknya, “Nan, sekarang kamu sudah besar, sudah lulus, dan sekarang sudah kerja. Bantu-bantu keluarga ya, lakukan dengan bertanggung jawab.”
Apakah dengan menghentikan investigasi isu korupsi adalah bentuk membantu keluarga? Bayangan saat keluarganya mendapatkan ancaman dari orang-orang tidak dikenal muncul di kepalanya.
“Terima kasih atas pilihannya, Pak, izinkan saya memikirkannya terlebih dulu!” Lantas Nanta bangkit dari duduknya dan mohon undur diri dari ruangan atasannya.
Wajahnya merah padam, tangannya mengepal seolah ingin menghantam apapun yang ada di hadapannya. Kebenciannya semakin meruncing saat membayangkan para pejabat yang sudah makan uang rakyat itu tertawa ketika berhasil membungkam media yang harusnya menyuarakan kebenaran dan menjebloskan mereka ke jurang kegelapan.
“Bangsat!” ujar Nanta dalam hati, lantas meninggalkan kantornya dengan kecepatan tinggi. [T]
Denpasar, Agustus 2021
___