Jalan Tantular, Renon Denpasar malam itu tampak sepi, sesekali pengendara roda dua melintas. Hanya beberapa bagian jalan diterangi lampu merkuri, bagian lainnya gelap, tapi tidak terlalu pekat, masihlah mata manusia menangkap suatu benda dalam samar-samar. Di sanalah Fitri menunggu pelanggan, mengenakan cut-out dress berwarna merah, memamerkan sudut bahunya yang seksi, bagian atas payudaranya terlihat indah menyembul, tas kecil berwarna emas menggelantung dipundak kirinya, jam tangan putih mencolok di pergelangan tangan kanan, wajahnya tirus-make up sederhana, bibirnya tipis menggoda, rambutnya ia gerai sebahu, kakinya ramping bergerak seperlunya dan sesekali menoleh ke kanan ke kiri, barangkali ada pelanggan dari kejauhan. Sementara motor Vario warna merah nangkring dekat pohon, dalam kondisi siaga, berstandar dua.
Tidak hanya Fitri, sejumlah kawan Fitri yang lain menyebar di sepanjang jalan Tantular. Ada yang menunggu di bawah lampu, ada yang duduk di sepeda motor, ada yang santai di gubuk kecil dekat sawah, ada yang berdiri di bawah pohon, ada pula yang bersembunyi di semak-semak. Jika pengendara motor melintas, mereka biasanya memberi kode dengan mengedipkan cahaya senter berulang kali atau memanggil dengan suara “ssssstt..sssst..sssst…sssst’
Jika pelanggan datang hanya ada dua pilihannya ke indekos atau di gedung kosong. Kebanyakan pelanggan dewasa memilih indekos sementara pelanggan remaja memilih gedung kosong. Bagi pelanggan dewasa kenyamanan adalah hal penting, sementara bagi usia remaja mereka hanya coba-coba untuk mencari sensasi baru.
“Seratus di kos, kalau lima puluh di gedung tua,” kata Fitri tersenyum kepada De Pales
“Gedung tuanya jauh?” tanya De Pales
“Tidak jauh, jalan kaki sampai, kamu mabuk yah?”
“Hanya beberapa teguk arak saja, agar berani ke sini!”
“Oooo, lalu maunya di mana?”
“Kalau ke kos, ke mana?”
“Dekat, kamu bonceng aku, motorku biar di sini saja, nanti dipinjam sama yang lain!”
Fitri dan De Pales menyusur jalan malam, menuju indekos di daerah pemukiman Renon. Dalam perjalanan mereka bertukar nama serta berbincang renyah lainnya. Dari Fitri, De Pales tahu jika ingin membesarkan payudara cukup mengkonsumsi pil KB teratur dalam kurun waktu tertentu. Dari De Pales, Fitri tahu daerah Renon ini dulunya adalah sawah dan rawa-rawa yang sangat luas, dulu De Pales kecil suka bermain di Renon bahkan jika ke pantai Sanur ia dan teman-temannya bermain di sawah terlebih dahulu.
“Aku takut mendekati perempuan, Fit,” kata De Pales di atas motor kesayangan, Grand Astrea warisan ayahnya
“Lalu, kenapa kamu berani sama aku, kan aku perempuan?”
“Kalau kamu kan beda, setidaknya dulu kamu seperti aku,” ujar De Pales sambil tertawa.
De Pales terkejut sesampainya di indekos Fitri. Indekos kelas elite, lantai tiga, ada fasilitas kolam berenangnya. Ia seperti terhipnotis ketika menaiki anak tangga menuju kamar Fitri, itu pertama kali dia menaiki tangga yang bagus, kinclong dan berlantai marmer.
Biasanya tangga tempatnya bekerja di Pasar Kumbasari, kumal, kotor, tak terurus. Sementara tangga indekos Fitri bak istana raja-raja, pun pegangannya di cat berwana emas, beberapa lukisan di dinding berbingkai kayu, ada lukisan petani sedang merawat petakan sawahnya, ada pula lukisan gedung-gedung megah menjulang langit, lukisan matahari tenggelam berwarna jingga disaksikan oleh seorang perempuan yang duduk di dermaga.
Ketika melintasi semua lukisan itu Fitri melihat wajah De Pales begitu terpesona, seperti orang desa masuk kota, ling lung. Fitri mengatakan semua lukisan tangga itu penuh kepalsuan, mana ada petani zaman sekarang yang berbahagia hidupnya, sawah-sawah was-was diburu untuk bangunan rumah, mana ada pantai yang bisa dikunjungi untuk menikmati matahari tenggelam, pantai sudah milik hotel.
Kamar Fitri di pojok-lantai tiga, De Pales berdiri di depan pintu lalu menengok ke bawah, melihat kolam renang lengkap dengan tatanan kebun yang rapi. Di kolam ada 3 laki-laki dewasa bermain air, satu di antaranya meloncat ke air hingga menimbulkan bunyi kecipak yang riuh, yang lain menimpali dengan tawa dan penuh ejekan. Dari dialeknya mereka orang luar Bali. De Pales berfikir ketiga lelaki tersebut tidak menghiraukan kehadirannya bersama Fitri, ia baru menyadari mereka tidak ada menyapa, begitu pun sebaliknya. Beda dengan di pasar, setiap orang ia kenal dan saling menyapa jika bertemu, malah pedagang-pedagang seperti keluarganya sendiri. De Pales teringat dengan Niang Tu pedagang nasi campur Be Tutu di dekat jembatan pura Melanting, yang selalu memberinya sarapan atau makan siang gratis. Kadang De Pales membantu Niang Tu menyiapkan bahan makanan atau mencuci piring jika warungnya ramai.
“Kenapa mereka tidak menyapa kita Fit?” tanya De Pales lugu
“Di sini sangat individu orang-orangnya, pulang kerja, tidur, sampai besok, lalu kerja lagi, tidak ada istilah gosip-gosip ria, makanya aku suka di sini, seperti tidak di Bali,” jawab Fitri sembari membuka pintu dan melepas sepatu high hillnya di depan pintu.
Kamar tidur Fitri rapi, kesetnya dari bulu-bulu hitam yang lembut, sejumlah foto diri dan foto keluarga berdiri di atas kulkas. Di pintu kulkas berbagai pernak-pernik dari kaca menempel dengan sejajar dan simetris, Di meja ada beberapa buku cerita pendek berbahasa Inggris berjejer sesuai ejaan judulnya, beberapa pot pohon kaktus di bawah lampu tidur, selebihnya tembok berwana ungu kelabu dan lampu temaram berwarna kuning di beberapa sudut ruang. De Pales jadi ingat sebuah cafe dekat rumahnya, remang-remang dan penuh umpatan jika malam telah larut. Ada pagawai yang ia kenal, Luh Nadi, wanita beranak satu yang ditinggal suaminya karena mengetahui pekerjaan Luh Nadi sebagai wanita penghibur. Padahal niat Luh Nadi untuk membantu perekonomian suaminya sebagai supir taksi yang tengah goyah saat pariwisata sepi tamu.
“Kamarmu rapi sekali, seperti iklan hotel-hotel yang sering aku temukan di majalah bekas di pasar,” ujar De Pales saat melihat-lihat pohon kaktus dengan hati-hati
“Awas itu beracun!”
“Apa? Beracun? Hampir saja!”
“Aku bercanda!”
Malam itu De Pales berbincang hangat bersama Fitri. Itu pertama kali De Pales berbincang dengan seorang perempuan, Bagi Fitri De Pales adalah lelaki kesepian yang sedang membutuhkan teman untuk mengobrol dan baru kali itu dia mendapatkan pelanggan hanya untuk mengobrol, bukan menikmati tubuhnya dengan nafsu menggebu.
De Pales menceritakan kehidupannya di Pasar Kumbasari yang penuh sesak dengan pekerjaan. Di waktu subuh dia menjadi petugas kebersihan di lantai bawah, menyapu sisa-sisa barang jualan yang tidak bagus kualitasnya, sayur mayur yang busuk, plastik-plastik bekas, bungkus tempe, bungkus kacang dan lain sebagainya, kemudian lantai disemprot dengan selang, airnya disedot dari Tukad Badung. Siang hari dia jadi tukang parkir di sisi utara, menjaga keamanan motor dan barang belanjaan para pengunjung. Sore hari ia biasa membantu mengangkat meja untuk pasar malam, satu kali angkat upahnya tak seberapa, maka dari itu ia harus mengangkat sekian kali agar upahnya lumayan. Jika malam ia biasanya jadi petugas pengumpul iuran yang akan diserahkan kepada aparatur pasar.
“Setiap hari aku di pasar, bekerja. Kadang aku juga tidur di pasar, daripada pulang ke rumah!”
“Rumahmu adalah pasar yah De, bisa bisa kamu jadi kepala pasar lo suatu saat nanti,” ujar Fitri sembari beranjak ke kulkas mengambil dua botol biir ukuran besar
“Bagaimana caraku membayarnya, uangku hanya seratus ribu?”
“Tidak usah, lagipula tidak afdol mengobrol tanpa minum!”
Sementara Fitri menceritakan tentang bagaimana ia tumbuh dalam keluarga yang hangat dan berkecukupan, sewaktu kecil ia selalu menjadi bulan-bulanan kakak-kakak perempuannya dari berdandan menor, memakai rok, baju, miniset, bikini, anting-anting, kalung, bando dan lain sebagainya. Namun ia selalu suka melihat senyum kakak-kakaknya ketika tertawa.
“Mungkin karena sering memakai baju perempuan aku ketularan juga, jadi kayak sekarang,” katanya sambil tertawa kecil.
Kemudian ia melanjutkan, cerita di balik beberapa tato yang menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Tato kupu-kupu merah dipergelangan tangan fitri mengingatkannya pada ibu yang sakit hati ketika Fitri memilih jalan menyimpang dari apa seharusnya. Anak laki-laki semestinya meneruskan tradisi keluarga dan menjadi simbol keagungan.
“Kamu tahu sendiri bagaimana orang Bali mengistimewakan anak laki-laki, ibuku sangat kecewa ketika pilihanku seperti ini. Ibu suka kupu-kupu, beberapa ia awetkan untuk menghiasi tembok rumah!”
Ia melanjutkan cerita tentang tato sebatang rokok yang menyala di lengan kirinya. Rokok itu kecil tidak seperti ukuran batang rokok biasanya. Tato itu mengingatkan tentang ayahnya yang saban hari merokok di beranda rumah, sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula kesukaannya. Tidak ada pekerjaan yang ia kerjakan, karena memang tidak perlu, keluarga Fitri tidak kekurangan apapun, pembagian tanah dari keluarga puri sudah mencukupi kebutuhan hidup, Kalaupun terpaksa bekerja ayahnya hanya datang ke perusahaan keluarga untuk suatu hal penting yang tidak dapat ditangani oleh pegawai. Semua perusahaan telah diatur dalam sistem modern. Jadi ayahnya tidak perlu repot-repot.
“Kita tidak perlu bekerja, nikmati hidup saja seperti ini. Kamu tidak perlu khawatir gung, hidupmu bersama anak istrimu keluarga yang menanggung,” kata Fitri mengucapkan kalimat ayahnya
“Jadi kamu keluarga puri?”
“Tidak usah dibicarakan, lagian aku sudah keluar dari kartu keluarga, mereka mengadopsi anak laki-laki dari pamanku, untuk menggantikanku!”
Tidak terasa satu jam berlalu, mereka hanya bercakap di atas kasur putih tulang, bergambar bunga mawar merah yang kelopaknya gugur – terbang.
***
“Hari ini purnama yah De ? Pantas bulannya penuh dan bercahaya,” kata Fitri ketika De Pales mengantarnya ke jalan Tantular.
“Minggu depan aku datang, kita mengobrol lagi yah, aku akan bekerja lebih keras, agar dapat uang lebih, dua ratus ribu, dua jam kan?” [T]
___