Ini cerita saya ketika berjalan-jalan pada dua klenteng pada suasana Tahun Baru Imlek 2572 di Singaraja, Bali. Yang pertama di klenteng Ling Gwan Kiong yang merupakan klenteng tertua di Buleleng. Dan yang kedua adalah klenteng Seng Hong Bio yang lokasinya tak jauh dari Ling Gwan Kiong.
Perayaan imlek tahun ini tak seperti biasanya. Suasana kedua klenteng ini sangat sepi. Seperti tak ada perayaan sama sekali. Hanya tampak beberapa pengurus klenteng yang berjaga untuk menyapa umat yang datang beribadah.
Klenteng dengan nuansa merah itu sangat hening. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang meriah disertai hiruk pikuk warga Tionghoa yang datang melakukan persembahyangan di klenteng.
Tahun ini perayaan dibuat secara sederhana dan terbatas karena masih dalam situasi pandemi Covid-19. Jelas saja semua harus dibatasi. Tidak mau juga kan kalau membandel dan akhirnya muncul klaster klenteng atau klaster imlek? Tapi menurut saya pribadi, perayaan dengan keramaian atau tidak, sama saja. Tidak mengurangi makna.
Nah dengan sepinya umat Tri Dharma yang datang ke klenteng, saya pun jadi lebih leluasa menelisik ke dalam dan memperhatikan satu demi satu sajian yang tersedia di atas altar. Bukannya tidak sopan, tapi karena penasaran juga.
Apa alasan di balik makanan dan minuman yang tersaji. Saya pun mencoba menanyakan pelan-pelan satu demi satu hal itu kepada Yap Liong Gwan. Salah satu pengurus T.I.T.D Ling Gwan Kiong.
Oke. Mari kita mulai. Hal pertama yang dilakukan warga Tionghoa saat hari raya Imlek adalah sibuk berberes-beres atau membersihkan segala jenis kotoran dan sampah yang ada di rumah. Begitu juga dengan di klenteng.
Ternyata membersihkan rumah dan tempat ibadah itu pun ada maknanya. Tidak hanya sekedar bersih-bersih saja. Dan saya pun baru tahu. Jendela dilap, lantai disapu, dan kamar-kamar dirapikan untuk membuang sampah lama yang mungkin masih tertumpuk sejak tahun baru. Termasuk sampah mantan. Upsss… hehehee.
Ternyata tradisi ini memiliki makna membuang kesialan dari tahun sebelumnya. Selain itu, rumah pun jadi lebih bersih dan enak dilihat untuk perayaan Imlek. Namun, pada saat perayaan Imlek sendiri, rumah tidak boleh lagi dibersihkan karena sama saja dengan membuang keberuntungan di tahun yang baru.
Setelah bersih dan tidak ada lagi sampah, mulailah dihias dengan nuansa merah. Kita semua pasti tahu kalau Imlek sangat identik dengan warna merah. Warna merah bisa ditemukan di ornamen dekorasi, rumah, bahkan pakaian dan aksesoris yang dikenakan saat Imlek.
Warna merah sendiri mempunyai lambang kemakmuran dan keberuntungan bagi kaum Tionghoa. Selain itu, warna merah juga dipercaya dapat mengusir ‘Nian’, monster mistis di legenda Tionghoa yang takut pada warna ini.
Setelah dihias, lalu dipercantik lagi dengan memasang tebu di depan pintu. Tebunya utuh dari akar sampai daun. Ada juga alasan dibalik pemasangan tebu di depan pintu ini. Di dalam legenda Tionghoa, dahulu kala ada seorang raja yang dikejar musuh.
Dalam pelariannya raja itu masuk dalam kebun tebu yang lebat. Persembunyiannya dalam kebun tebu itu membuat si raja tidak ditemukan oleh musuh. Sejak saat itu tebu dipakai ketika ada perayaan besar Tionghoa. Salah satunya Imlek. Singkatnya tebu disimbolkan sebagai penolak bala.
Lain lagi kalau tebu di atas altar. Karena rasa tebu cenderung manis, diharapkan warga Tionghoa mendapat hari raya yang manis. Selanjutnya pada tebu ada ruas-ruasnya. Itu dimaksudkan segala sesuatu yang dilakukan harus ada tahapannya.
Selain itu ada juga buah-buahan yang tersaji. Ada buah pisang, jeruk, apel silik, delima. Dan yang tak pernah absen adalah kue keranjang serta minuman teh dan arak.
Mari kita kulik satu per satu. Buah pisang saat imlek yang digunakan adalah pisang mas atau pisang raja, karena melambangkan kemakmuran. Jeruk kuning, biasanya disertai daun yang masih menempel pada batang jeruk. Dalam bahasa Mandarin jeruk disebut chi zhe.
Chi artinya rezeki, dan zhe berarti buah. Jeruk bagi mereka adalah buah yang mendatangkan rezeki. Warna oranye yang sangat cantik pada kulit jeruk melambangkan emas yang dapat diartikan sebagai uang.
Kemudian ada apel. Apel ini melambangkan keselamatan. Delima melambangkan pengumpulan rezeki. Buah silik yang bentuknya seperti rambut budha dikatakan sebagai lambang kesucian. Kemudian ada kue keranjang. Bukan kue yang terbuat dari keranjang. Hanya sebutan saja.
Kue keranjang, erat kaitannya dengan lambang kegigihan, kegembiraan dan kemakmuran. Kue Keranjang atau nama lainnya Nian Gao memiliki arti sebagai kue tahunan. Biasanya saat merayakan tahun baru, keluarga Tionghoa menyantap dan membagikan kue keranjang dengan harapan mendapat berkah dan kemakmuran sepanjang tahun.
Kue keranjang juga biasanya digunakan sebagai sesaji kepada leluhur pada tujuh hari menjelang Imlek. Kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Semakin ke atas maka akan semakin kecil kue disusun. Penyusunan bertingkat kue keranjang memiliki makna harapan atas peningkatan dalam hal rezeki atau kemakmuran.
Kue wajib lain di Tahun Baru Imlek adalah kue Lapis Legit (Spekkoek). Kue ini melambangkan datangnya rezeki yang berlapis-lapis di tahun mendatang. Sehingga masyarakat Tionghoa berharap untuk merasakan kehidupan yang lebih manis dan legit. Selegit cintanya Bai Suzhen dan Xu Xian dalam legenda Ular Putih. Hehehe.
Kemudian, ada Mie yang melambangkan umur yang panjang, terutama Siu Mie atau Shou Mian yang berarti mi panjang umur. Mie harus disajikan tanpa putus dari ujung awal sampai akhir. Jadi, benar-benar satu untaian mie. Biasanya makanan ini banyak tersaji di rumah-rumah warga Tionghoa.
Dan yang terakhir ada teh dan arak. Kaum Tionghoa sangat menghargai kebiasaan minum teh, baik menjelang Imlek maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mereka biasa minum teh sebelum memulai hari.
Teh sendiri merupakan simbol kehormatan dan kemakmuran di tahun yang baru, dan juga diberikan sebagai lambang kerendahan hati. Di Tiongkok, sangat umum untuk menemukan teh dalam kategori tisane (teh bunga) serta teh berwangi, seperti jasmine tea atau oolong tea. Sementara arak sendiri sebagai tanda pembatasan diri.
Dan, yang paling ditunggu-tunggu saat kumpul keluarga pada perayaan imlek tentunya bagi-bagi duit alias angpao. Tradisi yang tidak pernah absen dalam setiap perayaan Imlek ini memang menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu saat perayaan Imlek. Tradisi bagi-bagi angpao ini merupakan tradisi di mana masyarakat Tionghoa yang sudah berkeluarga memberikan rezeki kepada anak-anak dan orang tuanya.
Biasanya perayaan tahun baru imlek akan dimeriahkan dengan hingar bingarnya pertunjukan Barong Sai. Dalam kepercayaan orang China, Liong (naga) dan Barongsai merupakan lambang kebahagiaan dan kesenangan. Tarian naga dan singa ini dipercaya merupakan pertunjukan yang dapat membawa keberuntungan serta salah satu cara mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu manusia.
Maka tidak heran pertunjukkan ini selalu ada dalam setiap perayaan Imlek. Selain itu, pementasan Barong Sai juga kadang diakhiri dengan petasan atau kembang api. Selain untuk memeriahkan perayaan yang berlangsung setahun sekali ini, menurut kepercayaan Tionghoa, membakar petasan dan kembang api tepat di hari raya Imlek wajib dilakukan untuk mengusir nasib-nasib buruk di tahun sebelumnya dan mengharapkan tahun baru yang lebih bahagia dan lebih baik.
Itu sekilas tentang makna dibalik persembahan yang disajikan di atas altar saat Imlek. Namun apa sesungguhnya Imlek itu? Tahun Baru China merupakan hari raya yang paling penting dalam masyarakat China.
Di luar daratan China, Tahun Baru China lebih dikenal sebagai Tahun Baru Imlek. Kata Imlek berasal dari dialek Hokkian atau mandarinnya yin li yang berarti kalender bulan. Perayaan Tahun Baru Imlek dirayakan pada tanggal 1 hingga tanggal 15 pada bulan ke-1 penanggalan kalender China yang menggabungkan perhitungan matahari, bulan, 2 energi yin-yang, konstelasi bintang atau astrologi shio, 24 musim, dan 5 unsur. Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa.
Perayaan tahun baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama atau pinyin di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas atau pada saat bulan purnama. Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti “malam pergantian tahun”
Tahun Baru China hampir dirayakan oleh seluruh pelosok dunia, yang wilayahnya terdapat orang China, keturunan China atau pecinan, sebab Tahun Baru Imlek merupakan perayaan tradisional yang telah turun menurun.
Perayaan Imlek, dilakukan sebelum Dinasti Qin, tanggal perayaan tahun masih belum jelas. Ada kemungkinan bahwa awal tahun bermula pada bulan 1 semasa Dinasti Xia, bulan 12 semasa Dinasti Shang, dan bulan 11 semasa Dinasti Zhou di China. Bulan kabisat yang dipakai untuk memastikan kalendar Tionghoa sejalan dengan edaran mengelilingi matahari, selalu ditambah setelah bulan 12 sejak Dinasti Shang (menurut catatan tulang ramalan) dan Zhou (menurut Sima Qian). Kaisar pertama China Qin Shi Huang menukar dan menetapkan bahwa tahun tionghoa berawal di bulan 10 pada 221 SM. Pada 104 SM, Kaisar Wu yang memerintah sewaktu Dinasti Han menetapkan bulan 1 sebagai awal tahun.
Tahun baru Imlek sebetulnya merupakan suatu pergantian tahun yang lama menuju tahun yang baru, dan tahun baru imlek ini memiliki nama khusus yaitu Chuen Chie. Chuen adalah musim, Chie adalah hari raya. Jadi Chuen Chie ini berarti hari raya musim semi. Karena sekitar abad ke-16 sampai ke-11 SM itu ada seorang raja di Dinasti Shang yang bernama raja Chu Ii.
Dia memberikan tugas kepada seseorang yang bernama Wan Yien untuk menciptakan kalender. Karena kalender sebelumnya sudah ada namun masih kacau, disini raja menginginkan suatu kekompakan. Dan karena ini diciptakan pada abad ke-21 sampai ke ke-17 SM pada jaman Dinasti Xia di Tiongkok maka kalender ini dinamakan dengan kalender Xia Li.
Dan sekarang yang disebut imlek ini bukan termasuk murni, tapi sudah dipadukan dengan Yang Li. Kalau imlek yang murni perhitungannya dengan kondisi bulan. Mulai dari bulan paling bundar sampai bulan paling bundar berikutnya, itu lamanya sekitar 29-30 hari.
Rangkaian ritual Tahun Baru Imlek dimulai dengan upacara sembahyang Dewa Naik menyusul rangkaian pembersihan altar persembahnyangan hingga kemudian pada puncak acara tahun baru akan diwarnai dengan tradisi Ciam Shi. Mengenai ceritanya, dewa dapur melapor kepada yang diatas yang bernama Ii Vang Shang Dhie untuk melaporkan bagaimana keadaan di dunia ini, setelah itu diberikan kesempatan untuk membersihkan altar persembahyangan semuanya. Membersihkan altar hanya bisa dilakukan setahun sekali seminggu sebelum imlek.
Di Indonesia, selama tahun 1968-1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif yang hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya. Selanjutnya pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Berbagai rangkaian ritual dan perayaan Tahun Baru Imlek yang dipusatkan di TITD Ling Gwan Kiong dan Seng Ho Bio juga diwarnai dengan atraksi Barong sai, pelepasan lentera dan diakhiri dengan penyalaan kembang api. Namun tahun ini, harus iklas dengan perayaan yang sederhana. Banyak juga pengaruh-pengaruh Cina yang tersebar di Buleleng bahkan Bali.
Di Buleleng dapat dilihat di Pura Pabean di desa Banyupoh Kecamatan Gerokgak. Di sana terdapat satu pelinggih lengkap dengan pernak-pernik Tionghoa. Saat piodalan biasanya akan mementaskan Barong Sai. Selain itu, Tari Baris Dadap yang ada di Desa Bila Kecamatan Kubutambahan juga mendapat sentuhan Cina. Seperti lantunan lagu-lagu saat menari iramanya menyerupai lantunan lagu Tionghoa. Kemudian di Pura Batur, Kintamani, juga terdapat satu konco di tengah pura yang di peruntukkan untuk memuja dewa Cina. Ternyata pengaruh Cina di Bali sangat kuat. Buka hanya di tempat ibadah serta budaya, namun juga makanan dan bangunannya. [T]
____
ARTIKEL TERKAIT IMLEK
Di Bali, Imlek juga Disebut Galungan Cina
Ditunggu Karena Makna, Isi Angpao itu Bonus | Cerita Engkong Tentang Imlek
Imlek: Lamat-lamat Terdengar Suara Gamelan Bali dari Klenteng
Merayakan Imlek di Keluarga Bu Herma – Serasa Main Film Khas Tionghoa
Riski Nanda Riwaldi: Merekam Gemerlap Imlek dan Lain-lain dalam Akhir Bahagia
Keluarga Saya di Desa Kayuputih Punya Tradisi Merayakan Imlek – Inilah Penyebabnya…
Galungan Ngelawang Barong Bangkung, Imlek Ngelawang Barongsai
Imlek-an di Kota Rantau, Kota Singaraja: Imlek dengan Akulturasi dan Rasa Rindu