Gundukan tebing kars yang menjorok ke laut di pantai klingking, lubang pada tebing batu karang di Pantai Pasih Uug (Broken Beach), dua buruan latar selfie wisatawan yang mengunjungi Pulau Nusa Penida. Jika kurang, menikmati kesegaran kolam alami para bidadari di Angle Bilabong atau menikmati sebotol bir di atas pasir putih Cristal Bay sambil menunggu matahari yang tenggelam juga menjadi pilihan yang menggiurkan.
Ditemani kopi dalam tumbler sambil menanti surya menyingsing dari ufuk timur bisa dilakukan di pantai atuh kemudian menyusuri jalan menuju barisan perbukitan teletabis, pilihan yang lain yang sering dilakukan wisatawan. Jika memiliki tenaga dan kondisi fisik yang prima menyusuri anak tangga menuju mata air guyangan.
Panorama alam Nusa Penida menjadi daya tarik utama yang membuat banyak wisatawan mengunjungi pulau terbesar dari tiga gugus pulau di kecamatan Nusa Penida. Daya tarik yang didorong kegandrungan masyarakat hari ini ini untuk memiliki sebuah foto bagus dan lezat untuk memberi makan media social dan sedikit memamerkan setiap perjalanan yang di tempuh. Dan berbicara tentang foto yang bagus, Nusa Penida tentu menjadi sebuah pulau yang menjajikan hal tersebut.
Sebelum daya tarik panorama alamnya, dahulunya kunjungan orang ke Nusa Penida adalah untuk alasan tirta yatra (persembahyangan), perjalanan untuk melakukan proses persembahyangan di pura-pura besar yang tersebar di seluruh pulau. Hingga hari ini, ketika covid melanda, kunjungan orang ke pulau untuk mealukan persembahyangan masih tampak pada hari-hari besar, walau tentu saja mengalami penurunan.
Selain panorama alam yang aduhai dan situs spiritual religus Nusa Penida memiliki sebuah potensi objeck pariwisata yang luput dari pantauan khalayak ramai. Potensi tersebut tersebar, ada di desa tanglad, Puncak Mundi dan desa-desa lainnya. potensi tersebut adalah petualangan berburu artefak energi bersih.
Di Desa Tanglad sebuah tembok bangunan di tengah semak belukar yang tumbuh liar sebuah papan berdiri memberitahukan “Tanah Milik PLN”. Di sekelilingnya pagar besi melingkar, berkarat dikeroyok belukar yang terus tumbuh seiring waktu dan musim yang berganti. Sisa bangunan yang menyisakan puing adalah bukti yang tersisa bahwa warga Desa Tanglad pernah melihat dari dekat bagaimana listrik dilahirkan dari potensi energi matahari dan angin yang ada di daerah mereka. selain menyaksikan dan menikmatinya selama sekitar satu tahun, warga desa juga terlibat aktif dalam membantu proses pengadaan lahan untuk berdirinya pembangkit listrik tersebut.
Namun sayang pembangkit listrik yang didirikan pada pertengahan tahun 1990-an, hanya berhasil beroperasi selama satu tahun dan akhirnya rusak. Pengaplikasian energi bersih di Desa Tanglad ketika itu juga tidak lepas dari kondisi desa yang belum mendapat suplai energi dari pembangkit listrik tenaga disel yang ada di Desa Sampalan. Pemanfaatan matahari dan angin dengan bantuan cadangan dari disel dengan cakupan wilayah yang kecil sudah berhasil dibangun pada masa itu, bahkan berhasil membuat desa tersebut memiliki kemandirian energi, setidaknya selama satu tahun. Sebuah contoh baik yang sayangnya harus mangkrak dan kini akhirnya semua bergantung pada PLTD yang ada di Sampalan.
Meninggalkan Desa Tangglad, menyusuri jalanan di antara terasering yang tersusun dari kepingan kecil kars, kincir angin berbaris di kejauhan. Berdiri diam, kaku tak terabaikan. Barisan kincir tersebut berdiri di Puncak Mundi. Titik tertinggi Pulau Nusa Penida dengan ketinggian sekitar 500mdpl. Dari ketinggian, berdiri sambil menatap lurus ke laut lepas.
PLTB dan PLTS di Puncak Mundi dibangun pada masa kepemimpinan Presiden SBY, pada kurun waktu pertengahan tahun 2000-an. Pembangunan pembangkit energi bersih tersebut sepertinya tidak bisa lepas dari penyelenggaraan KTT Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change) yang berlangsung pada tanggal 3-14 Desember 2007 di Nusa Dua, Bali. Namun sayang, penerapan tekhnologi tersebut tak berumur lama, bahkan umurnya lebih pendek dari satu periode masa jabatan presiden. Sempat beroperasi sekitar satu tahun kini PLTS dan PLTB Puncak Mundi mangkrak, terbengkalai seperti pendahulunya.
Ingin tahu bentuk penerapan yang lain, berhentilah di sebuah warung lalu pesan segelas kopi. Segelas jangan secangkir, kebanyakan warung menyajikan kopi menggunakan gelas bukan cangkir. Lalu cobalah bertanya apakah ada kelompok ternak yang mendapat biogas? Biasanya mereka akan dengan senang hati menginformasikan dimana bangunan biogas yang mangkrak. Jumlahnya pun tidak sedikit dan tersebar di beberapa desa.
Kehadiran biogas di Pulau Nusa Penida tidak lepas dari Program Simantri, program yang sempat menjadi unggulan milik Pemerintah Propinsi Bali. Biogas diberikan kepada kelompok ternak yang tergabung dalam program tersebut. berbeda dengan program energi bersih sebelumnya yang memproduksi listrik, biogas hadir untuk memproduksi kebutuhan akan bahan bakar. Bahan bakar gas yang dihasilkan merupakan hasil dari fermentasi kotoran sapi yang merupakan ternak yang banyak dirawat oleh warga Nusa Penida.
Nasib biogas tersebut tidak jauh berbeda dengan program pembangkitan energi bersih sebelumnya, tidak berumur panjang dan akhirnya ditinggalkan.
Lalu apa yang menarik sehingga artefak-artefat tersebut menjadi penting untuk dikunjungi oleh wisatawan?
Alasannya sederhana, perubahan iklim menjadi perhatin dunia saat ini. Serangkaian kampanye pengurangan penggunaan energi kotor dan dorongan kepada negara untuk beralih ke energi bersih kian menguat. Dari sisi ini Nusa Penida tentu memiliki nilai sejarah bagaimana usaha penerapan tersebut pernah dilakukan walau gagal. Alasan yang lain tentu saja pepatah lama belajarlah dari pengalaman, bagaimana kegagalan energi bersih diaplikasikan di Nusa Penida tentu saja bisa menjadi guru yang mengajarkan bahwasannya penerapan energi bersih tidaklah mudah. Membangun tanpa memperhitungkan bagaimana keberlangsungan dari pembangkit energi bersih kedepannya tentu bukan keputusan yang baik.
Alasan selanjutnya materi foto lain dari yang lain. Selfie dengan latar Pantai Klingking tentu sudah biasa, banyak yang melakukan itu. Namun selfie di depan kincir raksasa di ketinggian Nusa Penida tentunya memberikan variasi dari stok foto yang bisa dipamerkan di media social.
Kehadiran artefak-artefak bangunan pembangkit energi bersih tersebut juga menggambarkan bagaimana pulau Nusa Penida sebagai sebuah pulau yang menjadi ruang yang hidup diperlakukan, bagaimana mereka hadir lalu pergi begitu saja. Barisan kegagalan pembangunan energi bersih dengan skala proyek yang tidak murah, yang telah dibangun dari sekitar 25 tahun yang lalu dan berpotensi menjadi museum kegagalan pembanguna energi bersih jika tak ada niat baik membereskan jejak kegagalan tersebut.
Senja di RBBK
Jika masih ada waktu dan energi setelah melalui petualangan menyambangi jejak artefak kegagalan program energi bersih di Nusa Penida dan penasaran jika semua gagal, apakah Nusa Penida memiliki percontohan penerapan energi bersih?
Jawabannya ada. Cukup tanyakan pada penduduk sekitar arah menuju Banjar Nyuh, Desa Ped (sinyal seringkali menjadi kendala ketika menggunakan aplikasi peta sehingga bertanya (peta’) menjadi hal penting yang tak boleh dilupakan). Sesampainya di Bajar Nyuh jangan pula sungkan untuk bertanya dimana Rumah Belajar Bukit Keker. Jangan berfikir akan barisan panel surya di lahan yang luas, atau kincir raksasa yang berdiri kaku. Jangan juka berhaap berfikir melihat sebuah kubah raksasa tempat gas disimpan sebelum dialirkan ke dapur. Hal itu tidak ada, yang ada hanya jalan setapak dengan kebun disekitarnya dengan beberapa titik lampu panel surya yang ditempel ala kadarnya untuk menerangi jalan masuk ketika gelap tiba.
Sebuah ruang workshop, aoutlet, panggung, dapur, guest house, kandang sapi dan TPST tersebar di setiap sudut. Pertanyaannya dimana letak penerapan energi bersihnya? Penerapan energi bersih mengisi ruang antar bangunan, menjadi satu kesatuan bangunan yang utuh.
Solar panel dipasang berjajar di bagian depan guest house menjadi atap teras sehingga memperluas ruang teduh teras dan tentu saja mepercantik tampilan guest haouse yang awalnya datar. Sementara itu instalasi biogas berada di antara bangunan toilet dan kandang sapi. Seperti hal nya solar panel yang menjadi sumber utama pemenuhan kebutuhan rumah belajar akan energi listrik yang hanya menampilkan papan panel surya yang menjadi atap teras, biogas pun hanya menampilkan inlet, katup tuas utama, bak penekan dan outlet di atas permukan tanah. Sementara digester biogas dikubur di bawahh tanah, inverter dan batrai solar panel disembunyikan di dalam kamar.
Energi yang diproduksi dua system tersebut juga tidak besar, biogas yang digunakan hanya berukuran 4 kubik, menghasilkan sekitar 0,8-1,6 meter kubik perhari. Jumlah yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar rumah belajar. kebutuhan dapur Rumah Belajar Bukit Keker (RBBK) akan bahan bakar tidaklah terlalu tinggi, penggunaan baru terjadi ketika da tamu yang menginap atau jika ada kegiatan pelatihan. Hal tersebut memebuat biogas bisa dimanfaatkan oleh salah satu tetangga RBBK.
Kebutuhan akan energi listrik yang lebih dominan hal ini dikarenakan kebutuhan akan penerangan terutama ketika ada kegiatan pada malam hari dan menyalakan beberapa peralatan elektronik yang ada di RBBK. Hal tersebut yang membuat panel surya yang dipasang sebesar 1000wp dengan inverter 2kW dan kapasitas batrai 2x12watt. Setiap harinya bisa menghasilkan 3-4 kW dengan cadangan energi pada malam hari sebesar 2.040 wh (watt hours).
Jika dibandingkan dengan apa yang dibangun sebelum-sebelumnya di Nusa Penida produksi energi di RBBK tentu tidak besar. Jumlah produksi energi yang diusahakan RBBK sesuai dengan kebutuhan energi RBBK. Hal mendasar ketika berbicara pengusahaan energi secara mandiri adalah mengetahui pola konsumsi dan menghitung kebutuhan nyata dari konsumsi energi.
Mengetahui jumlah produksi yang berhasil diproduksi tanpa disadari membuat harus melakukan perhitungan ketika hendak mengkonsumsi energi. Jika ingin menggunakan energi tersebut lebih lama maka konsumsi energi harus diperkecil demikian jua sebaliknya. Misalkan energi listrik yang berhasil dipanen dari panel surya dan simpan di batrai untuk malam hari sebesar 2.040 watt, jika kita ingin menggunakan cadangan energi tersebut selama 12 jam maka pemakaian energi yang harus dilakukan hanya sebesar 2.040 dibagi 12,sebesar 170 watt. Dari hasil perhitungan tersebut kemudian dipilih mana peralatan yang memang dibutuhkan mana yang tidak sehingga energi yang digunakan tidak lebih dari 170 watt. Hal yang sama juga berlaku pada pemanfatan bahan bakar biogas. Semakin sedikit energi yang digunakan setiap harinya semakin banyak yang bisa disimpan. Hal ini penting ketika tiba waktunya menyelenggarakan acara-acara yang lebih besar.
Menghitung konsumsi energi belumlah menjadi sebuah kebiasaan. Kebutuhan energi yang selama ini terus disuplai tanpa henti baik oleh pembangkit listrik negara maupan oleh gas elpiji dalam tabung yang dijual di toko-toko kelontong dekat rumah membuat kita tidak punya waktu untuk menghitung jumlah konsumsi energi yang kita gunakan. Walau tanpa disadari jumlah konsumsi energi tersebut nyatanya telah menyita tenaga dan waktu dalam cara untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut.
Energi tentu ukan persoalan sederhana bagi sebuah pulau kecil seperti Nusa Penida. Besaran daya listrik yang bisa diproduksi oleh PLTD (berbahan bakar solar) hingga pengangkutan bahan bakar baik itu solar maupun gas yang butuh menyebrangi lautan tentunya membutuhkan biaya yang tinggi. Disaat yang sama pemerintah merencanakan untuk semakin menggenjot junjungan wisata ke Nusa Penida. Nusa Penida direncanakan menjadi salah satu ikon baru pariwisata Bali. Artinya kebutuhan energi di pulau tersebut juga akan melonjak seiring dengan melonjaknya kedatangan orang ke pulau Nusa Penida.
Jika melihat kebiasaan pepatah “tamu adalah raja”, bisa jadi energi listrik yang berhasil diproduksi akan dialokasikan terlebih dahulu untuk memenuhi sang tamu (akomodasi wisata). Apalagi tamu tersebut datang dengan bawa uang. Kebutuhan masyarakat bisa menunggu tentunya. atau jika misalnya kemudain daya PLTD kemudain ditingkatkan, artinya lebih banyak bahan bakar yang dibutuhkan dan lebih banyak emisi yang dikeluarkan.
Kebutuhan energi yang terus meningkat seiring berjalannya waktu menjadi tantangan bagi Nusa Penida dan pulau-pulau kecil lainnya. tantangan yang coba disikapi oleh gerakan #ecologicnusapenida dengan membangun percontohan penerapan energi bersih di Nusa Penida. Penerapan solar panel di rumah belajar Bukit Keker yang dikelola yayasan taksu tridatu adalah salah satunya. Contoh lain dari penerapan energi bersih yang dibangun adalah biogas, berbeda dengan program sebelumnya yang menyasar kelompok kali ini percontohan biogas dibangun dengan menyasar rumah tangga. Setidaknya ada 5 keluarga yang tersebar di dua dusun (jurang pait dan ponjok) di desa Kutampi.
Terkait penerapan energi listrik dengan menggunakan panel surya, selain menghadirkan contoh penerapan energi bersih, gerakan #ecologicnusapenida yang digagas GFSGP dan Yayasan Wisnu juga melaksanakan pelatihan pengenalan dan perawatan solar panel untuk mengenalkan ragam potensi energi untuk memenuhi kebutuhan listrik juga mengenalkan dan memeberikan informasi bagaimana cara merawat solar panel.
Selain itu gerakan yang sudah berlangsung sejak 2 tahun yang lalu ini juga melaksanakan diskusi dengan melibatkan berbagai pihak pemangku kepentingan, tujuannya tentu saja untuk menarik perhatian pemangku kepentingan, bahwasannya ada persoalan energi yang tidak bisa dikesampingkan di Nusa Penida.
Langkah kecil telah dilakukan, sebuah objeck wisata baru lahir diantara keindahan pesaona alam Nusa Penida. Object yang akan mengajarkan kita dari bagaimana kegagalan penerapan energi bersih dengan pendekatan proyek skala besar yang hanya menjadi artefak dan bagaimana usaha menanam contoh penerapan kemandirian energi dalam sekala kecil dalam usaha menjaga keberlangsungan ekologi Nusa Penida. Sayang rasanya jika mengunjungi Nusa Penida hanya untuk mengeksplotasi pesona ekologinya tanpa kemudian mau belajar dari pulau kecil yang menyimpan segunung ilmu itu.[T]