Cerpen: Ni Made Ari Dwijayanthi
Akhirnya kau memilih tubuhku sebagai jalan kematianmu. Bersama kidung-kidung warna dan bunga yang ditempatkan musim di seluruh penjuru mata angin. Aji Kembang, kau sering menyebutnya, yang konon kau percaya membungkus jiwamu untuk terbang melayang-layang setelah kau meninggalkan tubuhmu.
Ah, lalu bagaimana aku yang sendiri, menatap gundukan di depanku. Gundukkanmu, gundukkanku yang kautanam sebelum hari ini.
***
Aku niatkan, maka kau ada di sini. Sekarang. Aku inginkan, maka kadang di sini. Sekarang. Apa kau tahu, namamu sudah lama aku tuliskan di buku catatan: I Made Suara Wikrama.
“Aku mencintaimu Riris, tergila-gila padamu, sisipkan aku dalam rambutmu yang bergelung itu, siapakah kau sebenarnya, Ris? Siapa? Aku nyaris tak bisa berkutik? Aku hanya ingin denganmu, Ris.”
Aku selalu bayangkan, Suara mengucapkan kalimat-kalimat itu. Ah, manis sekali rasanya, sering juga bayangan Suara menyelipkan bait-bait puisi dalam setiap pesannya. Kapan itu akan terjadi? Kapan-kapan saja. Mana mungkin seorang Suara…. Sudahlah, sudah. Simpan sajalah.
***
“Apa yang telah kita lakukan, Ris?”
“Tidak ada.”
“Kau bilang tak ada.”
“Ya memang tak ada.”
“Kau gila, Ris.”
“Kau yang gila, Suara.”
“Bukan, aku.”
“Kau yang memulai.”
“Kita yang akan mengakhiri.”
“Tidak.”
“Ya.”
“Kita akhiri.”
“Caranya.”
“Pulang, pulang.”
“Pulang ke mana?”
“Ke hatimu.”
“Ke hatiku?”
“Tak bisa.”
“Belum bisa, bukan tak bisa.”
“Ajari aku.”
“Kita sama sama bisa.”
“Ilmu kita sama, Aji Kembang.”
“Tapi perasaan kita berbeda.”
“Mengurai warna dan arah tak akan menyelamatkan kita.”
***
Susah kalau sudah berurusan dengan perasaan, tak ada yang akan terpenuhi jika ukurannya adalah perasaan. Timbangannya bernama hati, batu-batu timbangannya bernama jantung, paru, pikiran, sesekali usus. Ya, memang jadinya susah menakar. Ini perasaan bagaimana, maksudnya apa, tujuan untuk siapa, mengapa perasaan ini ada? Ujung-ujungnya perasaanlah yang salah, waktulah yang salah, hiduplah yang salah.
Aku menghela nafas, sedalam-dalamnya menghirup aroma cengkeh yang direbus bersama kunyit, jahe, sereh, kayu manis, dan jeruk nipis. Mulai bosan pada semua hal yang dilakukan. Aku mengetik sampah, aku memakan sampah, aku bahkan bekerja untuk menutupi sampah-sampah busuk. Tapi di antara hiruk pikuk dunia persampahan itu, ada perasaan bahagia sebesar setengah biji kacang bekas gigitan tikus itu tumbuh. Perasaan itu tidak lain tidak bukan: menikahi I Made Suara Wikrama.
Suatu hal yang mustahil. Tapi perasaan itu selalu muncul, entah apa yang mengawalinya. Mungkin niat, mungkin keinginan berlebih, atau kemungkinan-kemungkinan lainnya yang sering dikatakan orang sebagai perkara cinta. Cinta? Cinta-cintaan di umur tiga puluhan. Orang-orang akan mengejek, cinta itu saat kau bahagia bersamanya, cinta itu saat kau ingin selalu bersamanya, cinta itu selalu membawa tawa, cinta itu ini dan itu, mereka akan menertawakan bahwa cinta itu tak ada di umur tiga puluhan. Mereka akan mendebat, bahwa cinta di umur tiga puluhan itu adalah komitmen. Lalu dengan bangga menyebutkan: aku hanya membuka paha untuk lelaki yang berkomitmen, bukan pada lelaki yang mengaku mencintai tapi tanpa komitmen.
“Kau akan ditertawakan, Ris.”
“Biarkan saja, sudah tak penting bagiku.”
“Apa kau tak malu?”
“Apa benda asingmu malu?”
“Kau mulai lagi.”
“Aku memang selalu memulai.”
“Hahaha, niat.”
“Niat.”
Aku tetap meneguk ramuan cengkeh itu. Setiap pagi dan setiap menjelang tidur. Selalu begitu. Ramuan itu melebihi harga satu hektar tanah di tepi pantai di kampung. Nenek tak pernah salah, dia mewariskan isi pikirannya bukan mewariskan hasil tangannya. Sampai detik ini aku masih terkagum-kagum, ini baru satu di antara ratusan resep yang ditulis di atas daun lontar olehnya. Hanya satu, satu resep, aku berhasil bawa pulang bahkan melebihi harga sehektar tanah itu. Jika saja nenek masih hidup, aku akan menyembahnya melebihi menyembah dewa-dewi yang diajarkan oleh kitab agama omong kosong itu.
Jariku masih menggoyang-goyangkan cangkir keramik dengan motif bunga-bunga. Kuniatkan satu hal di sana: datanglah Suara datanglah. Ke marilah Suara. Ke marilah. Ke hatiku. Ke hatiku.
Berulang kali sampai tersenyum bahagia, melepaskan kepekatan di ladang ilalang gelap, menikmatinya sampai gerimis turun. Saat gerimis turun, entah dari mana tubuh ini merasa ringan, hati benar-benar seimbang, timbangan-timbangan tak lagi berat sebelah. Lega. Sangat lega. Selega-leganya. Telah berhasil mendatangkan lelaki itu.
Aku meniatkan dengan berdarah-darah. Benarkah hanya niat? Niat macam apa ini sampai harus ratusan kali memanggilnya. Niat membangun komitmen? Niat benar-benar cinta? Atau niat hanya untuk bercinta? Sebab rasa haus datang setiap hari, semakin haus lalu semakin ingin meminum air dari tubuh Suara.
Apakah perasaan ini semacam keterikatan yang muncul dari kumpulan simpul-simpul niat tiap hari? Mulai terikat pada niat sendiri?
Ah, bukan pertama aku lakukan ini, aku bertahan hidup karena niatku. Bertahun-tahun setelah aku setia menuliskan nama kalian, namanya, dan namamu. Sungguh ingin berhenti pada namamu, tak lagi ingin pergi, tak lagi ingin singgah tapi tak sungguhan. Kali ini ingin sungguh-sungguh berteduh di rumah yang kau tawarkan dalam imajinasi-imajinasiku.
***
“Ris, kau tinggalkan saja dia.”
“Tak bisa.”
“Aku mau denganmu.”
“Tak bisa.”
“Bukankah kau menginginkannya.”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Aku mau kalian.”
“Enak di kamu tak enak di kami.”
“Kupastikan kau yang pertama.”
“Bukankah namaku saja?”
“Tidak.”
“Namanya juga.”
“Ada berapa, Ris?”
“Sebelas.”
***
Sebelum hari ini datang, kabar pernikahanmu sampai di telingaku. Udara terasa mampat di dada. Dalam sisa-sisa niatku, kau dihadirkan dalam ramuan cengkehku. Seperti biasa aku menggoyang-goyangkan cangkir, menyebut namamu berulang kali, sampai tersenyum, sampai kepekatan mengurai di ladang ilalang hitam. Setelahnya, ku tunggu kabarmu: mati dalam tidur lelapmu. [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar Komunitas Mahima.