Cerpen: Carma Citrawati
Aku bersumpah! Jika aku terkena penyakit yang tak bisa disembuhkan dan aku diajak ke dukun, aku akan bunuh diri di depan ibu, daripada terkubur seperti ini, Ayah!
Hari kematianku akan segera tiba. Bagaimana mungkin sebuah jamur, hewan, bakteri, atau apalah tadi kata dokter, menghinggapi bibirku dan membuat bibirku berjamur, bengkak dan bernanah. Awalnya hanya sariawan biasa tapi semakin hari semakin membengkak. Rasa gatal semakin meluas dan bintik-bintik kecil mulai bermunculan. Bengkak dan berwarna merah, seperti buah busuk dengan nanahnya berwarna kekuningan. Sakit dan sungguh perih. Aku biarkan beberapa hari, tetapi tak kunjung sembuh dan malah semakin parah.
“Ayu, bibirmu belum sembuh juga? ”
“Belum.”
Aku merasakan nanah itu membanjiri bibirku. Sama seperti kekhawatiran yang membanjiri perasaanku. Kalau seperti ini aku tak bisa berbuat apapun selain membantu bibirku agar makin busuk. Aku selalu mencabiknya, mencakarnya dan membiarkan diriku lumpuh dan agar tak bisa kemanapun. Hanya membusuk.
“Kalau belum sembuh, ayo kita ke…”
“Tidak usah, Bu. Aku bisa mengatasinya sendiri.”
Aku enggan melanjutkan pembicaraan itu dengan ibuku. Aku tahu arahnya ke mana. Aku memutuskan untuk ke dokter. Dokter menasehatiku dan seakan menghakimiku, aku orang yang kotor. Aku tidak bersih. Dokter tua itu mengatakan semua hal dan istilah yang aku tak mengerti. Kata-katanya menghujam tajam, menyayat hatiku dan membuatku jengkel.
Bibirku seperti bukan milikku. Benda berbintik-bintik kekuningan ini adalah benda asing. Benda asing yang menggantikan bibirku yang dulu, kadang sedingin es dan kadang seperti terbakar. Bibirku dulu adalah bagian wajah yang paling indah. Sebagai perempuan aku merasa sempurna karena memiliki bibir merah muda yang seksi. Tapi kini, semuanya sudah berakhir. Bibirku kini hanya benda pucat yang akan layu dan mulai busuk. Sering kali, aku mencoba menggigit bibirku, membiarkan nanah itu bercampur dengan darah dan membuat luka makin dalam di pinggir-pinggir bibirku. Aku tahu, betapa mengerikan bibirku kini, tapi ada yang lebih mengerikan dari bibirku. Bibir dukun, bibir ibuku, bibir teman-temanku. Iya, bibir tajam mereka semua. bibir mereka yang tak memiliki bibir sepertiku, yang bibirnya katanya bibir normal, bibir yang tak besar dan bernanah. Bibir manusia.
Aku begini karena kesalahanku. Semua orang menyalahkanku. Dokter menyalahkanku karena aku malas gosok gigi dan makan makanan tanpa dicuci. Ibuku menyalahkanku karena aku terlalu banyak mengumbar janji. Benar? Kata siapa? Ttu kata seorang balian, dukun sakti di desa seberang. Aku kena kutukan. Janji itu urusanku dan tak ada hubungannya dengan penyakit ini. Betul memang aku sangat gampang berucap janji, sesumbar menjanjikan sesuatu tapi aku membayarnya. Membayarnya dengan cara mencicil. Sesangi namanya, semacam kaul. Sesangi adalah bentuk kesepakatanku dengan Dewa. Untuk mencapai tujuanku! Aku tak pernah percaya, Tuhan dan dewa marah padaku hanya karena janji yang aku buat. Toh aku juga akan membayar semua janji itu!
Tuhan, jika saya berhasil menjadi PNS saya akan mempersembahkan seekor babi guling di pura.
Ratu Bhatara, jika ayah saya sembuh, saya akan berkeliling ke pura-pura di Bali.
Kalau aku bisa menjadi pacar Wayan Suwitra, aku akan traktir kamu makan sebulan penuh.
Dan masih banyak lagi bibir busuk ini meracau dengan janji-janji yang kini tak pernah aku ingat. Bagiku itu wajar dan itu adalah sebuah kesepakatan.
***
“Cicing! Pergi.”
“Kenapa kau mengumpat ketika melihat Ayu?”
“Kau tidak bisa lihat mulutnya itu? Besar dan bernanah, kalau menular bagaimana?”
“Siapa bilang menular? Itu hanya sariawan biasa, kok.”
“Kau tidak tahu, semua keluarganya tertular. Ibu, ayah, adik, sepupu bahkan neneknya.”
“Kenapa dia tidak diam di rumah saja?”
“Entahlah!”
Aku mendengar mulut-mulut busuk mereka, yang membicarakan kesakitanku. Melecehkan kemalanganku. Dan yang paling aku sesalkan, aku pernah berkaul untuk laki-laki itu. Iya, dia Wayan Suwitra, laki-laki yang aku inginkan. Mulut kotornya benar-benar busuk. Busuk! Aku tak ingin mendengar kebusukan mereka lagi. Kepalaku pusing.
Aku memutuskan untuk pulang saja. Sekolah sudah seperti neraka, tak ada yang menginginkanku. Dan aku mengikuti nasehat mulut busuk mereka. Aku pergi!Kuhempaskan tubuhku di kamar. Mencoba menghirup udara melalui bibirku. Di luar, Langit biru berwarna ini yang aku suka. Teduh dan tenang. Mengobati sedikit rasa sesak di hatiku karena mereka. Aku melihat keluar kamar dan merasa nyeri di sekitar bibirku. Seperti ribuan semut menggerayangi bibirku. Aku menanggalkan masker yang aku kenakan, memonyongkan bibirku di depan kaca, menggerakkannya ke kanan dan ke kiri, dan melihat nanah bercucuran keluar membasahi daguku. Seperti mengeluarkan kencing, aku merasa lega. Nanah itu aku bersihkan, aku isi obat yang sudah semakin menipis.
Jika aku dikatakan menerima penyakit ini, pastilah tidak. Tidak sama sekali. Kulihat wajahku sendiri, Menyedihkan! Kanya karena bibir busuk ini aku menderita. Dicemooh, dikucilkan dan beberapa kali harus ke dokter dan akhirnya harus ke dukun, Balian Cotek, Balian Sonteng dan balian-balian lain. Aku pun harus segera bunuh diri di depan ibuku.
Para dukun memiliki versi yang berbeda atas penyakitku. Ada yang mengatakan aku harus diruwat dan ada juga yang mengatakan aku disakiti oleh kerabatku. Aku tetap tidak percaya. Aku masih ingat bagaimana perdebatanku dengan ibuku sebelum aku memutuskan untuk pergi ke balian. Ke dukun bagiku adalah sebuah vonis kematian. Tapi sudah tiga kali aku ke dukun, aku tidak berani mewujudkan janjiku dan mulutku semakin hancur bernanah.
“Tu, bagaimana kalau kita ke balian?”
“Untuk apa?”
“Agar kau sembuh, itu bukan sakit biasa. Ini sakit karena leak!Ini ilmu hitam”
“Aku tidak mau. Leakitu tidak pernah ada dan tidak mungkin ada hal-hal omong kosong seperti itu.”
“Dengarkan, Ibu! Wayan Nata, dulu pernah sakit seperti ini, malah lebih parah. Ini disebut upas. Tidak akan bisa sembuh jika hanya mengandalkan dokter. Percaya pada Ibu.”
“Kenapa, kenapa Wayan Nata?”
“Pamannya iri pada keluarga Wayan Nata, kamu tahu kan keluarganya sangat mampu dalam segala hal. Kaya, pintar dan tampan. Karena iri, pamannya mencari semacam penyakit untuk melukai Wayan Nata.”
Aku tak habis pikir dia ibuku. Seorang pegawai dan terpelajar. Aku pikir dia tak akan pernah percaya hal-hal seperti itu. Cerita omong kosong dan tak masuk akal. Inilah yang aku tak suka dari keluargaku, setiap ada suatu penyakit dan masalah yang tidak bisa dipecahkan, selalu mencari kambing hitam. Yang dikambinghitamkan adalah para leak-leak ini. Aku merasa iba kepada leak karena terus saja difitnah. Siapa yang bisa membuktikan kebenaran bahwa itu semua perbuatan mereka?Siapa yang bisa membuktikan bahwa leak itu pasti selalu jahat?
“Lalu… kalau aku sakit karena leak, kenapa leak-leak itu iri pada kita? Kalau Wayan Nata, iya, dia kaya, pintar, dan terpandang. Tapi kita? Apa Ibu tidak pernah mau belajar dari kesalahan atas meninggalnya Ayah?”
“Kenapa kau bicara merendahkan keluargamu seperti itu dan kenapa dengan almarhum Ayah?” Ibuku menatapku tajam sambil bicara terbata-bata.
“Apa kesalahanku? Leak itu yang membunuhnya. Kita tidak pernah tahu alasan kenapa leak benci pada kita! Jadi, tidak usah bicara apapun, ikut dengan ibu ke balian sekarang!”
Setelah kejadian itu, Ibuku hanya datang sesekali menengokku. Tak ada siapapun. Malam hanya berlalu menjadi malam, pagi datang dan siang tak tampak bagiku. Tak hanya itu, ibuku semakin kasar mencurigai, mengutuk dan tak henti-hentinya mengajakku ke dukun. Aku divonis berkali-kali dan hanya teronggok di ujung kegelapan.
Aku tak ingin menceritakan bagaimana aku di rumah dukun-dukun itu. Mereka mengasapiku dengan dupa, menusuk-nusuk bibirku dan mengatakan hal-hal yang tak ada logikanya. Vonis mati jatuh padaku berkali-kali, tapi aku tak pernah berani untuk memenuhi janjiku. Terlalu menyakitkan. Aku takut mati. Takut terkubur sendiri, takut semua terampas. Dan kini, apa yang harus kulakukan?
Apakah ini benar-benar kutukan? Atau Tuhan menantangku? Jika aku menyerah aku harus bagaimana? Yang menjadi kekhawatiranku kini tidak hanya bibirku, juga janji yang aku buat. Aku terkurung dalam kegelisahan. Kegelisahan untuk membayarnya atau membiarkannya.
Ibu sibuk membuat sesajen. Sesajen yang diminta oleh dukun untuk dipersembahkan di rumah. Ibu bicara dengan nenek, tentang apa yang dikatakan dukun soal penyakitku. Nenek menangis, wajahnya yang keriput dibanjiri air mata. Aku semakin muak. Dukun, dukun, dan dukun. Mereka semua sama. Mereka semua mengatakan omong kosong.
“Ada orang iri ini, Bu. Untung ibu segera ke sini.”
“Siapa orangnya, Jero?”
“Dekat, dekat rumah, masih ada ikatan keluarga. Jika tidak keluarga, tidak akan bisa mendatangkan penyakit seperti ini.”
“Lalu apakah anak saya bisa sembuh?”
“Pasti, pasti sembuh. Saya berikan minyak.”
Bibirku semakin bernanah, aku merabanya. Merasakan setiap lubang-lubang kecil bernanah sudah semakin melebar dan bau busuk semakin liar mengejarku. Aku bahkan sudah tak mampu bicara, setiap aku menggerakkan bibirku, nanah keluar dengan keji.
“Bagaimana siri-ciri orang yang iri, Jero? Agar saya waspada.”
“Perempuan, cerewet, selalu memakai kamben dan ada cacad di tubuhnya.”
Aku masih ingat ibuku mengangguk dengan yakin setelah dukun mengatakan itu. Konflik lain akan dimulai. Ibuku akan mencurigai semua keluargaku. Ini sudah pernah terjadi. Ketika ayahku sakit karena tidak bisa kencing dan kemaluannya membesar. Dokter sudah mengatakan ayahku harus dioperasi tetapi ibuku bersikeras pergi ke dukun. Dan hasilnya apa? Kami pindah dari dukun satu ke dukun lain, semua hal dicoba dan ayahku tidak mendapatkan pengobatan apapun. Di hari kematian Ayah, ibuku tetap meracau bahwa ada kerabatku yang mencelakainya. Sungguh gila!
“Siapa lagi yang iri padanya, selain orang itu! Aku tidak akan pernah memaafkannya.” Ibuku menangis sambil memeluk foto ayahku.
“Bu, jangan seperti ini, ini sudah satu bulan ibu tetap seperti ini. Ayah tidak akan tenang di sana.”
“Kau tidak tahu perasaanku, Nak. Sakit! Aku membantunya dulu, aku menyekolahkannya. Jika tidak karena ayahmu, dia tidak akan pernah jadi siapa-siapa. Dia hanya orang kolot yang akan berujung jadi petani.”
“Jangan bicara seperti itu, kumohon, Bu. Kumohon tenanglah. Kita tidak boleh menuduh orang seperti ini.”
“Aku tidak menuduh. Itu benar. Lihat saja setiap datang ke sini, pasti merendahkan kita. Selalu saja ada yang dia komentari.”
“Kau, adikmu dan seluruh keluarga kita jangan pernah datang ke rumahnya. Menjauh darinya dan jangan minta apapun makanan yang diberikan olehnya. Aku membenci leak-leakitu seumur hidupku.”
Entahlah, aku tak mampu menggambarkan perasaanku mendengar perkataan ibuku. Kini tak ada yang ingin kulakukan, selain membusuk dan menunggu hakim dari dunia kematian yang tak hanya memvonisku tapi juga menjemputku. [T]
*Cerpen ini hasil workshop penulisan cerpen sehari dalam acara Mahima March March March, 14 Maret 2020 di Rumah Belajar Komunitas Mahima.