Ada kredo menarik tentang durian: “Suka sekali atau tidak suka samasekali”, dan saya termasuk dalam kategori pertama.
Musim ini menjadi puncak kegilaan saya pada buah eksotis ini. Kegilaan yang berkali-kali mengharuskan saya bepergian, aktivitas yang sebetulnya tidak saya sukai. Kegilaan yang memaksa saya rajin menyambangi tempat-tempat yang, sebagaimana informasi yang saya baca atau dengar, memiliki varietas-varietas durian lokal unggul.
Jepara punya durian petruk, Purworejo punya durian growong, Banjarnegara punya simimang, Majalengka punya durian bokor, Banyumas punya durian bawor, Banyuwangi punya durian boneng, Bangka punya cumasi atau namlung, dan seterusnya.
Banyak kisah menarik–perpaduan antara hal-hal yang menyenangkan, kejadian-kejadian konyol dan satu dua peristiwa yang mengharukan–mengenai perburuan ke sentra-sentra durian unggul yang saya sebut di atas. Kalau sempat, akan saya tulis lain kali.
***
Di banyak daerah, tradisi pemberian nama kepada setiap pohon durian sudah jamak di kalangan petani, tidak terkecuali di Bali. Itu semacam rasa hormat sekaligus upaya identifikasi (pendataan) sederhana terhadap populasi pohon durian yang mereka tanam.
Nama-nama yang disematkan berkonteks lokal, umumnya diambil dari nama tempat, nama si pemilik, peristiwa atau penanda tertentu yang mudah diingat.
Sentra-sentra durian lokal unggul di luar Bali tersebar tidak terhitung. Dari pelosok-pelosok pulau Jawa, Nusa Tenggara, Sumatra ujung utara sampai ke selatan, Kepulauan Riau, Kalimantan, hingga ke hutan-hutan lebat di Papua.
Khusus untuk durian lokal varietas unggul di Bali, saya harus menyebut nama sebuah “desa durian” yang terletak di kawasan Bali Utara, desa yang sejak lama masyhur sebagai ikon durian lokal Bali: Desa Munduk Bestala (pemekaran dari Desa Bestala, desa induk sebelumnya).
Di setiap hajatan festival durian, baik skala provinsi maupun kabupaten, dominasi buah durian asal desa berpenduduk sekitar 700 jiwa ini nyaris tidak tergeser.
Vegetasi tanaman di desa yang terletak di ketinggian kurang lebih 500 mdpl ini sebagian besar dibentuk oleh tegakan hutan durian berukuran raksasa berusia ratusan tahun. Rata-rata warganya paham betul soal seluk-beluk bercocok tanam pohon durian, fakta yang mengingatkan saya pada relasi intim warga Gayo dengan tanaman kopi.
Yang terbaru, “I Jalur”, salah satu varietas durian lokal dari Desa Munduk Bestala (lagi-lagi) meraih predikat juara dalam ajang Festival Durian Buleleng yang diselenggarakan awal Januari lalu. (Juara II diraih durian bernama “Ki Raja” dari Desa Madenan, dan “I Panji” dari Desa Panji memperoleh juara III)
Predikat juara I yang diraih “I Jalur” seperti magnet yang memantik ketertarikan saya. Hal pertama yang terlintas di benak saya adalah mencari cara untuk bertemu dengan pemiliknya.
Sepekan kemudian, atas budi baik beberapa kawan saya asal Desa Munduk Bestala, saya dipertemukan dengan sosok yang saya cari: Bapak Kadek Karyana, pemilik “I Jalur”, durian juara itu.
Kadek menerima saya di balai-balai kayu bergaya bali di pojok halaman rumahnya, bersebelahan dengan kolam kecil yang terlihat asri ditumbuhi berbagai jenis tanaman air dan ikan koi warna-warni. Kopi dan beberapa potong dodol ketan yang disuguhkan di atas nampan menyusul kemudian.
Singkat cerita, setelah mengutarakan maksud kedatangan saya, dengan antusiasme dan kehangatan khas masyarakat di pedesaan–sambil tidak henti-hentinya menawari saya supaya mencicipi dodol ketan persiapan hari raya Galungan buatan istrinya–tuan rumah menghadiahi saya cerita-cerita hebat seputar tradisi “wiwitan” warga setempat dalam bercocok tanam pohon durian, upaya-upaya pelestariannya, berikut sederet penghargaan dari institusi-institusi—swasta maupun pemerintah—yang mereka raih dari tahun ke tahun.
Keberuntungan saya tidak berhenti sampai di situ. Menjelang kopi tandas dan di nampan cuma tersisa dua tiga potong dodol ketan, saya ditemani berkeliling.
Turunan dan tanjakan jalan setapak yang licin oleh sisa hujan kemarin menyiksa sendi-sendi kaki saya tanpa ampun. Dua puluh atau tiga puluh menit berselang kami sampai di kebun di mana “I Jalur” tumbuh. Saya amati lekat-lekat tajuk pohonnya yang menjulang.
Dari jarak dua puluh meteran saya berdiri, saya melihat Kadek bergegas memasuki salah satu bilik pondok beratap terpal yang ia buat semi permanen. Saat berikutnya, dari pintu, tuan rumah muncul, tangannya menenteng sebiji buah durian untuk kemudian diangsurkan ke saya. Menurut si penjaga pondok, buah itu salah satu dari sembilan buah yang jatuh pagi tadi.
“Silakan dibuka dan cicipi, Bli.” Hanya orang yang tidak waras yang sampai hati menampik tawaran semujur ini, saya membatin.
Alur juring “I Jalur” gampang dibuka, cukup menggunakan sebilah pisau lipat. Buat saya, ini poin plus pertama.
Manis yang menonjol disertai aroma alkohol dan kecap pahit yang samar, legitnya, ketebalan dagingnya, “ngumpennya”, postur buahnya dan kriteria-kriteria unggul lainnya pantas menobatkan varietas durian ini sebagai juara.
Di luar dugaan, ini keberuntungan saya berikutnya, saya diijinkan meminta beberapa pucuknya sebagai entres untuk nantinya saya sambung (sambung sisip atau sambung pucuk) dengan batang bawah yang kebetulan sudah tersedia di rumah persemaian saya.
Dalam perjalanan pulang, kepala saya sibuk menggambar tajuk-tajuk raksasa pohon durian seakan ia sudah berumah di bagian-bagian kosong kebun saya. Sementara indera penciuman tidak kunjung berhasil menepis lembut aroma alkohol yang ditinggalkan oleh lapis-lapis daging buah durian juara yang saya nikmati barusan. [T]
Catatan:
Tulisan ini disiarkan Komang Armada pertama kali di akun facebook, 20 Februari 2020