Cerpen Susanti Dewi
Malam itu adalah hari Sabtu. Wira, pacarku mengajakku untuk pergi makan malam di sebuah warung lalapan dekat kampus. Kami sangat menyukai warung lalapan itu. Selain karena sambalnya yang segar dan pedas, yang membuat warung itu spesial dan berbeda dibandingkan warung lalapan lainnya adalah ayam, sambal, gorengan tempe tahu, dan tak lupa sayur kul rebus juga kangkung yang dipadu-padankan menjadi satu dalam sebuah cobek kecil. Di kota yang kecil ini, kami jarang sekali menemukan warung lalapan yang sambalnya diulek dan dicolek langsung dari cobeknya, oleh sebab itu kami selalu datang ke warung lalapan itu jika sedang ingin makan lalapan.
Setelah selesai makan malam, Wira mengantarkanku pulang ke kos. Jarak kosku dan Wira memang cukup jauh, tapi ia selalu rela mengantar-jemputku ke manapun yang aku mau. Sesampainya di kos, Wira langsung berpamitan padaku karena harus menemui salah seorang temannya di dekat pelabuhan. Setelah Wira tak terlihat lagi, akupun tak segera masuk ke dalam kamarku.
Aku mendatangi kamar teman kosku, Nanda. Kuketuk pintunya dan ia membukakan pintu. Seperti biasanya, aku akan mengadu dan bercerita kepadanya bagaimana senangnya aku tiap kali pergi bersama Wira. Maka ia akan tertawa cekikikan mendengar ceritaku, namun juga terkadang cemberut. Ia merasa iri, karena sampai saat ini ia belum memiliki pasangan. Entah karena apa. Yang jelas, sebenarnya Nanda adalah orang yang cantik dan asik jika diajak ngobrol. Ia memiliki banyak gebetan. Namun aku tak mengerti mengapa ia masih sendiri sampai saat ini.
Kami bersendau-gurau saat itu. Suara tawa kami beradu liar dengan obrolan-obrolan dan musik dari kumpulan laki-laki yang sedang pesta minum di salah satu kamar dekat kamarku dan Nanda. Kos kami memang bukan kos khusus perempuan. Namun seluruh penghuni kos kami adalah mahasiswa. Selama aku tinggal di kos ini, tak pernah ada kejadian aneh di kos kami. Terlebih lagi soal maling.
Bapak kos juga sangat perhatian perihal kebersihan juga keamanan kos dengan memberi tau kami agar tidak melakukan keributan yang membuat tetangga di sebelah terganggu. Kos kami bisa dikatakan cukup aman, dan semoga akan terus begitu. Setelah lelah tertawa, aku pun balik ke kamarku untuk mengganti pakaian dan beristirahat. Nanda menutup pintunya, dan akupun menutup pintuku.
Setelah masuk kamar, aku segera mengganti pakaianku dengan piyama bermotif panda yang diberikan oleh Wira saat ulang tahunku yang ke-20. Mengenakan piyama itu membuat tanganku sangat gatal untuk melihat-lihat album ulang tahunku saat tahun lalu. Aku melihat album kenangan itu sambil senyum-senyum sendirian ketika melihat potret wajah Wira yang penuh dengan cream kue tart di wajahnya karena ulahku. Namun aku merasa cukup terganggu dengan orang-orang yang sedang minum itu.
Lambat laun, suara tawa dan obrolan mereka semakin keras dan terus mengeras. Ingin rasanya aku menghampiri mereka keluar dan menyuruh mereka untuk bubar. Namun jika aku melakukannya, mereka yang sedang dalam kondisi mabuk atau tidak itu pasti akan menjadikanku sasaran empuk. Sungguh, aku kesal sekali. Namun aku tak mungkin melakukannya. Aku mencoba tak menghiraukan suara-suara mereka dan menutup album untuk segera tidur.
Album foto itu aku letakkan kembali diatas rak kayu dan kembali ke tempat tidur. Saat aku baru saja menarik selimut, hp yang aku letakkan di sebelah bantalku tiba-tiba bergetar. Aku memang tidak pernah mengaktifkan nada dering hp-ku. Karena aku pikir, itu akan sangat mengganggu jika hp-ku tiba-tiba berbunyi keras saat aku tengah berada dalam suatu acara atau sedang melakukan kegiatan yang penting. Mendengar getaran itu, aku segera mengambil hp-ku. Kulihat ternyata Nanda yang menelepon. Ada apa ini? Baru saja bertemu, kok sekarang dia meneleponku? Sudah satu kos, gaya-gayaan pakai nelepon segala lagi, pikirku sebelum mengangkat telponnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di pikiranku aku tebas segera dengan mengangkat teleponnya.
“Hallo. Kenapa, Nan?”, Ku dengar napasnya terengah-engah seperti orang asma.
“Kei, kok… aku… napasku…” Perkataannya terbata-bata. Sepertinya ia sangat susah untuk bicara.
“Kamu kenapa, Nan?” Kupertegas lagi pertanyaanku namun ia tak menjawab. Terdengar napasnya ditarik dan dihela sangat panjang. Jantungku berdebar, aku khawatir terjadi hal yang tidak-tidak kepadanya. “Tunggu, Nan. Aku ke kamarmu sekarang”. Segera ku taruh hp-ku dan menuju kamar Nanda, lagi. Aku sangat panik. Sampai-sampai aku lupa menutup pintu kamarku.
Aku berjalan setengah berlari menuju kamar Nanda. Ketika aku sampai di depan kamarnya, aku segera membuka pintunya. Pintu kamarnya belum terkunci. Kulihat ia duduk di atas kasur sambil menutup wajahnya dengan tangan. Kuraih tangannya dan mencoba untuk membuka.
“Kamu kenapa, Nan?” tanyaku.
Ia melepaskan tangannya dari wajah dan berpindah ke dadanya. “Napasku, Kei. Aku susah bernapas. Sesak”.
Napasnya sangat berat, ia linglung dan panik. Napasnya semakin tak terkendali. “Tenang, Nan. Atur napasmu. Tenang, ayo minum air dulu!” .
Ia segera bangkit dan menyambet sebuah gelas. Ia terlalu panik dengan apa yang terjadi pada dirinya, ia seperti ingin segera menemukan cara agar sesaknya lekas hilang. Gelas di tadahkan di bawah pipa pompa air. Dengan napas yang sangat susah, ia terus memompa air agar keluar dari galon.
“Sudah, Nan. Kau diam saja. Biar aku yang memompa airnya!”
Ia tak menghiraukan omonganku, ia terus memompa dengan napas yang sangat sulit. Benar saja, belum beberapa detik ia memompa, gelasnya terlepas dari tangan. Tubuhnya melemas. Matanya terpejam. Tangannya mencengkram kuat dadanya. Napasnya tak bisa lagi dikendalikan. Jantungku semakin berdebar, tubuhku gemetar melihat keadaannya. Aku berusaha menopang tubuh Nanda dari belakang.
“Nannnn… sadar! Hei, atur napasmu! Nan, dengarkan aku. Sekarang kamu tarik napas dalam-dalam, lalu hembuskan pelan-pelan. Tarik… hembuskan… tarik… hembuskan…”
Ia berusaha mendengarkan omonganku dan berusaha untuk mengatur napasnya. Namun Ia tak berhasil. Matanya masih terpejam. Ia menangis. Tubuhnya meronta-ronta karena kesulitan bernapas.
Di tengah isak tangis dan napasnya, tiba-tiba ia berkata, “Aduhhh, Kei.. tanganku… tanganku tak bisa bergerak. Tanganku, Kei… ” Kulihat kedua tangannya terbujur kaku ke depan. Jari-jari tangannya menyatu. Aku berusaha membuka jari-jari tangannya, namun sama sekali tidak bisa. Kurasakan tangannya seperti besi. Keras dan kaku.
Aku semakin panik. Aku tak tau apa yang harus aku lakukan dengan kondisi Nanda yang seperti itu. Yang terus aku lakukan hanyalah menyuruh Nanda agar mengatur napasnya. Aku sangat takut. Lalu tiba-tiba Nanda berteriak sangat keras “Aaaaaaa….!”
Teriakannya memenuhi seluruh ruangan. Keras sekali. Pekikan suaranya memecah malam. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi. Tiba-tiba ia berteriak lagi “Aaaaaaa…!”
Oh, ya Tuhan. Aku ketakutan bukan main. Tubuhku gemetar menopang tubuhnya. Badanku berkeringat panas dingin. Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya padanya, suaraku menjadi parau, ku goyangkan tubuhnya untuk membuatnya sadar bahwa aku di sampingnya “Hei! Nan, kamu kenapa? Kenapa, Nan? Ayo bicara!”. Napasnya tersengal-sengal tak karuan.
Pintu kamar Nanda masih terbuka saat aku masuk, aku menoleh keluar bermaksud meminta bantuan kepada yang lain. Namun saat aku menoleh keluar, kulihat ternyata orang-orang sudah berkerumun di depan kamar Nanda. Juga orang-orang yang sedang pesta minum tadi. Mereka datang ke kamar Nanda karena mendengar teriakan keras dari Nanda. Kepala-kepala mereka mendengak-dengok penasaran namun tak berani untuk masuk. Jelas bagiku, siapa yang tidak terkejut dan penasaran ketika mendengar sebuah teriakan kencang di tengah malam begini? Beberapa penghuni kos lain juga berdatangan. Yesi, tetangga kamar sebelah Nanda masuk dan menghampiri kami.
“Nanda kenapa, Kei?”
“Aku tak tau, Yes. Katanya sesak, tangannya kaku tak bisa digerakkan!”
“Kita bawa ke rumah sakit saja, Kei. Aku takut kalau kita biarkan di sini, sesaknya akan semakin menjadi-jadi!”
“Tapi bagaimana caranya, Yes?”
“Itu di luar ada Arka, minta bantuan dia saja!”
“Tapi Arka dan teman-temannya baru saja pesta minum, Yes. Kurasa mereka mabuk. Apa tidak bahaya nanti di jalan? Aku takut Arka oleng saat mengendarai motor, apalagi membonceng Nanda. Tidak… tidak…!”
“Kita tidak punya pilihan lain, Kei. Kau mau Nanda kenapa-napa di sini? Lagipula Arka terlihat sadar-sadar saja. Sudah, biar aku yang memintanya!”
Aku tak punya pilihan lain. Arka yang sedari-tadi dengak-dengok di depan pintu, akhirnya menawarkan diri lebih dahulu sebelum Yesi memintanya.
“Ayo bawa ke rumah sakit saja, biar kuantar!”
Kami tak berpikir panjang. Segera kuambil jaket dan celana panjang dari lemari Nanda. Yesi memegang tubuh Nanda, dan aku berusaha memakaikan jaket dan celana panjang kepadanya. Arka segera menyiapkan motornya agar lebih dekat di depan kamar Nanda. Entah kenapa kami tak kepikiran untuk memanggil ambulance. Ah tapi yang pasti, motor jauh lebih cepat.
Aku segera berlari ke kamarku untuk mengambil dompet dan memakai jaket. Arka dan motornya telah siap di depan kamar Nanda. Nanda yang sangat lunglai dan masih dengan napasnya yang terengah-engah, diangkat naik ke atas motor oleh salah satu teman Arka yang bertubuh kekar. Setelah Nanda di atas motor, aku menyusul dibelakangnya. Aku memegangi Nanda dari belakang. Nanda berada di tengah-tengahku dan Arka. Kami berangkat. Motor melaju kilat di tengah jalan yang sepi.
Kami sampai di rumah sakit. Arka memakirkan motornya tepat di depan ruang IGD. Di depan ruang IGD, ada beberapa orang yang sedang menunggu sanak saudaranya yang mungkin sedang dirawat di dalam. Kami menjadi pusat perhatian. Melihat kedatangan kami, langsung saja para perawat dan petugas rumah sakit membawakan sebuah ranjang dorong yang biasa digunakan untuk menangani pasien yang gawat darurat. Salah satu petugas segera mengangkat Nanda dari atas motor dan dipindahkan ke ranjang pasien. Napas nanda masih terengah-engah. Tangannya masih terbujur kaku ke depan. Ranjang didorong masuk ke dalam ruangan oleh para perawat. Mereka berjalan cepat. Aku dan Arka menyusul di belakang.
Di dalam ruang IGD, Nanda ditempatkan di sebuah kamar yang hanya dibatasi oleh korden-korden biru. Seorang dokter dan perawat datang dengan peralatannya. Perawat itu segera memasangkan selang oksigen di hidung Nanda. Dengan tergesa-gesa, dokter memasangkan alat cek tensi dan bertanya padaku.
“Apa temanmu ini memang punya asma?”
Aku berpikir sebentar dan menjawab “Tidak, Dok, saya tau dia. Dia tidak pernah punya penyakit asma!”
Dokter itu terdiam, ia tak membalas jawabanku. Lalu beberapa detik kemudian ia berkata “Tolong tinggalkan kami, kami akan melakukan pemeriksaan!”
Korden ditutup rapat. Aku dan Arka menunggu di luar ruang IGD.
Aku dan Arka terdiam, mungkin Arka sedang memikirkan hal yang sama denganku. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku cemas sekali, jantungku masih berdebar-debar. Tiba-tiba terdengar keributan dari dalam.
“Aaaaaaaa…!”
Orang-orang berteriak riuh sekali. Para dokter dan perawat berhamburan lari ke luar ruangan. Begitu juga pasien-pasien, mereka didorong lari keluar oleh para petugas. Raut wajah mereka terlihat sangat ketakutan. Aku yang sedari tadi berada di luar bersama Arka merasa sangat kebingungan. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam. Aku berusaha mengejar dokter yang tadi memeriksa Nanda. Aku berlari mengejarnya, dokter itu terjatuh.
“Ada apa, Dok? Mengapa semuanya berlari keluar dan terlihat sangat ketakutan?”
Dokter itu menggelengkan kepala, keringat bercucuran di pelipisnya “Temanmu itu…” Bibir dokter itu gemetar,
“Ada apa dengannya, Dok?”
Belum sempat ia menjawab pertanyaanku, ia lari terbirit-birit meninggalkan rumah sakit.
Kami bergegas masuk ke dalam. Di dalam ruang IGD telah sepi. Tak ada satupun perawat atau dokter yang masih tersisa. Aku dan arka menuju ruangan Nanda. Langkah kami terhenti sebentar. Kulihat ruang korden itu membiaskan sinar cahaya putih yang menyilaukan.
“Ada apa ini, Ar? Mengapa tempat Nanda bercahaya seperti itu?”
“Aku tak tau. Ah, mataku sangat silau!”
“Ayo, Ar. Kita lihat keadaan Nanda”
Kami berusaha melawan cahaya silau itu. Ketika kubuka korden yang masih tertutup rapat, ku lihat tubuh Nanda setengah melayang. Napasnya terengah-engah. Matanya terpejam, dan tubuhnya mengeluarkan cahaya putih yang sangat terang. Aku dan Arka sangat shock. Kami takut sejadi-jadinya. Badan kami gemetaran. Aku tak bisa menjelaskan perasaanku melihat kejadian ini. Kami tak berani mendekati Nanda, pelan-pelan kami memundurkan langkah.
Tiba-tiba Nanda memekik kencang “Aaaaaaa!!!!”.
Nanda menghilang bersama cahaya. Ruangan sepi, kami berdiri tercengang.
Oh, ya Tuhan. Apa yang baru saja aku lihat? Aku tak percaya dengan kejadian ini. Mengapa ia menghilang dan pergi secepat ini dan dengan cara seperti ini? Apa yang akan aku katakan pada orang tuanya nanti? Oh, ya Tuhan… aku telah kehilangan temanku itu. Sahabat baikku. Rasanya sesak sekali, Dadaku sakit. Hatiku hancur sehancur-hancurnya. Bodoh! Mengapa aku tak bisa menjaga temanku? Mengapa aku harus mengikuti permintaan Yesy dan Arka untuk membawanya ke rumah sakit? Kalau tidak, pasti tidak akan begini jadinya. Rumah sakit sialan! Rumah sakit terkutuk! Bangsat! Air mataku mengalir deras.
Kutoleh Arka masih tercengang dengan mulut menganga. Aku menangis tersedu-sedu, kupukul-pukul pundak Arka sambil menghujat rumah sakit terkutuk itu.
Arka tersadar dari rasa shock-nya, “Sudahlah, Kei. Jujur saja aku masih sangat tak percaya dengan hal ini. Tapi Nanda sudah tidak ada, Kei. Kita adalah saksinya. Kita sendiri yang menyaksikannya. Ikhlaskan Nanda pergi, Kei. Mari kita pulang!”
Sepanjang perjalanan pulang , aku menangis tak tertahankan. Bagaimana bisa aku merelakan hal ini begitu saja? Bagaimana aku bisa ikhlas menerima kepergian sahabatku? Tuhan, mengapa kau beri Nanda jalan hidup yang seperti ini? Aku tak bisa menerima kejadian ini, Tuhan.
Sesampainya di kos, Arka melepas helmnya dan membantu melepas helmku juga. Wajahnya lesu, tapi ia berusaha terlihat tegar di hadapanku. Aku menelepon orang tua Nanda untuk menjelaskan semuanya. Aku mendengar dari telepon orang tua Nanda panik dan beteriak-teriak. Mereka akan segera datang.
Sambil menunggu orang tua Nanda, aku terduduk di kursi di teras kamar.
“Sudah, Kei. Lebih baik kau istirahat sekarang. Mari kita doakan saja yang terbaik untuknya!” kata Arka sembari berjalan menuju kamarnya.
Bangsat! Aku masih tak percaya dengan semua ini. Air mataku kembali mengalir deras. Ku lihat kamar Nanda tertutup. Lampu kamarnya masih menyala terang seperti saat kami meninggalkannya tadi. Aku memutuskan untuk tidur di kamarnya malam ini. Aku sangat menyayangi sahabatku itu, aku masih tak bisa menerima bahwa aku telah kehilangannya. Setidaknya, aku ingin tidur bersama kenangan dan barang-barangnya malam ini. Kubuka pintu kamarnya yang tak terkunci. Betapa terkejutnya aku ketika melihat Nanda ada di dalam dan bertanya padaku.
“Dari mana kamu pagi-pagi buta begini, Kei? Kok pakai jaket segala?”
Kamar sunyi dan senyap.