27 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Perjalanan
Potret gedung-gedung bertingkat di daerah sekitar Gubeng, Surabaya. (Dokumentasi. Mochamad Rifa’i)

Potret gedung-gedung bertingkat di daerah sekitar Gubeng, Surabaya. (Dokumentasi. Mochamad Rifa’i)

Kunjungan Studi FOK Undiksha ke FIO Unesa, Laku “Ndeso” dan Pikiran Nakal

Mochamad Rifa’i by Mochamad Rifa’i
March 22, 2019
in Perjalanan
14
SHARES

Halo, cuuuk, yok opo kabare? Stop, tahan emosi dulu.

Bukan maksud saya untuk berkata kasar. Simak baik-baik penjelasan ini. Orang jawa timuran jika memanggil atau menyapa teman sebayanya tanpa menggunakana kata ‘cuk’, itu rasanya kurang afdol. Karena orang jawa timuran identik dengan kata ‘jancuk’. Hingga kata itu telah mewabah seantero nusantara.

Bahkan kata ‘cuk’ ini tidak hanya familiar dikalangan anak-anak remaja saja, bapak-bapak, emak-emak, tante-tante, om-om, pakde-pakde, bahkan sampai ke budhe-budhe mungkin, kerap kali mereka juga mempraktikannya.          

Tidak percaya? Silahkan berkunjung ke Surabaya. Pergilah ke terminal Purabaya, atau sering dikenal dengan terminal Bungurasih. Saya yakin bagi yang sering naik bus Surabaya-Semarang tidak asing dengan terminal Bungurasih. Sebagai contohnya, simaklah bapak-bapak pengemudi taxi yang menawarkan setiap penumpang baru turun dari pemberhentian bus, dengan asiknya mereka berbincang dengan kawan sejawatnya. Kata ‘cuk’ seringkali melintas dalam ucapan bapak-bapak itu.

Baiklah. Saya tidak akan bertele-tele bercerita tentang kata ‘cuk’. Karena setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing. Seperti di Buleleng tidak asing lagi dengan kata ‘cing’ atau ‘cicing’. Benar, kan? Ya, tidak salah lagi.

Surabaya

Ini perjalanan saya ke Surabaya yang kesekian kalinya. Namun, perjalanan kali ini saya baru merasakan ada perubahan. Padahal selama hampir kurang lebih tiga tahun saya di Bali, setiap liburan semester saya menyempatkan diri untuk berlibur di kampung halaman. Tepatnya di Tuban, Jawa Timur. Dalam perjalan itu saya pasti berhenti sejenak di Surabaya. Karena memang Surabaya sebagai pusatnya kota di Jawa Timur.

Oleh karena itu jika saya di Bali akan pulang ke Tuban, ataukah saya ada di Tuban dan akan balik ke Bali, sejenak pasti saya beristirahat di Terminal Bungurasih. Sambil menunggu bus, sesekali nongkrong di warteg sembari meyeruput segelas teh anget dan ditemani ote-ote anget. Uh, luar biasa mantapnya. Sederhana, tapi cukup membuatku bahagia.

Inti dari ceritaku ini adalah saya merasakan kecemasan, ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran. Ah… sudahlah, pokoknya perasaanku bercampur aduk seperti adonan sambel plecing. Ini terjadi sekitar beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 14 Maret 2019.

Kisahnya dimulai ketika saya mengikuti program rutin yang diadakan oleh fakultas dimana tempat saya kuliah. Yaitu program study tour. Saya tidak akan bercerita atau mengkritik program ini, tapi saya akan bercerita tentang ibukota provinsiku dan sedikit menyinggung kujungan studi. Hehehe.  

Sebelumnya kami perjalanan dari kota Malang, hinggalah kami tiba di Surabaya. Saat itu rombongan kami tiba di Surabaya sekitar pukul 21.00 WIB. Hampir setiap jalan, langit tampaknya muram, meneskan rintik hujan sepanjang perjalanan kami. Sepuluh bus menuju parkiran hotel.

Hotel yang cukup keren namanya Harris Hotel & Conventions di daerah Gubeng, Surabaya. Setelah semua rombongan turun, kami menunggu hampir setengah jam untuk bisa naik ke kamar kami masing-masing. Sabar. Sampailah saya, dan dua teman saya yang lain yaitu Vicko dan Ghiffa di kamar kami.

Harris Hotel & Conventions, Gubeng, Surabaya (Dokumentasi. Mochamad Rifa’i)

Yang namanya orang kampung, dimana-mana pasti ada saja sesuatu yang memalukan. Dasar ndeso umpatku pada diri sendiri. Bagaimana tidak? Lha, wong menyalakan lampu saja bingung.

Jujur kami bertiga ngakak. Setelah pintu dibuka dengan kunci sensor, lampu masih keadaan belum menyala. Kemudian di samping pintu terdapat saklar-saklar. Satu persatu saklar kami nyalain. Namun masih tetap belum menyala. Kami bingung. Cuuuk….

Akhirnya insting saya main, saya mencoba menggesek-gesek kunci kamar ini dengan sebuah alat yang nempel di tembok. Alhasil, lampu menyala. Tenang sudah. Kemudian mereka berdua merebahkan badan di atas kasur dan menanggalkan barang-barangnya di lantai.

Kemudian lampu tiba-tiba mati. Kegaduhan terjadi lagi. Saya ambil kunci sensor dan ku gesekkan di alat yang nempel di dinding itu, lampu kembali menyala. Ada yang tahu apa itu nama alat geseknya? Haha, sorry saya orang ndeso tidak tahu gitu-gituan.

Lampu tiba-tiba mati lagi. Hal itu terjadi berkali-kali. Dan kami melakukan hal yang sama untuk menghidupkan lampu agar tetap menyala.

Baru yang terakhir saya terheran-heran. Ada apa ini? Masak iya, hotel sebagus ini seperti ini? Baru saya sadar bahwa dalam alat gesek yang nempel di dinding itu terdapat tulisan, ‘please insert your card’. Kusisipkan kartu di alat itu. Hingga lampu tak bisa mati secara tiba-tiba. Dasar katrok! Kampungan!

Kami mempunyai cara masing-masing untuk menikmati waktu istirahat. Ghiffa, sudah tidak heran lagi jika tidak bisa lepas dari gawainya. Videocall menjadi hiburannya, dan itu sangat lama sekali. Vicko yang asik dengan mainan shower di kamar mandi dengan memainkan air hangat dan dingin.

Ah, ya begitulah orang seperti kami. Kemudian saya sendiri, membuka tirai jendela kamar lebar-lebar. Pemandangan kota Surabaya yang indah. Kelap-kelip lampu kota. Gedung-gedung bertingkat. Semua terpampang nyata. Memang view yang bagus di malam hari. Karena kamar kami ada di lantai 17.

Suasana malam di kota Surabaya (Dokumentasi. Mochamad Rifa’i

Saya duduk di tepi kasur, menyaksikan kerlap-kerlip lampu kota. Lalu, saya bernostalgia. Saya teringat kejadian pada Desemeber 2013 sampai Maret 2014 silam. Pada waktu itu saya duduk di bangku SMK tepatnya kelas XI. Yaitu melakukan Praktik Kerja Industri (PKL) di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Kurang lebih saya hidup di kota Surabaya selama tiga bulan. Saya kira, saat itu Surabaya benar-benar kota yang tak pernah sepi. Hampir 24 jam jalan raya tidak pernah sepi oleh kendaraan. Begitupun gedung-gedung bertingkat, apartemen mewah, puluhan pusat perbelanjaan, hampir setiap hari di jalanan sudut kota yang macet, dan banyak kenangan lagi.

Itu terjadi sekitar lima tahun silam. Dan saat ini di tahun 2019, saya kembali ke Surabaya hanya untuk menginap semalam saja. Saya baru sadar, bahwa Surabaya yang dulu bukanlah Surabaya yang Sekarang. Mengapa saya berpikir seperti itu? Nanti kamu akan menemukan jawabannya sendiri.

Ke Unesa

Tibalah pagi menjelang. Kami pun harus bersiap-siap untuk meninggalkan hotel dan melanjutkan kunjungan studi kami di Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Bus menyusuri kota Surabaya. Mataku tak pernah fokus. biasanya dalam perjalanan, saya tidak pernah betah-betah melek. Saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk tidur sepanjang perjalanan. Namun saat ini saya memilih untuk fokus dalam perjalanan.

Bola mata terus berputar ke kanan dan ke kiri. Saya benar-benar kagum. Ternyata Surabaya lima tahun lalu, kini mengalami banyak perubahan. Tidak hanya macetnya saja. Banyak gedung-gedung bertingkat yang mulai bertebaran. Mulai dari tahap renovasi, tahap finishing, bahkan banyak berjejeran rentetan tahap pembagunan dan galian tanah sebagai pondasi-pondasinya .

Rasa senang pasti ada. Siapa, sih, yang tidak suka melihat Ibukota Provinsinya ramai, banyak bangunan bagus, dan tentunya tidak kalah dari kota Jakarta? Perasaan saya kagum. Kok, kagum terus, sih? Ya, sudah, intinya saya kagum. Titik! Diam! Tidak usah protes!

Pikiran Nakal

Tapi sayang, pikiran-pikiran nakalku bermunculan. Ini hanya halusinasi seseorang yang kurang makan daging anjing sama sayur kol. Jangan dimasukkan hati. Saya himbau, kepada pembaca yang budiman. Harap tenang! Biarkan saya menceritakan pikiran nakalku.

Jadi gini, kota Surabaya ini terletak tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dari Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo. Lalu apa kaitannya dengan Porong?

Masihkah ingat tragedi Porong? Iya, benar lumpur panas lapindo. Saya juga tidak tahu kenapa pikiran saya hingga sejauh ini. Jika kita berbicara tentang lumpur lapindo, pada isu hangat-hangatnya tak sedikit dari masyarakat mengatakan bahwa tanahnya selalu megeluarkan lumpur panas. Jika tidak salah ini terjadi pada mei 2006. Sudah sepuluh tahun lebih terjadinya bencana lumpur panas lapindo.

Dalam pikiran tak sadar saya melintas bagaimana kondisi Surabaya sepuluh tahun ke depan?

Bagaimana kondisi Surabaya jika tak sedikit bermunculan rentetan gedung-gedung bertingkat?

Dan analisis jawabanku jika banyak pembangunan gedung-gedung bertingkat adalah sebagai berikut. Tidak semua dalam pembangunan gedung tertinggi melakukan ruang terbuka hijau. Dan juga tak sedikit dari pembangunan ini tanahnya diperkeras baik dengan aspal maupun beton.

Jika kebanyakan dari pembangunan dilakukan seperti itu, hal ini akan berdampak pada wilayah yang ada disekitarnya seperti tergenang air dan menyebabkan banjir. Karena kurangnya tempat resapan air di daerah gedung-gedung.

Tidak hanya itu saja, tentunya gedung-gedung ini akan membutuhkan air bersih, sedangkan jika pemasokan air kurang. Lalu apa yang terjadi?

Itu akan menjadi masalah baru. Kemudian dengan menghalalkan segala cara menyebabkan para pemilik gedung melakukan penyedotan air secara tidak karuan. Akibatnya, banyak terjadi pengeboran air yang tidak sedikit. Saya sebagai warga Jawa Timur jika mendengar kata pengeboran sedikit agak trauma. Kenapa?

Jawabannya, karena kegelisahan ini terhadap peristiwa yang sudah terjadi. Lumpur panas lapindo. Bisa saja, walaupun hanya melakukan pengeboran kecil-kecilan, pikiran nakal dan tak masuk akal ini selalu saja melintas.

Bagaimana nantinya jika banyak terjadi pengeboran dan mengeluarkan lumpur panas lagi? Pertanyaan itu selalu terngiang jika membayangkan kota Surabaya saat ini.          

Terkadang jika bercerita kepada teman-teman saya selalu ditertawakan. Jika Anda menertawakanku lewat tulisan ini, wah, Anda nyari gara-gara dengan saya. Sudahlah! Saya tekankan, pemikiran orang berbeda-beda, bentuk kepalanya pun tak sama. Jadi wajar, dong, jika memiliki isi kepala yang beda-beda pula. Oh, no….    

Sudahlah, kuakhiri halusinasiku. Dalam benakku, Surabaya pasti akan baik-baik saja. Toh, apa hubungannya pengeboran air sama pengeboran minyak lumpur lapindo?

Dasar tukang hayal! Pikiran macam apa itu! Lalu saya tersenyum. Saya menghela nafas panjang, bus rupanya tak kunjung tiba. Mataku perlahan mulai lengket, kupejamkan mataku hingga aku tertidur lelap.

Penyerahan kenang-kenangan oleh FOK Undiksha kepada FIO UNESA

Tak terasa sampai juga di UNESA. Aku menyaksikan kembali gedung-gedung baru yang ada di kampus Lidah Wetan UNESA. Gedung baru tersebut merupakan rektorat baru UNESA. Karena rektorat telah pindah di kampus Lidah Wetan.

Beberap menit kemudian bus kami tiba di tempat. Tercapai sudah acara temu kangen Fakultas Olahraga (FOK) Undiksha dengan Fakultas Ilmu Olahraga (FIO) UNESA dalam kunjungan studi 2019. Oh, Surabayaku ternyata kamu telah berubah.  [T]

Tags: KotaPendidikanSurabayaUndikshaUnesa
Mochamad Rifa’i

Mochamad Rifa’i

Lahir di Tuban, 12 Juli 1996. Belajar menjadi manusia kuat, dan kokoh tak tertandingi yang bermodalkan nekad dan niat. Bismilah, atas ijin Tuhan semua akan baik-baik saja.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
Esai

Bebunyian: Berangkat dari Mana, Berhenti Entah di Mana – Catatan Sutradara Sebelum Pentas

  SETIAP pementasan memiliki pesan, nilai, misi yang ingin disampaikan kepada penonton. Setiap pementasan memiliki ruang interpretasinya masing-masing: seluas apa, ...

February 2, 2018
Bermain pantomim pop bali di Rumah Mahima
Esai

Tujuan Pulang Kampung yang Tidak Terduga

Apa tujuan pulang kampung di masa pandemi seperti ini? Kesibukan apa yang dapat dilakukan disaat ada himbauan tidak boleh berkumpul ...

July 3, 2020
Foto: Mursal Buyung
Opini

Mahasiswa Masa Kini: Mahasiswa Fasilitas, Mahasiswa Gajian, Mahasiswa Populer

  Mahasiswa, Manusia yang bijaksana, katanya. Tunduk kepada IPK hingga tak berdaya Angannya selangit, tetapi gejala apatis merajalela Kemanakah kelak ...

February 2, 2018
Jerinx SID di PICA FESTIVAL SANUR
24 FEBRUARY 2019/ Foto: Facebook/SID
Ulasan

Guru Bahasa Indonesia Itu Bernama Jerinx Superman Is Dead

Duahari menjelang Hari Raya Nyepi di Bali, bukan hanya supermarket yang ramai pengunjung, tapi bank juga panjang antrian. Aku terjebak ...

March 22, 2019
Michelle Williams dan Casey Affleck/net
Ulasan

Manchester By The Sea: Lepasnya Casey Affleck dari Bayang-Bayang Ben Affleck

Judul Film: Manchester By The Sea Produser: Kimberly Steward, Lauren Beck, Matt Damon, Chris Moore, Kevin J. Walsh Pemain: Casey ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jaja Sengait dari Desa Pedawa dan benda-benda yang dibuat dari pohon aren [Foto Made Saja]
Khas

“Jaja Sengait” dan Gula Pedawa | Dan Hal Lain yang Bertautan dengan Pohon Aren

by Made Saja
February 25, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Dr. I. Made Pria Dharsana. SH. M.Hum
Opini

Hilangnya Peran Notaris Dalam Pendirian PT UMKM

by I Made Pria Dharsana
February 26, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1413) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (340) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In