(Jatuh Cinta Sendirian)
Teruntuk pembaca, aku tak tahu harus menulis di mana lagi. Cerita tentang kami seolah tak pernah habis. Seolah.
Namaku Giesta Persada, orang menyapaku Gie. Mahasiswa kependidikan di salah satu perguruan tinggi di Bali. Aku gemar menulis. Menulis seolah memberiku ruang untuk ungkapkan apa yang tak berani kulisankan.
Awalnya aku ingin menulis di selembar kertas yang sering aku cabut dari buku catatanku. Namun, wacana #LessPaper dan #SaveTheTress yang muncul di mana-mana telah menghentikan salah satu cara paling romantis untuk ungkapkan rasa lewat sepucuk surat.
Alhasil, mengabadikan mereka dalam media elektronik seperti ini adalah pilihan terakhirku. Sesungguhnya ini hanyalah curahan singkat untuk sebuah rasa yang dipupuk cukup lama. Ini tak seperti kisah-kisah tentang para pujangga layaknya Dilan dalam Film Dilanku 1990 ataupun Rangga dalam Film Ada Apa Dengan Cinta?.
Ini hanyalah sebuah Diary pendek yang kukutip dari beberapa ingatan yang masih melekat dalam amigdala otak ini. Aku harap ini takkan membuat jenuh apalagi buat hati kalian jadi riuh ketika membacanya.
Perkenalkan, Dia adalah seorang gadis, dengan bola mata bundar besar, pipi yang kata orang dinamakan tembem serta memiliki senyum yang cukup kuat untuk membuatku mengabaikan semua hal disekitarku. Namanya Kei, Anandita Keira .
Statusnya saat ini adalah teman sekelasku. Mengapa teman sekelas? Karena sulit bagi kami untuk menjadi teman hidup. Haha bercanda.. aku bercanda saat aku bilang aku bercanda.
Kei hadir sebagai sosok yang sebelumnya tak pernah aku duga. Sosok yang sama sekali tak kurasakan kehadirannya hingga pada suatu titik temu, kudapati diriku telah jatuh padanya. Mungkin ini kisah yang sangat personal tentang seseorang yang mencoba merunutkan beberapa tragedi penting dalam hidupnya yang mungkin itu biasa saja di mata kalian. Cukup nikmati saja kisah yang tak pernah dibahas ini.
Januari, 2017 (Orang Pertama).
Mungkin alasan ini terdengar klasik namun benar bahwasanya aku tak bisa memastikan kapan dan di mana aku benar-benar mulai terjatuh. Apa yang aku ingat selama ini hanyalah pada bulan ini aku mulai jatuh karenanya.
Kala itu hari ulang tahunku ke-20. Kali pertama aku menginjak usia di kepala dua. Layaknya perayaan hari ulang tahun pada umumnya, teman-temanku ingin merayakannya sembari manggang. Ya, sekedar manggang kecil-kecilan di rumah.
Cukup banyak yang datang sore itu. Termasuk Kei. Aku tak menyangka dia akan datang ke acara yang dibuat dadakan itu. Singkat ingatan, perayaan pun dimulai dengan pemotongan kue kemudian kami makan bersama dari hasil panggangan kami. Bapak dan Ibu ada saat itu.
Setelah memberikan suapan kue untuk mereka berdua, suapan selanjutnya haruslah diberi ke teman. Aku tak tahu apakah Kei akan mengingat ini jikalau aku bertanya sekarang padanya. Ya, dia adalah orang ketiga yang aku suapi kue ulang tahun setelah kedua orang tuaku. Dengan kata lain, dia adalah yang pertama.
Mei, 2017 (Layout Designer).
Kelas disibukkan dengan project membuat majalah untuk tugas akhir mata kuliah Writing. Tugas pun dibagi per orang guna memudahkan pekerjaan. Aku dan Kei bertugas sebagai layout designer. Kei cukup mahir dalam urusan mendesain. Aku pun kalah jelas. Ini adalah hari pertama.
Siang itu team layout designer berkumpul di rumahku. Ada sekitar 5 orang termasuk aku. Kei datang kedua setelah temanku yang lainnya. Dengan meja kecil yang kupunya, dia mulai bekerja di depan laptop yang dia taruh di atas meja kecil itu.
Aku duduk di sampingnya. Menemaninya, memberikan masukan yang sekiranya bisa lebih mendekatkanku dengannya. Prihal melucu, kami tak kalah hebat. Bagian mengedit foto-foto teman di kelas untuk majalah pun, ide-ide kami tak kalah cemerlang.
Hari pertama kami lalui dengan kebanyakan gelak tawa dan tak menghasilkan progress yang signifikan. Hari kedua, siang itu ia tak datang. Ia bilang ia akan mengerjakannya di kos saja. Jujur, itu buatku gelisah. Tak bertemu dengannya, tak ada yang seperti kemarin.
Dengan segala bujuk rayu, malamnya Kei datang. Dia kubiarkan bekerja di kamarku karena memang diluar sedang ramai karena ada teman yang lainnya. Tenang, Kei tak sendirian bekerja di kamar. Dia ditemani 2 teman lainnya. Aku? Sudah jelas di luar karena pasti kerja takkan selesai jika aku nimbrung di dalam seperti kemarin.
Aku tak bisa egois dengan memilih untuk menemaninya bekerja. Dalam beberapa situasi, berjarak itu perlu. Begitulah bagaimana rasa makin bertumbuh. Diam-diam namun pasti.
Juli, 2017 (Pasir Putih).
Sekitar pertengahan musim panas 2 tahun lalu, aku dan dua teman berangkat menuju pantai Pasir Putih, Gerokgak. Sempat ragu memang karena cuaca mendung dari rumahku di Singaraja. Namun rasa haus akan berlibur mengalahkan gelap awan saat itu.
Pukul 3 sore waktu setempat, kami tiba di Pasir Putih. Cuaca agak terik dan angin pantai berhembus cukup kencang. Singkat ingatan, tenda kecil kami berdiri tak agak jauh dari pos penjaga. Kala itu, sunset sudah menyapa dengan senyum manisnya di penghujung khatulistiwa. Sontak saja diri ini berfikir
Dia apa kabar?
Mengingat itu adalah musim liburan dan sudah lama aku tak melihatnya. Indahnya senja kala itu membuatku semakin berfikir gila.
Bagaimana jika sekarang aku nyatakan cinta adanya?. Apapun jawabannya, setidaknya pemandangan ini kan mampu menghibur emosiku pikirku saat itu di dalam tenda.
Segera ku cabut selembar kertas dari buku catatan kecil yang memang sengaja aku persiapkan untuk hal-hal mendadak seperti ini. Kurang lebih begini tulisku
I LOVE YOU. SURAT INI DIBUAT TANPA PENGARUH ALKOHOL
Kemudian aku ambil gambarnya dengan kamera ponsel ku dan ku kirim gambar surat itu ke ruang obrolan kami di Line. Cukup lama aku menunggu balasannya karena memang saat itu sinyal ponsel semakin terganggu kala hari makin malam.
Aku tak bisa bohong jika aku bilang bahwa aku tak deg-degan menanti balasannya meski ku tahu bahwa itu bukan penembakan dan hanya pengungkapan perasaanku padanya. Notifikasi Line pun muncul. Tanganku layaknya halilintar yang menjelma ke Bumi. Cepat sekali tangan ini mengambil ponsel.
Dalam balasannya, dia bertanya, ”Kenapa?”. Dan jujur aku lupa apa yang kujawab saat itu. Namun yang pasti ini bukanlah penembakan di mana balasannya antara ya dan tidak. Layaknya cinta yang dimulai dari sebuah pertemanan, Kei menjawab.
Aku nyaman denganmu sebagai teman. Tetaplah seperti ini
September, 2017 (Kepala Dua).
Ini bulan kelahirannya. Per tanggal 13 September bersamaan dengan hari di mana ibuku berulang tahun. Aku bingung hendak memberikannya apa. Aku cukup tahu beberapa hal kesukaannya. Dia suka kuda Unicorn salah satunya. Kuda yang kerap muncul dalam cerita-cerita dongeng.
Namun, aku cukup kudet untuk mencari benda semacam itu. Kutelisik lagi hal lain yang sekiranya menyangkut hobinya. Aku ingat dia hobi bernyanyi dan beberapa kali ia memposting rekaman dirinya bernyanyi di social media instagram.
Hal pertama yang terlintas di benakku adalah sebuah microphone kecil yang sekiranya bisa ia gunakan jika ingin merekam suaranya yang lembut itu. Akhirnya kudapatkan satu yang sesuai keinginanku. Hadiah sudah di tangan.
Pertanyaan yang muncul berikutnya, bagaimana caranya aku memberikan ini padanya? Aku kurang baik dalam hal-hal seperti ini. Berbagai rencana pun muncul. Mulai dari menitipkan ke teman dekatnya, datang ke kos nya lalu menggantungkannya di gagang pintu kamarnya hingga menyelipkannya ke dalam tas ketika di kampus.
Alhasil, ide hanyalah sebatas ide. Microphone itu aku simpan di almariku hingga saat ini. Dan hadiah ulang tahun yang kuberikan padanya hanyalah ucapan Happy Birthday
Desember, 2017 (Selamat Tahun Baru).
Akhir tahun kami habiskan di kampus sembari membuat tugas akhir kuliah. Aku, Kei dan beberapa teman lain datang ke kampus untuk membuat rekaman video untuk tugas akhir. Entahlah, apapun yang berkaitan dengannya, aku selalu bersemangat.
Andai temanku tak mengajak Kei saat itu, mungkin aku akan malas datang ke kampus di akhir tahun. Haha. Aku masih ingat tingkah konyolnya saat itu. Dalam tugas rekaman tersebut, ada satu kesempatan di mana dia berperan sebagai murid yang sedang merokok.
Tingkah lucunya kerap membuatku tertawa. Lagaknya memegang sebatang rokok serta raut bibirnya yang menggemaskan. Ahh, rasanya tak ingin ku hapus rekaman itu dalam handycam ku.
Dan hari terus berganti, bulan pun demikian. Dalam beberapa kesempatan, kami lebih sering bercengkrama via telepon tentang segala hal yang mungkin tak sepantasnya diceritakan. Perasaan kian tumbuh namun waktu kian berlalu. Aku semakin menginginkannya. Aku semakin yakin jika aku jatuh cinta sendirian
April, 2018 (Ketakutan).
Sebagai seseorang yang bisa dibilang mencintainya, bukan hal baru bagiku jikalau mengetahui bahwa dirinya kini telah berkekasih. Meskipun dalam beberapa waktu, hubungan mereka sempat menjumpai perkara, namun tak jarang itu adalah sesuatu yang coba ia pertahankan.
Saat itu, aku tahu bahwa hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja. Dan saat itu juga mereka mencoba memperbaikinya kembali. Malam itu pada sebuah acara di kampus, kulihat mereka duduk berdua sedang asyik bercengkrama dan saling tertawa satu sama lain.
Mereka memakai baju kaos kuning. Kekasihnya menarik tangannya lalu diajaknya pergi. Aku, aku melihat itu dari kejauhan. Perasaan takut pun muncul seiring dengan angin malam yang kurasa semakin dingin menyentuh kulit ini. Aku takut kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah aku miliki.
Juli-Agustus, 2018 (Kuliah Kerja Nyata)
Inilah mengapa aku selalu mengucap syukur kepada Tuhan. Sebagai laki-laki yang bisa terbilang tak beruntung dalam perkara cinta, kerap cinta itu hadir dalam kondisi yang tak terduga. Kali ini tentang masa KKN kami. Desa di mana aku ber-KKN dan Kei ber-KKN terbilang cukup dekat. Sungguh, sungguh dekat. Hanya disekat oleh sebuah desa.
Beberapa kali, aku curi kesempatan untuk bisa berdua dengannya. Tenang, statusnya saat itu sudah single sejak perkara dengan kekasihnya tempo lalu. Pertama, kuajak dia untuk mengantarku membawa panci yang kubawa dari Singaraja ke posko. Aku rasa aku tak membutuhkannya.
Aku berencana membawanya ke rumah paman di daerah Badung. Agak jauh memang. Maka dari itu aku ajak Kei untuk mengantarkanku membawa panci tersebut. Aku tertawa. Pasalnya panci itu lumayan besar dan tampaknya Kei kesulitan membawanya dari posko hingga ke rumah bibiku. Selama perjalanan, dia sempat beberapa kali mengeluh
Gie, boleh gak tukeran? Aku yang bawa motornya, kamu yang megang pancinya– katanya sambil tertawa.
Kami pun tiba di tujuan. Setelah menaruh panci di teras rumah, tampak Kei sedang bermain dengan anjing milik paman. Seru sekali rasanya melihat mereka bermain. Kei memang menyukai binatang. Itu salah satu alasan mengapa dia yang kuajak untuk mengantarku ke rumah pamanku.
Seberes dari sana, kami kembali ke posko. Namun, kami singgah sebentar di sebuah toko karena gerimis mulai turun. Sembari menunggu, kami memesan crepes di depan toko tersebut. Ditemani suara percik air hujan, kami makan di emperan toko.
Aku ingat katanya kala itu. jangan buat story di instagram yaa . Iyaa– sahutku.
Saat itu, aku benar-benar ingin hujan turun sedikit lebih lama. Namun langit berkata lain. Matahari kembali mengintip dari balik mendung dan kami pun melanjutkan perjalanan pulang kembali. Kali kedua, aku mengajaknya keluar lagi. Kali ini, kuajak dia pergi ke rumah duka.
Iya, mertua dari dosenku meninggal dan kebetulan acara pemakamannya berdekatan dengan desa tempatku dan Kei ber-KKN. Kujemput dia kala itu ke posko. Dia tampak anggun. Rambutnya diikat, dia mengenakan baju berwarna pink dengan jaket berwarna hitam dan tak lupa juga dengan kamennya. Aku terpesona melihatnya. Kami pun berangkat menuju rumah duka di Marga-Tabanan.
Sesungguhnya ada alasan lain mengapa aku mengajaknya ke sana. Aku tahu bahwa mantan kekasihnya juga berasal dari desa tersebut dan merupakan keponakan dari dosenku ini. Usut punya usut aku ingin mempertemukan mereka berdua di sana.
Tenang, aku tak sejahat tokoh antagonis dalam sinetron yang mencoba sekuat tenaga memisahkan 2 insan manusia tersebut. Mungkin waktu berkata lain, Kei tak bertemu dengan mantan kekasihnya tersebut. Setelah menyalami dosen kami, kami pun kembali.
Aku tak ingin melewati kesempatan ini begitu saja. Kutanya padanya, kamu mau jalan-jalan dulu, kemana?Ke Tabanan kota yuk? Jalan-jalan aja sambil aku mau ambil uang di ATM.
Ayuk!
Aku laju motorku ke arah kota tentunya dengan kecepatan yang ku sesuaikan dengan keinginanku untuk berlama-lama di atas motor dengannya. Singgahlah kami pada sebuah ATM di pusat kota Tabanan. Seberes mengambil uang dari mesin ATM, aku melihat Kei dari balik kaca di dalam ruang ATM.
Dia tampak melihat ramai jalan raya ditemani hembus angin sore yang mengibas rambutnya. Kemudian kutanya, lama nunggu? Nggak kok, jawabnya.
Dengan spontan tanganku langsung merapikan rambutnya yang terurai menutupi mata bundar indahnya. Lalu, kedua mata kami pun saling bertatapan. Ditemani riuh jalan raya kala itu, hatiku pun ikut riuh melihat wajahnya yang memesona dan pipi merah merona nya sore itu.
Kali terakhir di masa KKN kami, per tanggal 5 Agustus 2018 pada sebuah malam gerimis, kami telusuri kota mencari sesuap nasi. Kami akhirnya memilih makan di sebuah tenda lalapan kecil di pusat kota.
Mungkin itu akan jadi malam yang tak terlupakan. Bukan hanya bagi kami berdua, namun seluruh masyarakat saat itu. Baru saja pesanan kami sampai di meja makan, tanah berguncang dengan kerasnya.
Iya, gempa bumi. Sontak aku dan Kei keluar dari tenda lalapan menuju jalan raya. Kami melihat dan merasakan betapa kerasnya gempa itu mengguncang bangunan-bangunan disana. Banyak kendaraan berhenti tepat di depan kami. Selisih menit, gempa pun berhenti. Jujur, aku sempat berfikir akankah ini akhir dari kisah hidupku. Kulihat Kei dan dia sudah duduk di meja makan. Dasar. Haha.
Oktober, 2018 (Hilang)
Beberapa kali Kei kehilangan kesehatannya. Mulai dari telat makan, vertigo hingga penyakit bawaan perempuan. Tak jarang hal itu menyebabkannya harus beberapa kali masuk rumah sakit. Kerap, jikalau aku ada waktu dan jikalau diijinkan olehnya, aku datang ke kosnya sekedar menjenguk dan membawa sebungkus bubur ayam kesukaannya. Bubur ayam yang tak berisi kacang.
Pernah suatu waktu aku mengunjunginya. Wajahnya pucat, bibirnya kering dengan Bye-bye fever yang menempel di keningnya. Kucoba menemaninya sebisaku meskipun mungkin hadirku tak membantu terlalu banyak. Sebelum kupergi, kusempatkan diri mengusap keningnya, mengelus rambutnya dan mengucap selamat beristirahat.
Di lain waktu pada bulan yang sama, dia kehilangan SIM motornya. Suatu pagi, Kei menghubungiku meminta bantuan padaku untuk menemaninya mencari SIM-nya hilang. Awalnya aku sempat GR lalu kutanya mengapa aku yang dia hubungi. Dengan santai dia menjawab, Soalnya di antara temen yang lain, aku tahu kamu yang rajin bangun pagi.
Sungguh jawaban yang memuaskan hati bukan? Lalu aku menemaninya keliling kota untuk mencari SIMnya yang terjatuh entah di mana beberapa hari yang lalu. Terdengar mustahil untuk ditemukan namun untungnya seorang petugas kebersihan berkata mengetahui di mana SIM itu berada dan kami berhasil menemukannya.
Pada bulan yang sama pun, gadis imut ini kehilangan uang kosnya. Uang yang seharusnya ia pakai untuk membayar sewa kos hilang pada suatu malam ketika ia telah selesai mengajar les di sebuah rumah.
Singkat cerita, esok malamnya Kei datang ke rumahku. Sebenarnya, itu atas saran ku sehingga aku bisa membantunya. Meski tak membantu banyak, aku harus bisa berkontribusi dalam titik tersulit dalam hidupnya. Beruntungnya, dia mendapat uang pinjaman dari seorang kenalan. Aku mengantarnya menemui beberapa teman untuk meminjam uang malam itu. Ya, bulan ini penuh dengan kehilangan baginya.
Beberapa garis waktu di atas hanyalah sebagian cerita yang aku tuliskan dalam media ini. Selebihnya hanyalah beberapa peristiwa kecil yang tak sempat terekam secara utuh dalam amigdala otak ini. Sudah 2 tahun memang sejak kue pertama yang aku suapi padanya di ulang tahun ku ke-20 itu.
Beberapa kali aku sempat berbohong. Aku membohongi diri sendiri. Aku berbohong saat bilang bahwa dirinya kan bisa kugantikan sesegera mungkin. Aku berbohong ketika bilang aku tak memperhatikannya pasca beberapa kali dia sempat dekat dengan pria lain.
Aku berbohong saat aku berfikir aku akan terus berjuang. Nyatanya, telah lama aku berhenti. Aku berhenti di pertengahan jalan. Bahkan saat dia mengira aku masih terus mengikutinya berjalan. Di kala rasa itu telah layu, senyum dan tawanya selalu hadir bagai hujan di musim kemarau.
Kutulis garis waktu ini sebagai rasa syukur atas tiap kesempatan yang diberikan Semesta kepadaku, kepada Kei.
Beberapa pembaca mungkin tak tertarik dengan cerita ini. Namun aku yakin kalian juga punya garis waktu yang masih kalian ingat di benak kalian dengan seseorang yang kalian sayangi. Garis waktu tak bisa ditarik kembali, garis waktu tak bisa kau bengkokkan sesuai keinginanmu. Garis waktu takkan mampu menghapus apa yang telah terjadi.
Kei hadir sebagai sosok yang selalu mampu menyapa rasa sepiku. Aku sadar semakin ke sini, kisahku bersama Kei membuatku menikmati apa itu sebuah kesendirian yang membahagiakan. Aku pernah berkata padanya; sebagai apapun aku dalam hidupmu, ketika itu bersamamu, aku mau.
Tempo hari kami kembali bercengkrama via telepon. Kali ini dia bercerita tentang kekasih barunya. Di tengah percakapan itu, kami berdua terdiam lalu dia bertanya, Kenapa kamu suka sama aku?
Dan ku jawab, Kamu menanyakan hal ini lagi sama aku saat kamu sudah punya kekasih sekarang? Aku menjawab sembari tertawa.
Iya, aku pengen tau- sahutnya dengan nada pelan
Aku pun menjawab karena kamu …