Di hadapanku berdiri bangunan megah. Demikian indah. Penuh cahaya. Perasaanku sungguh damai. Awan berarak putih seputih kapas.
Wajah orang-orang yang kutemui cerah dan bercahaya. Tumbuhan dan bunga-bunga berseri. Aku terus berjalan menembus kabut putih. Sampailah aku di suatu tempat yang remang-remang. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tak kulihat siapa pun. Sunyi. Entah mengapa badanku merinding. Aku dikejutkan oleh seseorang berjubah hitam. Wajahnya amat menakutkan.
Ia membawa dhadhung berukuran besar. Tubuhnya besar. Bulu kudukku merinding. Saking takutnya, aku tak bergeming sedikitpun. Kulitnya biru dan menggunakan kendaraan kerbau hitam raksasa. Ia juga membawa Danda. Aku menghela nafas pelan-pelan. Namun sesaat kemudian aku melihatnya sebagai pria tampan berkulit biru. Bercahaya. Ya, benar. Ia memiliki dua rupa. Satu sisi rupanya menakutkan. Di sisi lain, ia menyerupai Dewa Surya. Konon ia adalah putra Surya.
Aku merasa pernah bertemu dengannya. Ah, aku lupa. Mungkin di kehdupan yang dulu. Namun hatiku mengatakan bahwa aku harus menemuinya untuk memohon belas kasihnya. Saat ini, aku sangat mengharapkan pertolongannya, kebijaksanaannya dalam mengubah nasibku. Maka ku beranikan diri berbicara. Sebelum aku mengajukan pertanyaan, ia bertanya lebih dulu.
” Untuk apa kau ke sini?”
Mulutku terkunci.
” Aku belum menjemputmu. Kau boleh ke sini kalau aku menjemputmu,” katanya lembut menyerupai bisikan dedaunan yang tertiup angin.
Aku memberanikan diri bertanya,”Bolehkah aku memohon padamu?”
“Aku sudah tahu keinginanmu. Saat ini kau sedang berada di Bardho pertama yaitu rahim ibu. Ini memang harus kau lalui.”
“Tapi, …..”
“Tapi apa? Sebenarnya belum saatnya bagimu menghadapi pengadilan. Kau harus mengalami bardho yang lain.”
“Kumohon. Dengarkan aku, Dewa. Aku melihat danau dan angsa yang demikian indah, maka aku memasukinya. Tapi mereka menolakku. Bolehkah aku kembali?”
Dewa Yamadipati diam sejenak. “Hmm… baiklah. kau kuijinkan kembali. Tapi kali ini saja. Tidak ada kesempatan kedua. Jika kau melihat lorong gelap atau bangunan megah, kau tak boleh memohon lagi. Kebaikan atau dosamu yang akan memilih.” jawab Dewa Yamadipati.
Mendengar jawaban itu, aku tak tahu mesti bahagia atau sedih.
“Namun ada satu syarat. Setiap bulan mati, kau harus mengunjungi ibumu dalam rupa topeng untuk menghiburnya,” katanya. Lalu, Dewa Yamadipati menghilang.
Aku terbangun dari tidurku. Perasaanku campur aduk. Sedih, gembira terus silih berganti. Tiba-tiba senjata Danda dan Dhadhung itu menjemputku. Keasingan mendesing gigih berbalut lega yang sangat. Kubisikkan sesuatu di telinga ibu sebelum pergi.
Namaku Komang. Paling tidak demikianlah ibu selalu memanggilku . Setiap hari aku disuguhkan cerita segar yang membuatku tersenyum. Pekerjaan apa pun yang sedang dikerjakan ibu tak membuatnya melupakanku. Aku sungguh bahagia. Seperti saat ini. Ibu sedang menyetrika baju dua orang kakakku yang sudah bersekolah di kelas 4 dan kelas 2 SD. Sambil menyeterika, Ibu bersenandung riang untukku. Aku ikut bernyanyi. Aku tertawa dan menari.
Twinkle twinkle little stars. How I wonder what you are.
Up above the world so high. Like a diamond in the sky……..
Lagu itu menggema di sekujur tubuhku. My star, you are my litlle star. Demikian ibu selalu menyapaku. O ya selain menyanyi atau bercerita, ibu juga sering memutarkanku lagu, musik atau cerita tentang Lion King. Aku paling suka cerita Lion King. Aku sering mengkhayal menjadi Simba, seorang pemimpin yang bijaksana. Ia disenangi rakyatnya dan seorang pemberani. Dan aku membenci Paman Scar yang begitu licik.
Lagi asyiknya aku mendengarkan cerita Lion King, tiba-tiba aku mendengar suara ribut-ribut di luar. Ternyata kedua kakakku, Putu dan Made sedang bertengkar memperebutkan mainan. Dengan tergopoh-gopoh ibu keluar mendamaikan mereka. Nafas ibu terdengar ngos-ngosan. Made melempar mainan ke tembok. Keduanya berteriak histeris dan menangis. Selang beberapa saat, ibu berhasil mendamaikan mereka. Begitulah yang sering terjadi.
Ayahku seorang pengusaha kayu yang sukses.Setiap hari berangkat pagi dan pulang malam. Praktis ibu yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Dari membuat sarapan, mempersiapkan kedua kakakku sampai mengantar mereka ke sekolah. Untungnya, jarak sekolah dengan rumahku cukup dekat. Ibu tak perlu mengendarai sepeda motor mengantar mereka.
Biasanya ibu berjalan kaki mengantar kedua kakakku. Sekembali dari sekolah, ibu membersihkan rumah, menyetrika, mencuci dan menyiapkan masakan untuk makan malam kami. Setelah itu ibu menjemput kedua kakakku ke sekolah. Begitu setiap hari. Bapak tidak mau memakai jasa asisten rumah tangga. Kata bapak nanti kalau ibu sudah lahiran baru memakai jasa asisten rumah tangga.
Meskipun ibu sibuk, ia selalu mendoakanku, mendekapku, bersenandung membacakan buku cerita dan mendongeng. Semuanya ia lakukan untukku. Komang, Her litle star.
Pagi ini, rupanya kesehatan ibu sedang terganggu. Aku mendengarnya batuk-batuk dan bersin-bersin. Ayah menaruh tangannya di kening ibu. Hangat.
“Bu, kamu istirahat dulu. Biar aku yang mengantar Ayu dan Putri ke sekolah. Ingat minum obat ya,” pesan ayah.
Ibu mengangguk lesu. Bibirnya melengkung membentuk senyuman meski pusing menyerang kepalanya. Ibu segera ke dapur, membuat teh jahe hangat. Diteguknya perlahan sampai tandas. Kini ibu berbaring sambil membacakanku dongeng tentang I Siap Selem.
Ibu tertidur pulas….. kunyanyikan ia lagu twinkle twinkle litle star. Senyuman manis bertahta di bibirnya. Wajah ibu terlihat damai. Biarlah ibu tidur agar ia lekas sembuh dan ceria kembali. Namun Ini tak berlangsung lama.
Suara gaduh membangunkan ibu. Rupanya kakakku Tu Ayu dan Dek Putri sudah pulang sekolah. Mereka dijemput oleh salah seorang karyawan ayah. Ibu segera beranjak menyambut kedatangan mereka. Ibu segera menyiapkan makan siang untuk kedua kakakku yang cantik itu,
Mereka secantik ibu. Rambut hitam lebat dan panjang. Setiap pagi ibu mengepang rambut mereka. Memasangkan pita warna warni yang indah. Bulu mata mereka lentik, hidung bangir dan kulit putih. Tangan mereka ditumbuhi rambut-rambut yang agak lebat seperti ibu. Alis mereka pun tebal. Ibu biasanya merapikan rambut mereka kalau sudah panjang. Ibu memotong poni mereka. Gaya rambut mereka sama sehingga sering dikira anak kembar. Ibu rajin merawat rambut kedua kakakku.
Di waktu libur sekolah, ibu mengusap minyak kelapa atau membuatkan ramuan dari daun mangkokan untuk keramas. Kata ibu, daun mangkokan bagus untuk memperlebat dan menghitamkan rambut. Begitulah keseharian ibu.
Ketika ayah datang, ibu sudah menyiapkan air hangat, minuman hangat sampai menemani ayah makan malam. Biasanya kami sudah tidur saat ayah pulang. Ibu sering membacakan dongeng penghantar tidur buatku dan kedua kakakku. Mereka tersenyum dan tertidur pulas. Kelelahan dan keceriaan masa kecil tergambar jelas di wajah mereka.
Hari ini ayah mengajak ibu ke dokter. Karena sudah tiga hari flu yang ibu derita tak kunjung sembuh. Aku mendengar ibu berbincang dengan dokter dan ayah. Wajah ayah kelihatan kaget dan kecewa. Setelah pembicaraan itu, ayah lebih banyak diam. Ibu juga diam. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak terlalu mendengarkannya. Aku terlelap sebentar kemudian terbangun akibat sebuah guncangan.
Ibu menangis sesenggukan setelah pertemuan dengan dokter. Sejak hari itu, ibu sering menangis. Aku jadi bingung. Kadang-kadang ibu lupa menyapaku, membacakanku dongeng, menyanyi dan tertawa ceria. Aku penasaran dan berusaha mencari tahu apa penyebabnya.
Di pagi hari yang indah. Sinar mentari mengintip malu-malu melalui celah dedaunan. Aku membangunkan ibu melalui tendangan-tendangan kecilku. Ibu menggeliat terus mengusap-usap perutnya. Aku merindukan celoteh ibu. Merindukan nyanyian dan ceritanya. Sekarang ibu lebih banyak melamun dan menangis. Ibu dan bapak lebih sering terlibat pertengkaran.
“Bapak akan ngupah gender dan wayang kalau anak kita laki-laki, Bu. Bapak akan mengundang Kelihan, Kepala Desa sampai Pak Bupati. Pokoknya pesta besar-besaran,” kata bapak suatu kali.
Sejak hari itu ibu yang biasanya memanggilku Dik Omang, kini memanggilku Gus Omang. Dia percaya, kata-kata adalah doa. Dia tanamkan dalam bawah sadarnya bahwa anak ketiganya laki-laki. Ia terus berdoa agar Hyang Widhi sudi memberinya seorang anak laki-laki sebagaimana harapan suaminya. Sebab kalau anak ketiganya perempuan (lagi) maka bapak tak akan mengurusnya.
Dari hasil pemeriksaan dokter melalui USG, terlihat jelas bahwa jenis kelaminku perempuan. Aku tahu sekarang penyebab ibu sering menangis. Bapak begitu mengharapkan anak laki-laki. Sebagai orang Bali yang memiliki tetegenan gede ia sangat mengharapkan hadirnya anak laki-laki yang nantinya akan tinggal di rumah bersama orang tua.
Anak laki-laki dipandang berharga karena ia yang akan merawat orang tua di rumah, sebagai penerus keturunan dan ngayah di masyarakat menggantikan orang tua. Sedangkan anak perempuan nantinya akan mengikuti suaminya. Jika tak memiliki anak laki-laki, maka keluarga itu dianggap ceput atau puntung. Meskipun sebenarnya bisa saja untuk menghindari kepuntungan itu dengan sentana rajeg atau anak perempuan berstatus sebagai anak lelaki (purusha).
Aku ikut menangis mendengar ibu menangis. Terlebih hatiku sangat sakit karena merasa bahwa aku adalah anak yang tidak diharapkan. Untuk melupakan kesedihannya, ibu bekerja dan bekerja terus. Ia membuka jasa cuci baju. Dari mulut ke mulut, ia menawarkan diri untuk mencuci baju para tetangga.
Karena sibuk, ibu sering melupakanku. Kadang aku menendang lebih keras agar ibu menyanyi dan bercerita padaku seperti dulu. Biasanya ibu akan menyapaku sebentar kemudian sibuk mencuci dan menyeterika lagi. Bapak, seperti biasa ia pulang malam. Ia tak lagi menanyakan keadaanku. Beberapa hari ini, ibu juga tampak agak malas berpanjang lebar dengan bapak. Ibu takut bertengkar lagi dan tambah sakit hati. Namun, meski sudah berusaha menghindari, pertengkaran itu terjadi lagi.
“Memangnya ini salahku?” tanya ibu ketus.
Bapak menghela nafas panjang.
“Luh, kalau yang ketiga ini anak kita perempuan lagi. Hanya ada dua pilihan. Satu, Luh harus bersedia hamil lagi untuk mendapatkan anak laki-laki. Yang kedua…” Bapak kembali menghela nafas.
“Yang kedua apa?” Ibu menatap bapak penasaran.
“Yang kedua, Luh musti bersedia dimadu.”
Wajah ibu langsung pucat. Kendi yang ia pegang langsung jatuh dan pecah berserakan.
“Bagaimana kalau aku hamil lagi dan ternyata anak kita perempuan lagi ?” Nada suara ibu semakin ketus.
“Apa aku tetap dimadu?”
“Kalau begitu kembalikan aku pada orang tuaku,” teriak ibu lantang. Nafasnya ngos-ngosan.
“Kita lihat saja nanti. Yang pasti aku menginginkan anak laki-laki,” jawab bapak tak kalah ketus. Bapak bergegas meninggalkan ibu sendirian yang mulai terisak. Perutnya berguncang-guncang.
Aku merasakan kesedihannya. Mendalam. Amat dalam.
Tilem tiba. Aroma dupa mewangi memenuhi seluruh sudut rumahku. Ku lihat ibu menghaturkan sesajen. Wajahnya datar, hatinya masih luka. Tengah malam, di kamar yang harum penuh wangi dupa, ia berbicara dengan topeng bondres, tertawa dan menyanyi. Seluruh keluarga besar mengintipnya dari balik tembok. Mereka sepakat mengajak ibu ke psikiater.
Tetangga-tetangga telah mendengar bahwa ibu sudah gila. Setiap ibu ke pasar, mereka berbisik-bisik. Mereka heran, mengapa kumatnya setiap Rahinan Tilem? Menghadapi omongan tetangga, bapak tak dapat berkata-kata. Ia hanya diam namun niatnya untuk kawin lagi tak pernah goyah.
..
Keterangan :
Bhardo = keadaan (The Tibetan Book of Death)
Dhadhung = sejenis tali tampar, yang dipercaya dibawa oleh Hyang Yamadipati selain Danda.