25 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan
Pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki,

Pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki,

Teater Koma, Brodway-ne Jakarta, Nok!

Jong Santiasa Putra by Jong Santiasa Putra
November 23, 2018
in Ulasan
2
SHARES

 

KAMIS, 22/11/2018. Jakarta dan segala macam intervensinya menyeruak di kepala saya, ketika mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Dalam perjalanan menuju hotelpun, tubuh disajikan hal-hal tak terduga, kemacetan, umpatan, duduk berjam di taxi, dan tentu saja entitas manusia yang kecil di hadapan gedung-gedung super tinggi itu.

Saya berusaha beradaptasi mengikuti segala program Djarum Foundation tanpa tedensi apapun dan saya percaya penuh bahwa tubuh memiliki daya respon yang lebih tinggi dari pada isi kepala saya saat ini.

Satu materi langka hari pertama adalah menonton pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki, naskah dan sutradara N. RIantiarno. Malam itu pengalaman pertama menonton Teater Koma, biasanya ritual ini saya lakukan lewat kanal dunia maya. Begitu berjarak antara saya dan pementasan tersebut, sehingga titik tumpu hanya pada estetika bentuk dan sejumlah ulasan dari media massa.

Tapi malam itu tidak, saya melihat penonton hadir 1 jam sebelum pementasan, mereka sudah mengantri di depan loket penjualan tiket. Sejumlah penonton mendiskusikan teater Koma di teras depan, sumringah mengambil swafoto di depan banner komersial, memilah dan memilih buku yang sedang didiskon dan tentu saja atmosfer penonton yang hadir dengan segala usianya.

Saya membaca beberapa tulisan yang mengulas treatment Teater Koma dalam membina penontonnya. Dan malam itu tulisan tersebut menampakkan wujud aslinya. Regenerasi berjalan dengan baik beriringan dengan pementasan Teater Koma yang semakin berkembang dan membaca zaman.

Di bangku depan saya, sepasang kakek dan nenek mengajak cucunya yang kira-kira duduk di bangku SD. Di setiap adegan si cucu selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan, kemudian sang kakekpun menjelaskan perlahan sembari mengecilkan volume suaranya agar tidak mengganggu penonton lainnya. Budaya menonton teater Koma sudah sampai tahap tersebut, gila. Kendati saya belum tahu bagaimana peta komunitas teater di Jakarta ya.

Di bangku penonton, saya duduk dengan tenang, sembari membolak-balik katalog yang telah dibagi di pintu masuk. Selain ulasan pementasan, tim produksi, foto-foto aktor lengkap dengan kostumnya, ada pula deretan iklan komersil menghiasi sejumlah halaman katalog. Begitu massivnya Teater Koma di Jakarta hingga sponsor pun berbondong untuk mengenalkan produknya.

Menarik. Mahabarata versi saya, ya versi India yang biasa diputar di televisi – bersambung setiap hari, waktu zaman kuliah serial ini mengisi cerita-cerita kami di tempat tongkrongan lo. Atau pementasan Mahabarata versi kolosal sendara Tari yang biasa di pentas dalam rangakaian Pesta Kesenian Bali. Tapi di tangan Teater Koma, pementasan refrensi itu hancur lebur, menjadi puzzle-puzzle kecil yang nakal, kemudian saya coba kaitkan terhadap cerita dan visual yang biasa saya tonton sebelumnya.

Pementasan di mulai. Layar transparan terbentang sepenuh panggung bagian depan, 3 proyektor menembak ke layar tersebut, desain visual posternya mengingatkan saya pada permainan Mobile Legend yang sempat ngehits beberapa waktu lalu. “Wah ini ya teater Jakarta” ucap saya dalam hati.

Pembukanya para pemusik masuk panggung, kemudian memberi salam, penonton bertempuk tangan. Berpakaian hitam, dan sebagian besar memakai selendang tradisional di selempang di bagian atas tubuh mereka. Para pemain musik turun ke bawah, untuk bersiap mengiringi. 16 penari terbaring di atas panggung, berkostum terusan yang didominasi warna putih, di bagian kepala di gelontorkan kain senada, menutupi kepala sampai bahu, sekilas saya mengingat kostum perempuan di kerajaan korea utara.

Perlahan mereka bernyanyi sambil melakukan gerakan cepat dalam rangka mengganti posisi tubuh, ini mengagetkan respon tubuh saya. Selain para penyanyi itu ada visual penyanyi yang di tampilkan lewat video, di tembak ke layar belakang. Jadi total ada 32 orang penyanyi yang sedang mengintimidasi saya. Bagaimana tidak hancur ini isi kepala. Orang udik masuk TIM, yang pentas, Mas Nano pula.

Selanjutnya saya dipesonakan oleh berbagai macam properti, kostum pemain, dan cara berpindah ruang setiap adegannya. Sebut saja tokoh Idajil yang pada adegan awal, tokoh ini memakai kostum bulu, seluruh bagian tubuhnya di balut oleh bulu-bulu berwarna coklat.

Wajah bertopeng bulu, yang terlihat hanya mimik mulut saat berdialog atau bernyanyi. Badan sampai ujung kaki pun demikian, yang paling mengesankan dia memakai sayap, berwarna coklat berbulu. Di dada dan ditanduk Idajil ada lampu kecil berwarna merah menyala- dibentuk sesuai pola. Jangan di tanya kostum pemain lainnya.

Raja dan permasuri yang sangat megah, para punakawan yang biasanya saya lihat memakai kostum tradisi, malam itu berubah modern. Kostum para dewa yang agung, kostum punakawan perempuan yang nyeleneh tapi tidak membosankan. Kostum raksasa yang garang dan ganas, kostum para bidadari yang anggun dengan warna-warna lembut itu. aih menyenangkan sekali.

Belum lagi jika menelisik propertinya, mulai dari tongkat yang berbagai macam bentuk-ukuran, gimmick-gimmick bawaan setiap tokohnya, singgasana raja, senjata-senjata, latar belakang tembok ukiran, gerbang batu, gajah buatan, kuda, sapi, dan berbagai properti lainnya. Terlihat bahwa bagaimana keseriusan Teater Koma dalam mengkaji, membuat hingga properti itu siap di pakai.

Pertanyaan pun muncul khusus utama terhadap kostum dan properti tersebut. Seberapa jauh para aktor menyetubuhi hal-hal di luar dirinya itu ya. Menjadi dirinya yang lain, tentu hal ini memakan waktu cukup lama. Tapi bagaimana strategi yang di lakukan oleh Teater Koma, untuk satu sajian seperti itu. Karena saya beberapa kali melihat (mungkin sangat subjektif) Sang Idajil sekali dua kali singkuh , seolah tidak menyatu antara tubuh dengan pakaiannya.

Pementasan Mahabrata – Asmara Raja Dewa, Garapan Teater Koma di Taman Izmail Marzuki,

Pola-pola ketubuhan aktor dan diperan yang dimainkannya pun memiliki pertimbangan penting. Di sisi lain, sajian video artnya sangat kuat, hampir setiap adegan memiliki karakter yang berbeda. Disesuaikan terhadap lakon-adegan yang sedang berlangsung. Misalnya settingnya kerajaan, video artnya berupa tembok-tembok kerajaan, begitu pula tentang setting lainnya. Tidak hanya setting tempat mendapat tambahan seperti itu, bahkan narasi dilua keterangan tempat pun mendapat sentuhan pendukung dari video artnya.

Ada pula permainan alih dimensi, yang sangat rapi rajutannya, misalnya pada adegan melawan raksasa di dalam air, lewat kain transparan visual ditembak dan pemainnya berakting dibelakang kain transparan. Tapi ada waktu video art itu tidak terlalu mendukung atau tidak utuh dalam sajian adegannya. Misalnya saat narator menceritakan kisah pengantar di awal pementasan.

Video art mengalir tanpa musik, hanya mengandalkan narasi cerita narator. Dalam bayangan saya, semestinya ada iringan musik serta suara sang narator yang mengikuti tempo alunan musik tersebut, untuk mengusahkan satu kesatuan. Tapi sekali lagi itu sangat subjektif sekali. Karena respon tubuh yang saya miliki saat itu kurang nyaman. 4 jam lebih, 500 penonton masih duduk menanti hingga pertunjukan selesai.

Fenomena ini mengingatkan saya dan beberapa kawan ketika duduk di bangku SD menonton kelompok kesenian drama gong, atau calonarang hingga lebih 5 jam. Dua pertunjukan tersebut menyuguhkan atraksi teaterikal, lelucon dan cerita-cerita kerjaan di Bali zaman dahulu. Saya akui permainan Teater Koma yang diselingi nyanyian, lakon lucu, membantu membangun ketahanan penonton dalam menyimak jalan cerita hingga tuntas. tentu jejaringan penonton tidak berjalan singkat, perlu proses panjang untuk mencapai tersebut.

Yang saya lihat kemarin itu adalah buah panjang kerja keras bertahun. “Pementasan koma itu seperti Brodway, Brodwaynya Jakarta” kata seorang kawan dari luar kota Jakarta yang tidak ingin di sebutkan namanya.

Pula saya mengakui,beberapa kali kesempatan saya tertidur, mencoba bangun, kemudian mengikuti jalan ceritanya kembali. Sangat terganggu. Bagia saya menonton Koma, harus dengan mood yang baik, betul-betul disiapkan sejak H-1, dengan badan sehat jasmani dan rohani, serta tanpa interpretasi beku di kepala yang dibawa dari rumah ke bangku penonton. Biarkan saja tubuh bekerja apa adanya.  (T)

*Tulisan ini di buat di teras hotel, menikmati Jakarta dini hari yang ramah, tanpa dengung dan umpatannya.

Tags: DKI JakartaTeaterTeater Koma
Jong Santiasa Putra

Jong Santiasa Putra

Pedagang yang suka menikmati konser musik, pementasan teater, dan puisi. Tinggal di Denpasar

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi Florence W. Williams dari buku aslinya  dan diolah oleh Juli Sastrawan
Cerpen

Si Ayam Betina Merah | Cerpen Florence W. Williams

by Juli Sastrawan
February 24, 2021
Foto ilustrasi: Koleksi lontar di Gedong Kirtya
Esai

Ental Digital – [Perubahan Arus Tradisi]

Sebelum digital, lontar diselamatkan dengan cara membacanya. Makin sering dibaca, makin sering lontar diusap-usap. Makin sering diusap, makin awet lontar ...

February 21, 2020
Bersiap kumpulkan sampah di Desa Tulamben, Karangasem
Khas

Generasi Peduli Lingkungan dari Tulamben: Bank Sampah & Komunitas Rare Segara

Tiap kali saya diajak berbicara tentang sampah, membaca berita-berita yang mengulas sampah di media sosial, tau melihat langsung sampah di ...

May 20, 2019
Esai

Si Pungguk Akhirnya Menemukan Buku Kritik Sastra Katrin Bandel

Bagai si pungguk merindukan beasiswa, eh merindukan bulan, eh merindukan buku, akhirnya buku yang dirindukan pungguk ketemu juga. Dari dulu ...

March 11, 2019
Penulis di gapura masuk Desa Adat Osing Kemiren (Doc: Mochamad Rifa’i)
Perjalanan

Sekilas Tentang Banyuwangi: Sosok Buyut Cili Dibalik Desa Kemiren

Segelas jus alpukat dan tempe penyet lengkap dengan sayur rebusnya menemaniku malam ini di tengah kota Banyuwangi. Taman Sritanjung yang ...

July 30, 2019
Ulasan

Belajar Filsafat dari Anak Band Sekaliber Bob Dylan

Judul : Bob Dylan All The Song The Story Behind Every Track Penulis : Philippe Margotin & Jean Michel Guesdon ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Lambang Garuda Pancasila Logam buatan tim pengrajin di Nursih Basuki Art Studio, Kotagede Yogyakarta
Khas

Kerajinan Logam Kotagede: Masa Lalu dan Masa Kini

by Luki Antoro
February 24, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

CITRAWILĀPA | Dari Sastra Kawi ke Jajanan Pasar Jawa

by Sugi Lanus
February 24, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (155) Dongeng (11) Esai (1409) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (339) Kiat (19) Kilas (196) Opini (477) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (101) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In