28 February 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai

Generasi Zaman Now Harus Sadar Politik, Bukan Mabuk Politik

Jaswanto by Jaswanto
November 23, 2018
in Esai
69
SHARES

Buta terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.

  • Bertolt Brecht

 

SEMENJAK rezim Soeharto menyerang, Daoed Joesoef sebagai Menteri Pendidikan kala itu, membuat kebijakan yang dikenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan ini dianggap kontroversi karena dituding sebagai upaya Pemerintah Soeharto dalam “mematikan” daya kritis mahasiswa terhadap pemerintah. Saya curiga, efek dari kebijakan itu, menjadi salah satu sebab hilangnya daya kritis pemuda dan mahasiswa sampai hari ini (dan sekarang saya juga curiga dengan Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018). Ya walaupun, masih banyak sebab yang lain juga, si. Curiga itu ‘kan boleh, menuduh yang nggak boleh. Bukan begitu, My Love?

Dengan sangat taktis, pemuda di zaman Orde Baru (Pemerintaha Soeharto) dikonstruksi ulang. Di era ini pula kita mengenal istilah “remaja”, bukan. Dalam Solo in the New Order, seorang antropolog bernama James Siegel mengatakan bahwa “remaja” punya selera dan aspirasi tertentu yang dibentuk beda dengan “pemuda”. Kita semua pasti tahu dan bisa ‘kan membedakan istilah “pemuda” dan “remaja”?

Mendengar kata “pemuda” kita selalu ingat dengan kata semangat, idealisme, demonstrasi, perubahan, tekad baja, Soe Hok Gie… eh, dan sebagainya. Sementara kesan yang keluar dari kata “remaja” adalah: pacaran, cinta monyet, tawuran, seks bebas, narkoba, rental playstation, dan Si Boy Anak Jalanan. Miris, bukan? Kok malah nglantur ke mana-mana, ya. Oke fokus!

Namun serius, dirasakan atau tidak, di kalangan pemuda zaman now ini, pemuda maupun mahasiswa memang sedang adem-adem saja. Kalau dalam bahasa Jawa, mlempem. Ada kejadian ini-itu, tak peduli. Dianggapnya angin lalu saja. Nggak mau ikut-ikutan, begitu kata mereka. Padahal, sejatinya kaum muda juga harus ikut serta dalam memikirkan kemajuan bangsa ini. Coba kita tengok ke belakang (nggak usah memutar kepala juga). Sejarah mencatat bahwa anak muda juga sanggup membuat perubahan. Tapi sekarang, mereka cenderung apatis terhadap permasalahan bangsa, tak terkecuali dalam masalah politik, misalnya.

Banyak kawan saya yang dengan lantang berbicara bahwa tidak mau terjun di dunia politik dan memilih menjadi wirausaha saja. Mengembangkan usaha dan bisnis sejak dini jauh lebih kongret daripada ikut-ikutan membahas politik, atau menjadi politisi, karena politik itu sangat kotor dan sering menggunakan cara-cara yang tidak baik. Pernyataan itu tidak salah. Mengingat, secara kasat mata, panggung politik di negara ini memang terkesan sangat menjijikan. Apalagi kalau sudah dibumbui oleh media, yang busuk jadi semakin tambah busuk.

Bagi generasi zaman now ini, bayangan kata “politik” hampir sama dengan bayangan pada kata “tinja”. Nista dan tercela. Politikus dipandang sebagai profesi yang paling antagonis di semesta ini. Walaupun memang kebanyakan begitu. Profesi yang penuh tipu muslihat dan harapan palsu. Berbeda dengan panggung enterpreneur (bener nggak si tulisannya?) atau panggung pencarian bakat jauh lebih menarik bagi pemuda zaman now ini daripada ajang politik—dalam hal ini Anang Hermansyah, dkk, lebih menarik daripada Fadli Zon, dkk, atau Pak Amin Rais sekali pun—dan lebih menarik lagi jadi selebgram dan yutubers—yang sedikit-sedikit bilang gaes-gaes.

Generasi zaman now memang diharapkan peduli dengan perkembangan politik di tanah air. Terlebih, generasi era ‘now’ ini mendominasi jumlah pemilih pada Pemilu 2019 yang akan datang. Masalahnya, seperti kata Michael Victor Sianipar, mantan Staff Ahok sekaligus penulis buku Ahok dan Hal-Hal yang Belum Terungkap, di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat 6 April 2018 bahwa, “Mereka itu sadar politik. Tapi belum paham apa tujuan politik. Jadi mereka tahu ada Pilkada dan Pilpres.”

Michael menyebut, generasi milenial saat ini apatis dengan perkembangan politik di Indonesia. Apalagi, media sekarang lebih doyan memberitakan gaduhnya ketimbang esensi dan subtansi politik itu sendiri. Bagi Michael, generasi milenial ini masih belum terlalu minat pada politik. Karena politik yang mereka tahu yang ribut-ribut saja. Yang cebong yang kampret dan yang cebong berkepala kampret dengan segala kebenarannya.

***

Memasuki akhir tahun ini, orang-orang menyebut bahwa kita sudah masuk tahun-tahun politik. Pamflet disebar. Iklan di koran jor-joran. Baliho didirikan. Membual pun rutin  dilakukan. Jargon-jorgon ditampilkan, dll. Namun sayang, pemudanya tidak sadar politik, masih asyik main ML-an, candu obat batuk, rebusan pembalut, lem, dan obat mabuk perjalanan. Tidak sadar bahwa sudah ada rencana politik untuk lima tahun ke depan. Tidak sadar umur mereka lebih mendominasi pada saat pemilihan.

Sadar politik yang saya maksud adalah hal-hal yang berkaitan dengan wawasan, ketajaman analisa, kritis, kontrol sosial, dan pengendalian emosi. Semua itu bertujuan untuk menuntun kita secara rasional untuk menentukan keberpihakan—atau setidaknya bersikap—dalam konflik kekuasaan dan bijak untuk mengartikulasikannya.

Sebelum lebih jauh, mari sama-sama sepakat bahwa setidaknya ada tiga jenis golongan anak muda dalam relasinya dengan kesadaran politik. Pertama, mereka yang benar-benar sadar politik. Kedua, mereka yang apolitis. Dan ketiga, mereka yang tidak tahu politik tapi sok tahu tentang politik (orang-orang Dunning-Kruger Effect).

Dari tiga golongan anak muda itu, jelas yang pertama yang sama-sama kita harapkan. Sementara golongan ketiga ini yang membahayakan. Bagaimana yang kedua? Saya yakin, tidak ada dalam kehidupan bermasyarakat ini manusia bisa lepas dari politik. Wong Aristoteles pernah bilang kok, politik dalam esensinya adalah upaya untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kebijakan politik berdampak dan melibatkan seluruh aspek kehidupan kita. Jadi, sikap apolitis itu mungkin terjadi, tapi kecil kemungkinannya.

Saya pikir, di samping masalah banyaknya pemuda yang apatis terhadap politik, golongan yang sok tahu politik ini juga sangat berbahaya. Apalagi di lalu lintas media sosial yang tanpa tedeng aling-aling ini. Hal itu akan diperuncing dengan fakta bahwa generasi zaman now ini memang punya watak yang lebih vokal dan doyan berekspresi di media sosial. Mulai mengumbar isu yang sangat personal, sampai yang merugikan banyak orang.

Dalam dunia politik modern, tak ada media yang punya daya penetrasi dan dampak yang luar biasa melebihi media sosial. Efektivitas dan efesiensinya semakin di depan (kalah kalau cuma Yamaha aja). Berbeda di Zaman Orde Baru, misalnya, cukup menungganggi TVRI dan RRI untuk memenangkan segalanya. Kini, media sosial adalah medan tempur yang haqiqi. Dan anak muda adalah yang paling banyak berselancar di dalamnya.

Di zaman ingar-bingar media sosial ini, anak muda sangat rentan dijadikan pion atau boneka perebutan kekuasaan. Enteng dikontrol dan digiring untuk membenci atau mendukung sesuatu. Menjadi kerbau-kerbau yang dicocok hidungnya. Atau seperti Sarimin yang mau disuruh pergi ke pasar dengan tabuhan musik seadanya. Mahasiswa dikontrol sedemikian rupa oleh dosen dan birokrat kampus. Kritis sedikit siap-siap nilai jeblok. Berbeda pemikiran siap-siap banyak musuh, dijauhi dan diasingkan (setidaknya saya pernah merasakan demikian).

Pemuda sekarang—mungkin juga termasuk saya—kehilangan kepekaan skeptis, kritis, dan rasional yang ditutup oleh kepercayaan buta. Bahkan tak jarang sifat fanatisme ditanam dalam-dalam sehingga kita gencar berbicara, bertindak, hanya untuk menegaskan identitas. Gagah-gagahan. Egoisme. Akibatnya, kita saling menjatuhkan satu sama lain. Gampang diadu domba, dan tentu saja juga gapang dipecah belah.

Generasi muda adalah aktor masa depan. Harus tampil di depan. Harus menjadi pelopor bukan pengekor. Tapi kenyatan yang tampak sekarang adalah pemuda yang dikontrol oleh sutradara, dalang. Kita hanya sebagai wayang saja. Seperti kata Soe Hok Gie, “Pemuda kita itu umumnya hanya mempunyai kecakapan untuk menjadi serdadu, yaitu berbaris menerima perintah menyerang, menyerbu, dan berjibaku dan tidak pernah diajar memimpin.” Kenapa begitu? Sebab kita tidak sadar atau bahkan tidak mau sadar dengan politik kebijakan.

Pendidikan politik, berorganisasi dan khazanah pengetahuan sejarah sangat penting untuk memahami relasi-relasi sosial yang ada di masyarakat. Tidak perlu juga hafal nama-nama Menteri atau DPR yang korupsi (buang-buang waktu), yang utama adalah dapat membaca situasi-situasi skenario politik, situasi rasisme, fasis, memahami akar masalah sosial, dan siapa yang diuntungkan serta dirugikan dalam setiap kebijakan politik.

Mulai membuka diri untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan pembelajaran politik. Mempelajari ilmu politik sebagai bekal atau modal untuk menyikapi masalah-masalah politik di negara ini. Agar tidak terpengaruh oleh skenario-skenario pengusa: isu komunisme, politisasi agama, bangkitnya Orde Baru, dan skenario yang ujung-ujung kembali pada perkara kekuasaan dan ekonomi, urusan perut.

Kalau kita mau melihat data, menurut Badan Pusat Statistik, demografi Indonesia akan melonjak pada rentang waktu tahun 2020-2030 dengan angka sekitar 305,6 juta jiwa dengan persentase angkatan kerja produktif dari generasi milenial mencapai 66,6 persen. Praktis, keberpihakan suara kaum milenial akan diperebutkan. Di sini kita tinggal memilih, menjadi pemain atau penonton. Menjadi dalang, atau wayang yang pasrah dimainkan.

Sudah saatnya kita menjadi subjek yang bergerak, tidak menjadi objek yang statis, diam. Menjadi golongan generasi yang sadar untuk melakukan perubahan, melakukan kontrol sosial, pengawasan, dan koreksi-koreksi terhadap pemerintahan yang berkaitan dengan segala kebijakan. Sudah saatnya membuka telinga lebar-lebar untuk mendengar jeritan kaum papa. Membuka mata lebar-lebar untuk melihat ironi negeri. Membuka hati nurani untuk bersimpati dan tergerak membela yang lemah. Kita harus punya sikap agar tidak digeret ke sana dan ke mari.

Tidak harus menunggu menjadi orang beranak tiga, untuk sadar politik. Dan mulai sadar, bahwa politik sejatinya tidak selalu berkonotasi tentang birokrasi, pencitraan, suap-menyuap. Pun sadar politik juga tidak harus menjadi politisi. Kita bisa menjadi seorang petani sambil merangkap menjadi pengamat politik. Menjadi penjual online sambil menjadi pengamat sosial media nirlaba. Menjadi tukang becak yang pantang dengan serangan fajar. Menjadi mahasiswa yang berani mengatakan: Mahasiswa takut dengan dosen. Dosen takut dengan rektor. Rektor takut dengan menteri. Menteri takut dengan presiden. Sedangkan presiden takut dengan mahasiswa di depan birokrasi kampus yang korup.

Sudah saatnya generasi zaman now sadar politik, tidak mabuk keracunan politik. (T)

Tags: Generasi Zaman NowpemudaPolitikRemajawacana politik
Jaswanto

Jaswanto

Kader HMI Cabang Singaraja, penulis novel Munajat Hati.

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi

Puisi-puisi IGA Darma Putra | Kematian Siapa Hari Ini?

by IGA Darma Putra
February 28, 2021
Sugi Lanus
Esai

Kenapa Setiap Keluar Bali Disebut ke Jawa? – Catatan Harian Sugi Lanus

/1/ Selama ini masyarakat Bali, khususnya anak-anak yang lahir setelah kemerdekaan, bertanya kenapa semua yang datang dari luar Bali disebut ...

October 14, 2019
Esai

Persoalan Bahasa Prancis (Juga) Persoalan Bahasa Bali

Jean-Marie Domenach, seorang penulis Prancis yang nasionalis dan progresif, di tahun 1990 menerbitkan bukunya berjudul Europe: Le Delfi Culturel. Buku ...

February 2, 2018
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti ...

December 24, 2020
Opini

Bali, Bahasa Bali, dan Mempertahankan NKRI

BELAKANGAN ini disibukkan dengan berbagai peristiwa sosial, hukum, dan politik, yang berhubungan dengan NKRI. Semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda namun ...

February 2, 2018
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

Jangan Belajar ke India Sebelum ke Gedong Kirtya Buleleng

Catatan Harian Sugi Lanus, 5 September 2020 1. Pakar Sanskerta ternama berkebangsaan India Prof. Dr. Raghu Vira, M.A., Ph.D., D.Litt.&LPhil., ...

September 5, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Ilustrasi tatkala.co | Nuriarta
Khas

Nostalgia | Jalan-jalan Bawa Gelatik Pernah Ngetrend di Singaraja Tahun 1950-an

by tatkala
February 28, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Agus Phebi || Gambar: Nana Partha
Esai

Makepung, Penguasa dan Semangat Kegembiraan

by I Putu Agus Phebi Rosadi
February 27, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (156) Dongeng (11) Esai (1415) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (341) Kiat (19) Kilas (196) Opini (478) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (336)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In