Cerpen: Ni Putu Purnamiati
“Ibu, pernah sesekali aku membuat bulir-bulir air matamu jatuh karena aku tak bisa membungkam mulutku yang penuh bisa ini. Itu hanya salah satu kejahatan dari ribuan kejahatan yang pernah aku lakukan terhadapmu. Meski begitu, kau masih tetap diam membisu dan lebih memilih mengabaikan kejahatanku. Kau menganggap seolah-olah putrimu ini adalah malaikat kecil yang akan membebaskanmu dari panasnya api neraka suatu hari nanti. Tapi apa kenyataannya. Aku pernah melakukan kesalahan yang begitu besar, dan aku menyesali itu. Aku menyesal mengetahui kenyataan hidupku yang sebenarnya.”
HAI, namaku Cahaya, lengkapnya Ida Ayu Cahaya Darma Dewi. Kata Aji dan Biang, aku lahir ketika Sang Surya terbangun dari tempat peristirahatannya dan aku lahir tepat pada hari raya besar umat Hindu, tepatnya rahina suci Galungan. Katanya dengan memberikanku nama itu, saat menginjak dewasa nanti aku senantiasa menjadi cahaya dalam kegelapan, dan cahaya itu bisa menuntun orang-orang yang ada di sekitarku agar selalu berada pada jalan yang benar dan terbebas dari kesengsaraan.
Aku tinggal di sebuah perumahan elit di Denpasar bersama ayah dan ibuku. Aji dan Biang, itulah sapaanku kala memanggil ayah dan ibuku. Dalam tradisi Bali, tentu saja aku berasal dari kasta paling tinggi atau bisa dikatakan dari keluarga yang terhormat. Namun aku tidak begitu mempedulikan kedudukanku itu, aku layaknya orang biasa dari kaum sudra. Aku tidak terlalu mengindahkan adat-istiadat yang masih dijunjung tinggi oleh keluargaku. Aku rasa tak penting semua itu, aku hidup di zaman yang sudah modern dan aku menikmati itu.
Sepertinya aku tergerus di lingkungan perkotaan karena memang aku tidak tinggal di griya bersama keluarga lainnya. Aku hanya tinggal bersama Aji dan Biang. Ya, Aji adalah seorang pebisnis dan Biang hanya ibu rumah tangga yang senantiasa mengurusku, mengurus Aji, dan pekerjaan rumah lainnya ,bahkan membantu bisnis properti yang sedang ditekuni oleh Aji.
Aku hanya anak semata wayang, jadi aku selalu merasa kesepian setiap malam menjelang. Namun begitu, aku memang tidak ingin memiliki adik atau kakak. Betapa egoisnya aku yang tidak rela jika kasih sayang dari Aji dan Biang terbagi. Sejak kecil aku memang selalu dimanja oleh kedua orangtuaku.
Ketika aku berada pada masa di mana dengan bangganya aku memakai seragam kebanggaanku yaitu seragam putih abu-abu, aku begitu bangga hampir setiap hari meloncati pagar sekolah bersama teman-temanku, lalu aku pergi untuk bersenang-senang bersama mereka. Benar-benar jenuh rasanya jika setiap hari aku harus berjumpa dengan pelajaran matematika, fisika, kimia yang membuat otaku berpikir begitu keras.
Sesulit itukah pelajarannya? Bahkan tugas-tugasku selalu Biang yang membantu mengerjakannya. Harus aku akui memang Biang itu wanita yang sangat cerdas. Bahkan ia berusaha untuk membimbingku dalam belajar, tetap saja pelajaran itu mental dari otaku. Sudah berapa kali Biang bolak-balik sekolah karena panggilan dari guru BK di sekolahku. Mungkin sudah tidak bisa dihitung lagi jumlahnya bahkan aku pernah diaancam akan dikeluarkan dari sekolah. Bisa dibayangkan begitu nakalnya aku.
“Gek, kamu ini seorang perempuan. Kamu tidak boleh terus-terusan seperti ini. Apa jadinya masa depanmu jika kau sia-siakan seperti ini. Biang tidak selamanya bisa berada disisimu untuk membantu jikalau kau menemui suatu masalah. Jadi tolong berpikirlah dengan bijak dan dewasa, pikirkan masa depanmu. Biang dan Aji sangat mengharapkan kelak kau menjadi orang sukses dan membahagiakan dirimu dan orang yang kau sayangi. Biang dan Aji tidak minta apapun selain kesuksesanmu kelak. Wanita yang cerdas, baik, bijak,santun adalah idaman para lelaki baik kelak. Kamu juga jangan terus keluyuran, lebih baik kamu belajar mejejaitan dan membuat banten dengan Biang atau Ninik. Bisakah kau berjanji kepada ibumu ini?”
Ahhhh, Biang menitikan air matanya karena selalu memikirkan akan menjadi apa aku jika terus-terusan seperti ini.
“Biang, Gek masih muda. Biarkan Gek menikmati hidup dan melakukan sesuatu yang Gek mau. Layaknya burung-burung terbang bebas menari-nari di angkasa, sayangnya Gek tidak punya sayap untuk bisa terbang. Cukup Biang dan Aji memenuhi setiap keinginanku itu sudah cukup. O ya satu lagi, Gek tidak bisa membuat canang, atau jejaitan seperti Ninik. Jangan paksa Gek untuk belajar dengan Ninik, karena Ninik begitu galak dan cerewet. Gek tidak suka!”
Kata-kata itu dengan mudahnya keluar dari mulutku.
Biang selalu sabar menghadapi sikapku itu, senakal atau sejahat-jahatnya aku, Biang tidak pernah membentak atau memarahiku ketika aku berpakaian kurang sopan saat hendak bepergian bersama teman-temanku ke bioskop.
“Berpakaianlah yang sopan, jangan mengundang aura negatif. Kamu sudah besar harusnya mengetahui itu agar tidak terjadi hal-hal yang negatif ke depannya. Jika Aji tahu mungkin kau tidak akan diampuni!” kata Biang.
Namun begitu, aku malah begitu kesal dan marah pada Biang karena telah memarahiku.
Berhari- hari aku lewati aktivitasku seperti biasa. Tidak ada yang berubah meskipun aku telah menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas terkenal di Denpasar. Wajah Biang pagi ini nampak begitu pucat. Tapi masih terlihat begitu cantik dan memesona terlihat dari mekarnya senyuman dari bibir keringnya itu kepadaku. Aji sedang pergi ke luar kota untuk urusan bisnisnya. Dan hari ini aku berencana menemani teman lamaku untuk berbelanja sekaligus menenanagkan otaku di tengah hiruk pikuk dunia perkuliahan yang bahkan lebih parah dari masa-masa SMA dulu.
Aku sempat berjanji kepada Biang untuk berubah dan bersungguh-sungguh menempuh pendidikanku kali ini. Walaupun terasa sulit untuku tapi perlahan akan aku jalani dengan sepenuh hati karena dari lubuk hatiku yang paling dalam aku sudah lelah melihat Biang menangis dan bersedih karena ulahku. Ah sekali lagi aku melanggar, aku kesal dengan Biang, ketika aku meminta uang saat akan pergi bersama temanku, Biang malah tidak memberikan uang sepeser pun. Alasannya karena tanggal tua dan Aji belum mengirimkan uang.
“Hei, Biang itu wanita yang paling pelit yang pernah aku temui. Aku hanya meminta uang sedikit saja agar saat keluar nanti setidaknya ada beberapa lembar uang di dompetku. Agar aku tidak malu nanti!” Itulah kata-kata yang keluar dari mulutku pagi itu.
Aku lihat bibir Baing tetap tersenyum, tapi aku yakin secara tidak sengaja hatinya pasti terluka. Betapa bodohnya aku, aku tidak bisa mengendalikan mulutku yang berbisa ini. Padahal baru dua hari yang lalu aku meminta uang kepada Biang, sudah habis saja.
Ternyata aku tambah boros ketika menjadi mahasiswa sampai-sampai Aji tidak mengijinkan Biang untuk selalu memberikanku uang. Aji tidak mengirimiku uang bahkan Biang, padahal kami sangat berkecukupan. Hal itu dikarenakan aku tidak bisa mengendalikan nafsuku membeli sesuatu ketika aku memegang uang.
Jujur, aku sering pergi ke klub malam, dugem bersama teman-teman lelaki maupun teman-teman perempuanku tanpa sepengetahuan Aji dan Biang. Aku sering beralasan membuat tugas di kos temanku agar mereka tidak tahu. Aku bersekongkol dengan teman-temanku untuk membohongi orangtuaku, karena aku perlu hiburan malam dan aku ketagihan.
Sky Garden adalah tempat yang wajib aku kunjungi ketika aku mulai jenuh karena tugas-tugas mulai menyerangku. Dua bulan lamanya aku sudah sering mengunjungi tempat itu, awalnya aku begitu takut dan tidak mau pergi ke sana, tapi berkat rayuan temanku, akupun akhirnya terbujuk. Hingga aku bisa menghabiskan begitu banyak uang. Argh.. ternyata aku belum berubah bahkan lebih liar dari sebelumnya.
Setelah aku bersiap-siap, aku pergi tanpa berpamitan dengan Biang. Biang seperti biasa mengantarku hingga ke depan gerbang rumah. Seperti biasa sebelum bepergian ia memberikanku ceramah kecil seperti jangan kebut-kebutan di jalan, ingat makan tepat waktu, dan selalu ingat Hyang Widhi Wasa.
Tetapi aku tak menggubrisnya. Kupakai helmku, kuhidupkan motor vespa clasicku yang berwarna pink lalu aku berlalu begitu saja meninggalkan Biang yang melambaikan tangannya sambil memberikan senyum manis lewat bibir keringnya yang mungil itu. Aku masih kesal dengan Biang karena tidak memberi uang. Aku menjemput teman lamaku, Merry, lalu kami pergi ke Mall Bali Galeria.
“Hei, mungkin aku hanya menemanimu saja kali ini, aku meninggalkan dompetku di rumah, betapa bodohnya aku sampai-sampai dompetku tertinggal,” ucapku sedikit membohongi temanku karena malu rasanya jika aku bilang aku tak memiliki uang.
“Kamu tetap saja pikun seperti dulu Dayu, ya ampun. Tapi jika kamu ingin berbelanja, bisa meminjam uangku dulu ya, jangan sungkan,” tawar temanku itu.
Ah betapa beruntungnya aku, berada dengan orang-orang yang baik. Tapi aku rasa, aku tak menyadari itu. Sesekali aku dan temanku bercengkrama ria di bangunan yang super megah ini. Kali ini kami menuju ke pusat pakaian.
“Kau ingin membeli baju?” tanyaku pada temanku itu.
“Tidak, sebenarnya aku ingin membelikan mamaku hadiah, sebenarnya aku bingung ingin membelikan mamaku baju atau sepatu ya, untuk itu aku mengajakmu untuk membantuku memilihkan hadiah untuk mamaku,” sahut temanku.
“Wah, mamamu ulang tahun ya,” tanyaku lagi
“Tidak, hari ini kan Hari Ibu. Aku ingin membelikan mamaku sesuatu. Sudah beberapa bulan ini aku menyisihkan uang jajanku untuk ini. Mamaku sangat memanjakanku, sangat baik terhadap anaknya. Jadi aku berinisiatif mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih terhadap mamaku. Hehehe, kamu pastinya sudah mengucapkan dan menyiapkan hadiah untuk mamamu kan?”
Seketika aku tersentak. Teringat perbuatanku tadi pagi terhadap Biang. Boro-boro memberikan hadiah, mengucapkan Hari Ibu saja aku tidak ingat. Bahkan aku telah mencacinya meskipun ia diam saja dan memendam lukanya dan hatinya yang pasti hancur berkeping-keping.
Kepalaku rasanya sangat sakit seperti terhantam batu besar, mataku mulai berkunang-kunang dan kakiku rasanya lemas tak kuat berpijak hingga akhirnya aku tak sadarkan diri. Aku mendapati diriku dikerumuni orang-orang dengan wajah cemas. Lagi-lagi aku merasakan mual yang begitu hebat hingga aku berlari ke kamar mandi berlalu meninggalkan orang-orang yang ramai mengerumuniku. Temanku Merry mengejarku dan akhirya ia mengajaku ke rumah sakit karena takut terjadi sesuatu hal denganku.
Sudah jatuh tertimpa tangga, betapa kagetnya aku mengetahui bahwa diriku ternyata hamil. Ahhh, dokter salah! Sialan tidak mungkin! Aku bahkan mencaci dokter yang mengatakan bahwa diriku hamil. Temanku Merry hanya menunggu di luar karena memang tak akubiarkan ikut denganku ketika cek kesehatan.
Aku masih tidak percaya dengan semua ini, bahkan katanya, sudah ada kehidupan di rahimku selama 2 minggu. Ingin rasanya aku bangun dari mimpi buruk ini. Teringat kembali satu bulan yang lalu ketika aku bersama teman lelakiku pergi ke klub malam di Sky Garden. Saat itu aku benar-benar frustrasi dengan tugas penelitianku. Sehingga temanku seperti biasa mengajakku pergi menghibur diri. Akupun terbuai menikmati sebotol bir bersama teman-temanku dan mendengar musik yang membuat kami tergerak untuk menari-nari hingga melupakan segalanya.
Tak cukup sampai di situ, hingga berkelanjutan pada nafsu berahiku terhadap teman lelakiku itu yang sebetulnya sejak lama aku pendam. Malam itu, usai minum dan menari, aku pergi bersama teman lelakiku ke sebuah hotel. Aku sudah tak ingat dunia lagi, kami bercinta begitu nikmatnya.
Ingatan itu sekarang begitu jelas, sungguh tak terbayang pada akhirnya seperti ini. Sekarang aku bahkan mengancam dokter agar tidak mengatakan hal ini kepada siapapun. Entah dokter itu akan mengatakannya atau tidak. Aku menemui teman yang sudah mengantar dan menungguku di rumah sakit, kuberikan senyum padanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa padaku meskipun terlihat wajahku begitu pucat.
Tak banyak bicara akupun pulang. Lagi-lagi kenyataan pahit aku terima ketika aku sampai di rumah. Tak sengaja aku lewat di depan kamar Biang dan sepertinya memang Biang tidak menyadari keberadaanku, aku lihat Biang menangis sambil memegang bingkai fotoku dan berkata :
“Peri kecilku, Cahayaku. Andai kamu tahu bahwa Biang dan Aji ini bukan orang tua kandungmu. Kami menemukanmu di dekat sebuah Pura. Akhirnya kami mengadopsimu secara legal, kami percaya bahwa kau akan memberikan kami kebahagiaan yang begitu besar karena Tuhan belum mempercayaiku untuk memberi kehidupan di rahimku. Beberapa saat sebelum itu, kami telah berdoa kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar segera diberikan keturunan dan akhirnya doa kami terjawab. Aku bingung sekarang harus mengatakannya atau selamanya merasa bersalah karena telah mengarang cerita kebohongan tentang dirimu.”
Aku dengar ibuku terisak sambil sesekali mencium fotoku.
Lagi-lagi hatiku hancur, jiwaku seakan melayang entah ke mana. Perlahan aku pergi ke kamarku, kukunci pintu dan aku terisak. Sepertinya Biang belum mengetahui jika aku sudah pulang. Bahkan tangisanku yang keras tak terdengar hingga ke luar karena kamarku memang kedap suara.
Sekarang aku sudah tidak bisa membayangkan hidupku lagi. Apa yang harus aku katakan pada Aji dan Biang, aku sudah tak bisa berpikir lagi. Tadi aku berfikir ingin meminta maaf kepada Biang dan aku ingin memeluk serta mencium Biang lalu kuucapkan Selamat Hari Ibu. Namun semua lagi-lagi terhalang karena perasaanku sudah sangat sakit mengetahui diriku bukan anak kandung dari kedua orang tua yang begitu menyayangi dan memanjakanku selama ini.
Kuambil selembar kertas, dan kutulis sepucuk surat untuk Biangku.
“Biang, Selamat Hari Ibu untukmu. Aku sangat mencintaimu. Maafkan kejahatanku pagi ini dan kejahatan-kejahatan yang telah aku perbuat selama ini terhadap Biang. Aku menyesalinya. Peri kecilmu, Cahayamu ini telah redup dan hancur Biang. Begitu malu rasanya aku menampakkan wajahku ke hadapan Aji dan Biang saat ini. Sekarang aku juga sudah tahu bahwa cerita-cerita tentang masa kecil yang Biang ceritakan dulu semua itu ternyata kebohongan semata untuk membuatku senang dan merasa sombong.
Sekali lagi selamat Hari Ibu untukmu, selamat Hari Ibu juga untuk ibu kandungku yang telah mempertemukanku dengan orang tua yang begitu menyayangiku, selamat hari ibu kepada ibu-ibu di dunia ini yang selalu menyayangi anaknya. Di Hari Ibu ini, aku juga akan menjadi ibu, biang. Tapi maaf aku tidak ingin membuat keluarga ini malu. Sebelum aku membuat masalah terhadap keluarga ini lagi, izinkan aku pergi membawa dosa-dosaku ini. Maafkan aku tidak bisa menjadi penuntun jalanmu ke sorga nanti.
Biang, Peri Kecilmu ini sekarang akan pergi membawa kejahatan dan penyesalannya. Peri kecilmu tidak akan mencari tau siapa ibu kandungnya, karena Biang sudah kuanggap adalah ibuku sendiri. Titipkan salam kepada Aji. Mungkin tak ada anak yang lebih kejam dariku di dunia ini, mungkin saat ini para ibu dan anak sedang merayakan hari ibu. Tidak hari ini saja, mungkin setiap hari adalah hari ibu ketika mereka sangat menyayangi ibu mereka. Dan mungkin nanti kita tidak akan bertemu di sana. Salam sayangku untuk Biang.”
Dadaku sesak kala menulis surat itu. Betapa konyolnya hidupku ini, kutangisi semua itu sebelum aku mengambil pisau silet di laci meja. Sembari memegang pisau silet, aku memandang nadi di pergelangan tanganku dengan mata nanar dan kabur oleh air mata. (T)
Catatan:
Biang = Ibu
Ajik = Ayah
Ninik = Nenek
Gek = panggilan untuk anak perempuan (biasanya di kalangan kaum brahmana)
Griya = sebutan untuk rumah kaum brahmana