SAYA suka nonton joged. Apalagi joged porno. Apalagi joged yang suka naik-naikin kemben sampai di atas lutut terus duduk di atas pengibing. Pokoknya nganulah. Bikin kuota saya cepet habis gara-gara keseringan buka Youtube.
Salah? Ya dibilang salah terserah, dibilang nggak juga terserah. Orang yang suka saya, bukan situ. Kalau ada dampaknya kan bukan situ yang kena, kan saya yang kena. Nggak jadi masalah kan buat situ? Kalau misalnya saya maksa situ buat nonton padahal situ nggak suka itu baru masalah.
Lagian joged itu kan tontonan masyarakat, ya mau porno mau nggak itu kan terserah permintaan masyarakat. Kalau masyarakatnya suka joged porno, ya mau gimana lagi, masak paksa mereka biar nonton yang nggak isi porno-pornonya, kan kecewa penonton. Kan rugi jadinya ngupah joged nggak ada yang nonton.
Ya sama kayak saya, karena saya suka yang isi porno-pornonya, jadinya saya harus nontonnya yang itu. Masak saya sukanya kopi susu, malah dibuatin kopi pahit. Ya jelas, jaka sembung bawa golok.
Kalau sekarang joged porno makin marak walaupun sudah dilarang dan sekaa jogednya sudah dibina, ya itu bukan salah penari dan kroni-kroninya. Walau penari dan kroninya dibina sampai tujuh turunan juga nggak bakal ilang tu joged porno. Ya, jelaslah nggak bakal ilang, wong masyarakatnya pada suka. Kalau mau menghilangkan joged porno, mestinya masyarakatnya yang dibina, bukan penarinya.
Penarinya kan bekerja tergantung permintaan dari si pengupah. Kalau ada yang ngupah lalu ditolak kan kasian. Lumayan buat tambahan beli lipstik penarinya, apalagi nyari kerja jaman sekarang sulitnya minta ampun. Coba saja nggak ada permintaan, mana mungkin si penari mau menari kayak gitu. Sampai telanjang pun dia menari nggak akan ada yang bakal ngurus, paling-paling juga dibawa ke RSJ.
Kalau masyarakatnya sudah dibina, pasti bakal bangkrut ‘perusahaan’ joged porno itu karena tak ada yang me-ngupah. Dan kalau memang benar mau menertibkan hal-hal yang berbau pornografi dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, jangan joged porno aja yang dijadikan kambing hitam. Masih banyak kok lagu, lawakan, atau wayang yang berbau, dan berasa porno. Dan bahkan, kelakar masyarakat di desa, banyak kok yang nyerempet-nyerempet ke sana. Gitu aja kok repot.
Saya kira, masalah seperti ini nggak usah dinyinyirin pake bilang moral segalalah. Moral itu nggak perlu dipake nyinyir-nyinyiran, tapi dilaksanakan. Janganlah bawa-bawa moral, kalau ujung-ujungnya di tempat sepi ikut nonton sambil dengerin lagunya Via Vallen atau usap-usap celana.
Kan rugi mulut berbusa-busa bilang moral, kalau ujung-ujungnya ikut komen ‘share link coeg’ atau ‘bagi dong videonya,’ atau di tempat sepi malah buka website berita luar negeri yang presenternya orang gagu dan cuma bisa bilang oh mae god semacam youporn atau american naughty. Dan nanti kalau sampai ketahuan, bisa bahaya, maunya nasehatin orang biar bermoral, malah dinyinyirinn balik. Jangan sampai kita dibilang punya stok moral lebih tapi otak minus, kayak di tulisan mojok.co.(https://mojok.co/rikaanastasya/esai/zina-urusan-umat-kdrt-urus-aja-sendiri/).
Kalau toh ada anak di bawah umur yang nonton, itu kan salah orang tua. Ngapain diajak nonton. Ngapain anaknya dikasi keluyuran, apalagi malam-malam. Ya dijaga dong. Sudah tau ada joged porno, malah dikasi keluar, malah diajak nonton. Cukup bapaknya ajalah yang keluar nonton, jangan isi ngajak anak, apalagi ngajak istri, jelas berbahaya.
Oh, ya satu lagi. Kalau ada yang menghubungkan masalah ini dengan masalah agama. Ya saya maklum juga. Beberapa kali saya lihat dalam upacara tiga bulanan ngundangnya joged yang nganu itu. Sampai-sampai odalan di pura keluarga juga ngundangnya joged yang nganu-nganu gitu.
Dan bahkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh departemen sosiologi dari Universitas Oklahoma menunjukkan kegemaran menonton film porno, pada tingkat yang ekstrem, berkorelasi positif dengan religiusitas seseorang. (https://tirto.id/orang-religius-pun-gemar-nonton-bokep-cs71).
Nggak percaya? Ya buat penelitian tandingan dong, jangan hanya dinyinyirin doang. Gubernur tandingan aja ada, masak penelitian tandingan nggak ada.
Saran saya sih, masalah joged porno ini nggak usah diperpanjang apalagi diperdebatkan dalam forum yang super gawat tapi ujung-ujungnya malah makin menjamur. Kasian buang-buang biaya, apalagi isi ngundang narasumber yang biayanya selangit.
Biarlah joged porno itu mengalir bagaikan air. Toh nanti ujung-ujungnya joged porno ini bakal basi. Apalagi gerakannya cuma gitu-gitu aja, kalau nggak naikin kemben di atas lutut, ya duduk di atas pengibing. Sama kayak makan makanan yang enak terus-menerus, pada satu titik pasti akan bosan juga.
Dan kalau nanti sampai videonya makin menjamur di Youtube, atau di medsos, ya itu malah bagus. Jika tak setuju, ya ikutan bikin video joged yang disukai lalu dibagikan sebanyak-banyaknya, lebih banyak dari share joged porno. Video youtube ya lawan dengan youtube. Jangan koar-koar tanpa melakukan sesuatu dan sibuk nyalahkan pihak lain. (T)