Cerpen: Satia Guna
POTONGAN-POTONGAN kayu narbuaya, jati, dan eboni sudah tertumpuk di salon Man Gredeg. Pagi itu ia memandangi potongan-potongan kayu itu sembari menyeduh kopi pahit kesukaannya. Ia menghela kepulan-kepulan asap rokok yang keluar dari mulutnya. Pengotok, paet, dan meteran sudah berada disampingnya. Siap menemaninya membentuk bongkahan-bongkahan kayu yang ada.
Bongkahan-bongkahan kayu yang bergeletak di salon,menerbangkan ingatannya pada tumpukan masa lalu dimana kesehariannya tidaklah seperti ini. Dimana pohon-pohon tumbuh subur di tegalannya. Tubuhnya tak sekerempeng sekarang. Dulu tubuhnya tegap, gagah, dan berwibawa.
Setiap hari ia selalu membawa gergaji dan tali untuk menumbangkan pohon-pohon yang menjulang tepat berada di ujung bukit yang kini telah gundul. Ia mengingat-ingat kapan terakhir kali ia membabat puluhan pohon-pohon di belakang bukit itu. Ia telah lupa, lupa pada ambisinya saat itu. Ia pula lupa bagaimana kebanggannya mengukir satu demi satu pohon menjadi patung dan topeng utuh.
Pada tahun 1989 tersiar kabar bahwa penebang pohon liar akan ditangkap, dikenai denda, dan dipenjara jika ketahuan sedang membabat pohon di hutan. Para pengangguran berlomba-lomba untuk mengikuti seleksi masuk kepolisian hutan. Saat Man Gredeg mendengar berita tersebut dari beberapa teman-teman penebang kayu, ia sontak berpikir keras dan mencari cara agar tak tertangkap oleh mereka. Sebab penghasilan utamanya adalah sebagai penebang pohon.
Ia sudah jadi penebang pohon sejak umur 15 tahun. Putus sekolah hanya untuk melanglang bhuana melewati bukit demi bukit hanya untuk mendapatkan kayu yang berkualitas dan menjanjikan bagi para investor. Ia tak pernah pulang. Rumahnya adalah bukit. Soal makanan, bila beruntung ia bisa menyantap kijang bakar bersama teman-teman, tapi kalau sedang lagi apes beberapa kalajengking dan ulat tanah pun tak jadi masalah.
Man Gredeg biasa berjalan bersama teman-temannya, bergerombol, bernyanyi di sepanjang perjalanan. Menyusuri kabut yang tanpa henti menghadang langkah dingin yang mereka tancapkan pada tubuh-tubuh bukit renta. Mereka bersorak seperti bajak laut seusai menjarah harta. Tatapan mereka dingin sedingin sapuan angin yang menyapu pohon-pohon cemara yang mereka lewati. Mereka takkan pulang sebelum memanggul tubuh-tubuh pohon yang telah mereka mutilasi.
Man Gredeg merupakan anggota terkecil dari puluhan anggota tersebut. Ia seorang pekerja keras. Ia merupakan anak tertua dari lima bersaudara. Hanya ia yang dapat membiayai sekolah adik-adiknya.
Setelah menyusuri berbagai macam kelok-melok sungai dan bentang sawah yang berpetak-petak, sampailah mereka pada sebuah bukit dengan pepohonan yang aneh. Biasanya satu bukit menyediakan berbagai macam pohon. Tapi pada satu bukit ini hanya ada pohon pule. Mereka jadi sulit untuk menentukan arah, karena semua pohon sama, jalanan kelok melok pun sama. Mereka berputar, mengulang dan mengulang sampai malam menyingkirkan kabut yang menutupi penglihatan.
Man Gredeg menyeruput sisa-sisa kopi yang masih tersisa di gelas, sembari melontarkan lintingan puntung rokok yang tak habis ia hirup. Hembusan kepulan terakhir mengingatkannya akan semua rekan-rekannya yang lenyap di bukit itu. Termasuk pamannya yang paling disayang.
Pakis-pakis di sepandang bukit berlumuran darah lalu beberapa sabit yang menancap di pohon-pohon pule. Hanya Man Gredeg yang selamat. Hanya ia yang terbangun dan mendapati diri telah sendiri. Dari atas pohon tempat ia tertidur ia hanya melihat kumpulan kunang-kunang subuh yang hinggap di beberapa pohon pakis yang berlumuran darah.
Kunang-kunang itu berusaha membangunkan beberapa kejadian yang menimpa semua anggotanya. Ia melihat kepala yang tergantung di atas pohon lalu akar-akar pohon pule menyeruak dari timbul tanah mengikat semua anggotanya dan menggantung mereka pada beberapa batang yang kuat menahan berat badan mereka.
Lalu akar-akar tajam itu menusuk bertubi-tubi perut, leher, kepala, dan seluruh organ tubuh anggotanya. Malam itu pohon pule tak terlihat hijau seperti biasanya. Daun-daun berwarna merah dan tanah menjadi lautan darah yang dipenuhi potongan tubuh. Dalam termangunya Man Gredeg tak sadar air matanya mengalir membasahi pipinya. Ia tak berani turun dari pohon, seolah-olah akar-akar pohon pule siap menjadi duri panjang yang akan menusuk perutnya saat ia terjatuh dari pohon
Ia sangat ketakutan. Ia tak berani turun. Kakinya mengakar pada sebuah dahan pohon. Matanya hampa diterpa beberapa debu. Ia kehilangan kesadaran.
Daun-daun pohon pule berjatuhan menghantam kulitnya yang kasar. Ia tersadar, bangkit dan masih terduduk lemas di atas dahan pohon pule. Ditengoknya ke bawah memastikan kejadian semalam hanyalah mimpi yang larut menjadi bunga tidur. Matanya terbelalak, api unggun masih utuh, lalu tungku tak lagi hangat. Ditengoknya lagi sekeliling. Sepi siang itu membuatnya lebih takut ketimbang melihat kejadian semalam.
Sangat sepi. Semua kelompoknya menghilang. Tak ada jejak kaki, senyap, musnah. Ia menangis sejadi-jadinya sampai tak terdengar lagi desir angin yang selalu menerpa rambut dan sekujur tubuhnya. Sepi ini lebih gigil daripada rintik hujan dan kumpulan kabut. Sepi ini kubangan masa lalu yang tak ingin ia ingat kembali. Dan sepi ini adalah alunan nada penjerit yang memekikan hati dan air mata.
Man Gredeg turun dari pohon pule, setelah lelahnya henti menghinggapi. Dirabanya semua daun-daun pakis berharap ada beberapa jejak yang dapat membuatnya sadar kalau ia tak sendirian di tengah hutan pohon pule. Ia harus menemukan jejak sekecil apapun, kalau tidak, malam akan menjemput segala macam sepi yang ia miliki.
Beberapa kumbang pohon bersuara. Saling bersautan menandakan pencarian Man Gredeg akan segera berakhir. Hujan turun malam itu menyibak barisan kabut yang mengitari bukit. Man Gredeg naik lagi ke atas pohon pule, ia tak bisa tidur, ia takut saat tertidur pohon pule menjeratnya lalu menelannya ke dalam tanah. Ia mulai memikirkan tragedi-tragedi aneh yang memacu kecemasannya.
Hujan semakin deras. Ia teringat dengan beberapa kelompoknya yang sempat disebut-sebut sebagai anggota PKI, Man Gredeg mengira PKI itu adalah sebuah partai politik yang akan maju ke pilkada. Tapi alangkah terkejutnya ia setelah salah satu dari anggota penebang pohonnya diketahui mengambang terbungkus karung ditemukan di sungai dekat sawah ayahnya.
Ia berpikir, mungkin hal tersebut karena perseteruan antar politikus. Ia masih menanggapinya dengan santai. Seminggu kemudian giliran saudaranya yang juga penebang kayu yang diiusukan masuk PKI tergantung di atas pohon kelapa depan rumahnya. Rentetan itu berlangsung sampai sebulan kemudian satu persatu penebang kayu tewas secara misterius. Sampai akhirnya rombongan penebang kayu pun berencana untuk pergi mencari kayu di sebuah bukit di bagian utara.
Melayang-layang, tubuh teman-teman dan saudaranya bergelantungan digantung pohon pule. Ia menyaksikannya lagi. Ditemani kunang-kunang yang kadang hinggap di bahunya seakan membisik bahwa ini semua bukan mimpi. Hutan pule kembali menjadi lautan darah. Seluruh organ tubuh berserakan. Tetesan hujan yang ia rasakan tadi berubah anyir dan berwarna merah.
Ia hanya bisa menangis dan menangis tak bersuara, sepi, hening, senyap, musnah. Akar-akar pohon pule berusaha menariknya menuju dasar neraka paling dalam di bawah tanah. Saat tertarik ia terbangun. Mimpi yang sama. Tragedi yang sama. Dan sepi yang sama. Ia beranjak mengambil kapan dan pahat. Ia mencincang, memotong semua bagian tubuh pohon pule. Kesepuluh pohon pule yang ada dihadapannya ia cincang menjadi bongkahan patung mirip manusia yang masih utuh berada di antara batang pohon. Sambil menahan tangis ia berlari menjauh dari amarah dan tempat yang membuatnya menjadi gila.
Ia masih berlari dan berlari dari kabut masih tebal hingga malam memayungi kesepiannya. Ia terus berlari berharap menjauh dari tempat itu. Setelah beberapa bulan berlari melewati liku hutan yang membingungkan ia menemukan sebuah desa dengan kabut tebal dan sekelompok kunang-kunang yang menyangkar. Ia coba menyibak kabut tersebut. Betapa terkejutnya ia saat menjumpai sepuluh patung yang ia buat tengah disembah oleh masyarakat di sana. (T)