WAJAH manis itu namanya Ais. Perempuan yang kukenal dengan kebetulan yang direncanakan. Saat itu hampir tengah malam, di sudut lapangan yang disulap sedemikian rupa menjadi pusat hiburan rakyat atau pasar malam. Pasar malam yang memang menjadi agenda wajib dari perayaan kemerdekaan di negara yang tak pernah dewasa sebagai bangsa yang merdeka.
Di sebelah salah satu pintu masuk aku melihatnya pertama kali. Dia duduk sendiri sambil maminkan samrtphone di genggaman tangan kiri. Ne mare jeleme jegeg, pikirku. Aku hanya meliriknya sekali karena harus terus konsentrasi melihat anak tangga untuk bisa turun ke lapangan pasar malam. Aku tentu tidak mau mempermalukan diri sendiri dengan jatuh terjerembab di antara para pengunjung, lalu menjadi tontonan semacam badut konyol.
Aku harus mengabaikan keinginanku untuk mengamati perempuan itu lebih lama. Setelah kami (aku dan beberapa temanku) cukup capek keliling-keliling sambil sesekali menawar-nawar barang dari pedagang untuk sekadar bermain-main. Kami menawar dengan seru, tapi nyatanya memang kami tak ingin membelinya. He he he, itulah asyiknya pasar malam.
Ekspresi para pedagang yang barangnya kami tawar dengan harga yang sangat tidak wajar adalah hiburan tersendiri bagi kami. Arus kerumunan para pengunjung membawaku kembali lagi ke tempat di mana perempuan yang kulihat tadi duduk, dan ia masih di sana dengan kegiatan yang sama, dengan posisi yang sama, cuma kali ini smarphone-nya berada di tangan kiri, karena jari tangan kanannya sedang memegang rokok.
Ne mare cadaz ceweke, pikirku kembali saat kuliat dia merokok. Entah kenapa ak memang selalu lebih greget pada perempuan seperti ini mungkin karena aku lelaki macho, ha ha ha ha ha…
Tapi memang aku lebih mengagumi manusia yang berani tampil berbeda di antara yang sama. Saat itu juga sebenarnya ingin sekali aku menghapirinya tapi kuputuskan untuk melanjutkan kembali keliling-keliling dulu bersama temanku, sambil memastikan bila nanti aku kembali pada titik ini dan dia masih di sana, dan masih sendiri, barulah aku bercita-cita menghampirinya. Karena aku yakin dia pasti sedang menunggu seseorang, entah pacarnya, atau suaminya. Atau memang menunggu seseorang yang tak dikenal seperti aku ini untuk diajaknya berkencan dalam satu malam. He he he, harapan yang cukup luhur.
Pritttttt… pritt… prit…, suara lepri dari kondektur mobil yang disulap menjadi mobil berhias naga dan dibelakangnya nampak deretan kursi penuh pengunjung memecah kerumununan. Tampak wajah kesal kondektur mobil naga itu, mungkin lelah, karena pastilah sejak tadi sudah berapa puluh kali mengitari lapangan ini.
“Mai mebalih dangdut koplo kadong geratiis,” kata salah satu temanku.
“ Ije?” tanyaku
“To di dagang cd bajakane, kadong gratis!” katanya sambil tertawa gak jelas haha haha.
Kami ke pedaang CD.
“Ada film semi, Mas?” tanya temanku pada si penjual CD.
“Gak ada, Bli!” Si penjual ngomong sambil memukul-mukulkan bungkus rokok ke tangannya mengikuti dentuman musik dangdut koplo.
“Terus, yang filmnya Miyabi ada gak, Mas?” temanku memancing lagi
“Semi aja gak ada Bos, apalagi yang Miyabi,” sahut si penjual agak sinis.
”Tapi Mas tau kan siapa Miyabi? “
“Ya, taulah Bos, saya kan normal,” kata si penjual CD tersenyum datar.
Tanpa pikir lagi aku langsung nyeletuk, “Berarti CD yang dijual disini hanya untuk orang yang tidak normal ya, Mas?”
Teman-temanku kompak tertawa. Tapi Mas si penjual CD cuek saja sambil merapikan dagangannya sehabis diacak-acak pembeli.
***
KAMI kembali lagi ke titik di mana aku bisa melihat perempuan yang di sebelah pintu utama, dan ternyata dia masih di sana dengan kegiatan yang sama, posisi yang sama, menatap layar smartphone yang sama. Dan yang paling penting dia masih sendiri.
Aku pisah dari teman teman, dan kubiarkan saja mereka dengan kesenangan mereka menyusuri pasar malam, mungkin naik odong-odong atau ngopi di sudut lapangan. Aku sendiri harus menyelesaikan misi untuk mendekati itu cewek. Dan dengan santai aku pun menghampiri cewek itu, duduk di sampinya, kira kira hanya berjarak satu meter saja.
“Permisi, Mbak, boleh pinjam koreknya?”
Pinjam korek adalah strategi tradisional untuk mendekati cewek perokok. Aku tahu dia tadi sempat merokok, sehingga pastilah punya korek. Tapi cewek itu cuek atau memang tak dengar karena saking konsentarsi pada smartphone-nya.
“Mbak, boleh pinjam koreknya,” kataku sekali lagi.
“Kok Mas tahu kalau saya bawa korek?” suaranya tak ramah, wajahnya jutek. Waduh.
“Ya, tadi aku lihat Mbak ngerokok, jadi pastilah bawa korek!”
“Lho masak sih? Padahal kira kira sudah setengah jam yang lalu aku ngerokoknya. Berarti Mas merhatiin aku ya dari tadi?”
“Ya, gak juga sih Mbak. Tadi aku duduk di sana, tadi aku lihat Mbak ngerokok. Kebetulan saja temenku pergi dan korekku dibawa dia. Jadi? Boleh pinjam koreknya?”
Cewek itu memasukan tangan ke dalam tas kecil di atas pahanya. “Ya, bolehlah, Mas, cuma korek itung-itung amal,” katanya sambil memamerkan senyum kecil. Dia menaruh korek di sampingku, tanpa sedikitpun menoleh ke arahku.
“Berarti kalaupinjam yang lain boleh ya, kan itung-itung amal katanya?” Aku pelankan suaraku sambil kugeser sedikit pantaku lebih dekat kepadanya, lalu mengintip apa yang dia tonton di HP-nya.
“Maksudnya apa, Mas?” Ia menoleh ke arahku dengan ekspresi wajah datar.
“Enggak, cuma becanda!” Aku cuek asja sambil menyalakan korek. Karena dia sibuk mengeser-geser layar HP, aku nikmati saja rokokku sambil mendengar keriuhan pengunjung pasar malam. Suara manusia, dari anak hingga dewasa membaur dengan suara kompor dari para pedagang gorengan yag seperti suara gelombang radio transistor. Suara gelombang radio yang kurang pas jarum frekuensinya.
Tetapi sadar tidak sadar memang suara-suara inilah soundtrack wajib dari hiburan rakyat semacam pasar malam ini. Semakin banyak suara kompor penjual gorengan berarti semakin riuh pula “sesuatu”, entah itu apa namanya, masuk ke kantong-kantong sang pengurus pasar malam, entah raja lapangan, atau raja lokal dan komplotannya. Karena menurut kabar yang bukan rahasia, sewa dari petak-petak penjual ini cukup lumayan besar.
“Sedang nonton apa, Mbak?” Aku coba memecah kebekuan antara aku dan cewek di sampingku ini.
“Kepo ah. Jangan ganggu!” kata cewek itu, masih tetap jutek.
“Memang nonton apa sih? Film cinta-cintaan, ya?”
“Kok tahu?”
“Ya nebak aja, Mbak, kebetulan aja bener. He he he, memang film apa sih?”
“Aduhhh mau tau aja!”
Aku diam. Puntung rokok yang kulempar tepat jatuh di selokan bawah tempat kami duduk. Lalu aku bernyanyi kecil: apa kau mendengar dan melihat tangis kehilangan dariku.
“Kok tau sih yang kutonton, Mas?” Cewek itu menoleh ke arahku.
“Tau apa, Mbak?” Aku pura-pura tak mengerti apa yang dia maksud padahal tadi saat mengambil korek, aku sempat melirik HP-nya dan ternyata dia lagi nonton film yang soundtrack-nya dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari. Liriknya seperti yang kunyanyikan tadi.
“Ini lho filmnya, kan emang kayak gitu lagunya. Ngintip ya?”
“Ngintip apa, Mbak? Orang jauh gini masa bisa liat?!”
“Masiakkkk, pasti ngintip!”
“Aduhh gak, Mbak, gak. Ngapain coba ngintip? Itu tadi lagu aku dengar di penjual kaset CD,” kataku.
“Hemm, kok bisa kebetulan sih? Gak percaya ah!”
“Ya bisa aja, Mbak, semua juga kebetulan kok. Mbak ketemu aku juga kebetulan kan?”
“Ya memang kebetulan karena kita kan gak saling kenal!”
“Ohh ya, lupa, kita belum kenalan ya? He hehe, aku Dedy!” kataku sembari menjulurkan tangan.
“Ealahhh, buayakkk, kejebak aku. Bilang saja mau kenalan dari tadi!” sergah Ais.
“Gak boleh ne kenalan? Kasian, tanganku entar pegel gak dibalas!”
“Biar saja!” sahutnya sambil kembali lagi menatap layar HP.
“Bener ne gak boleh kenalan? Siapa tahu nanti kita ketemu lagi, aku kan bisa minjem korek lagi tanpa capek-capek harus mencoba kenalan lagi!”
“Bisa saja kamu. Ya, aku Ais!”
“Ais? Dari Jawa?”
“Ya, Jawa aku, Mas!”
“Jangan panggil Mas, panggil Dedy!”
“Ya Dedyyyyyy!”
“Kok jam segini masih di sini? Nungguin pacar ya? Atau suami?”
“Ye, siapa nungguin pacar!?”
“Berarti nungguin suami? Suaminya ikut jualan di sini?”
“Suami apaan, Dedy. Aku belum menikah!”
Hening sebentar. Aku merapikan tempat duduk. Minjam korek lagi. Merokok lagi. Rupanya belum menikah ni cewek, pikirku senang.
“Jadi kamu di sini kerja apa sekolah?” tanyaku. Aku duduk lebih merapat ke Ais.
“Kerja!”
“Di mana?”
“Ne di karaokean, gak jauh kok dari sini. Kamu pasti tahu!”
“Oh karaokean itu, tahulah, tapi aku gak pernah masuk ke sana. Gak bisa nyanyi aku!”
“Ya, kelihatan. Tadi kmu nyanyinya hancur, meski cuma dikit!”
“Cieehh merhatiin aku ya? Haha haha, hemm ngeledek?!”
“Ngeledek gimana, orang tadi kami ngaku sendiri gak bisa nyanyi!”
Kami tertawa berderai seakan sudah kenal sejak lamaaaaa… Suara kompor dari dagang gorengan masih terdengar seperti suara radio transistor salah frekuensi. Dangdut koplo dari penjual CD bajakan masih meraung.
“Kerja di sana pasti dah banyak pacarnya!” Aku memulai percakapan.
“Iye, kok nanya pacar?”
“Terus, masak nanya bumbu gorengan?”
Kami tertawa lagi. Suasana makin mencair. keakraban di antara kami tak begitu sulit dibangun seperti dugaanku di awal. Mungkin karena profesinya sebagai seorang pemandu lagu di karaokean cewek itu gampang memancing suasana agar jadi akrab.
“Jadi ngapain kamu masih di sini jam segini, Ais? Sendiri. Apa pacarmu gak nyari?”
“Aduhh kamu budek ya? Lagian siapa yang nyariin aku? Kan sudah kubilang gak punya pacar!”
“Hahaha, ya ya, terus sendirian aja gitu?”
“Kamu liatnya sama siapa?”
“Ya udah ah, Gak usah dibahas!”
“Siapa juga mau bahas itu!”
Mereka diam sebentar.
“Gak kerja ta? Jam segini masih di sini?” Aku melanjutkan.
“Gak, Ded. Aku lagi off, capek aku. Mau ngilangin sumpek dulu!”
“Aneh kamu. Katanya karaokean itu tempat ngilangin sumpek. Ne kamu malah sumpek. Kalau sumpek kan tinggal nyanyi-nyanyi, hilang dah sumpeknya!”
“Nyanyi apaan? Kamu kira itu tempat karaokean punya nenekku. Kamu gak tau sih gimana situasi hati saat harus kerja, sedang kita gak mood sama tamunya, apalagi tamu yang nafsuan. Pokoknya sumpek. Apalagi yang modus-modusan, ngomongnya banyak pake ngaku duda, ujung ujungnya minta pin BB, minta nomor HP terus maksa-maksa ngajak keluar. Suruh nganterin kemanalah, ngapainlah. Bilang saja mau ngajak chek-in. Emang aku mau apa. Gaklah. Mereka kira aku cewek apaan, baru aku kerja gini mau diajak gitu-gitu. Gak semua cewek kayak aku mau digituin!”
Mihhhh, sontak aku jadi malu. Memaang penilaian kita sering gak sesuai dengan kenyataan. Seringkali kita mengolah sendiri pemikiran kita terhadap orang orang seperti Ais itu. Tanpa tau kebenaranya. Aku memang gak pernah ke karaokean tapi tempat-tempta yang lain, yang secara terang-terangan jual minuman beralkohol, juga para pemandu lagunya gak sembarang bisa kita ajak keluar sekedar untuk apalah, hehehe.
Banyak juga dari mreka yang bener-bener propesional dalam bekerja. Artinya positif gak nyari-nyari kesempatan untuk mendapat uang lebih. Walau ada juga yang mencari uang lebih dengan menerima bokingan tapi aap kita mesti menyalahkan keadaan mereka seperti itu? Tentu tidak. Karena kita gak tau masalah dari setiap hidup seseorang yang karena alasa alasan tertentu bisa melakukan hal-hal yang kita anggap negatif.Karena titik kita berdiri akan sangat mempengaruhi penilaian kita terhadap sudut lainya.
***
TIBA TIBA lamunanku pecah karena suara BBM-ku yang beberapa kali berbunyi, ping ping ping., “Ije ci?”
Salah satu temanku bertanya lewat BBM. Aku masih sangat menikmati obrolan dengan Ais maka kusuruh saja teman-temanku meninggalkanku.
“Tu pacarnya nge-BBM udah di cariin tu kamu!” kata Ais.
“Alahh sok tau kamu. Itu temen-temen nanya aku di mana!”
“Perhatian banget temenmu. Hheem, temen tidur he he!” Ais tertawa kecil.
“Benerlah, kalo gak percaya ne liat!” Aku sodorkan HP ke arahnya.
“Yeee ngapainn aku liat. Hehe gak usah ah. Tapi tadi aku kok nyeroscos ya ngomong tentang situsiku. Maaf, Ded, aku jadi malu. Kok jadi curhat ke kamu!”
“He he gak apa, Ais. Curhat aja tapi jangan pakek nyalah-nyalahin aku gitu. Masak tadi kamu bilang aku sama kayak atmu-tamumu. Aku kan baru kenal kamu di sini!”
Seketika raut wajah manis itu tampak lesu tapi masih saja bibir mungil merah itu nampak manis dan sempurna nempel di wajahnya. Para pengunjung semakin sepi. Debu-debu yang mengambang di langit langit lapanganpun mulai menipis dan keriuhan pun sudah semakin samar-samar. Begitupun suara kompor para penjual gorengan beberapa telah menyepi.
Hanya beberapa penjual CD bajakan masih setia melantunkan hentakan-hentakan dangdut koplo khas Jawa Timur Sementara di samping gerbang utama tempat pameran keberhasilan pembangunan di daerah (hanya bangun tapi tidak bergerak) di sana terlihat para penjual jam tangan yang dulunya mangkal di emperan toko sedang merapikan jam-jam tangan dengan merek-merek terkenal. Walau sebagian besar para pembeli sudah tau itu produk bajakan tetapi apa masalahnya. Walau jam produk bajakan tapi tetap waktu yang ditunjukkan dari jam tersebut masih sama dengan jam-jam dimanapun di dunia ini.
Suara pemberitauan kabar berita kehilangan dari stand panitia sudah tak terdengar lagi sejak stengah jam yang lalu. Suara yang selalu saja mengabarkan kelalaian para pengunjung.
Aku jadi berpikir kenapa yang selalu dikoarkan di sana hanya tentang kehilangan semisal telah hilang bla bla bla bla atau tentang seseorang yang ditunggu d stand panitia. Kenapa mreka gak bawa HP atau janjian terlebih dahulu sebelum ke tempat ramai seperti ini atau mungkin kita sebagian besar adalah mahluk-mahluk tidak sabaran. Yang aneh dan sangat jarang dikoarkan di sana tentang penemuan sesuatu misalnya telah ditemukan dompet warna hitam dengan sejumlah uang.
Mungkin sekarang sudah sekitar jam 1 malam sebab tadi saat membalas chat temanku di HP aku sempat lihat jam tertera angka 11.25 pm. Ais di sampingku kembali lagi memainkan layar HP-nya. Tenggorokanku juga mulai kering entah kemasukan debu lapangan yang mnempel pada udara yang kuhirup atau terlalu banyak merokok sejak awal aku duduk di tempat itu.
***
“AIS, tunggu sebentar ya, aku mau beli minuman dingin!” Ais menoleh ke arahku saat kuberanikan diri menepuk pundaknya.
“Oh ya, Bli!” sahutnya.
“Beli apa?”
“Gak kok, gak beli apa apa!”
“Tadi kok bliang beli?”
“Bli, maksudnya, Bli. Ya deh, kalau gak mau dipanggil Bli!”
“Ha ha ha bercanda. Tunggu ya!”
Beberpa menit aku kembali dengan dua botol minuman dingin.
“Ne, Ais!” Aku nawari dia minuman dingin.
“Aduhh kan tadi aku bilang aku gak nitip apa-apa?!”
“Ya udah ambil aja. Siapa tahu sekarang haus, lagian masak aku aja yang minum!”
Ais mengambil minuman yang aku sodorkan.
“Jadi berapa lama sudah kamu di sini, Ais?” kataku kemudian.
“Lima bulananlah, kurang lebih, aku lupa!”
“Maksudku kamu duduk di sini udah berapa lama?”
“Hehehe, ya, tadi paling dari jam sembilanan kayaknya. Tapi gak penting juga!” katanya.
“Enak juga ya, masih muda, bisa merantau ke mana-mana. Gak begitu menghiraukan keluarga!”
“Siapa bilang aku gak mikirin keluarga. Aku setiap malam mikirin anakku, Ded!”
“Oh, sudah menikah? Tadi katanya belum punya suami!”
“Emang gak punya suami aku!”
“La kok punya anak? Udah cerai gitu?”
“Menikah aja belum, terus gimana cerainya aku!”
“Tadi kamu bilangnya punya anak? Anak siapa?”
“Anakkulah! Anak siapa lagi, anak tetangga!” Ais menyaut sambil sedikit membentak.
“Maksudku itu anakmu gimana kok bisa lahir, gitu lo! Hemm, kok jadi ruwet ya?!”
“Kamu yang aneh, Ded. Kamu nanya gimana bisa lahir, ya lahirlah karna udah waktunya lahir!”
“He he he, emang sih gitu. Tapi itu lo yang bikin tu siapa?”
“Ya akulah, Ded! Makin aneh kamu!”
“Masak sendiri. Hemmmmm…”
Ais tampak termenung.
“Terus sekarang anakmu diasuh bapaknya?”
“Gak. Anakku sama ibuku!”
“Bapaknya merantau juga?”
“Emang gak punya bapak. Gak tau bapaknya di mana, mungkin mati!”
Seketika aku tertawa lepas ketika kudengar jawaban spontannya sambil agak jutek dan ngebentak-bentak.
“Ded, udah ya. Aku mau pulang. Aku ngantuk ini. Makasi minumanya dan juga obrolan-obrolan gak pentingmu itu!”
“Kok ngantuk ne, baru jam segini, Ais!”
“Apa jam segini! Ini udah mau subuh ne, udah ya aku duluan!”
“Entar dulu, Ais. Boleh minta pin BBM-nya sama nomor WA?”
“Nahhhh tu kan udah aku tebak kamu pasti modus. Dasar buaya!”
“Siapa yang modus? Nanti kalau aku pengen ke karaokean kan bisa hubungi kamu dulu. Maksudku gitu!”
“Aalahh, tadi katanya gak pernah ke tempat gitu?”
“Ya sih, he he he. Emang gak pernah, tapi siapa tau nanti jadi kepengen karna udah kenal sama kamu, boleh kan?”
“Ya kalau kamu maksa. Itung-itung juga amal. Cuma pin BBM juga biar gak nangis aja ne anak orang di sini!” Ais senyum sedikit sambil mengabil HP dari tasnya.
Mulut mungil merah itu aku yakin akan terus menempel pada ingatanku. Setelah dia konfirmasi pinku dia pamit pulang, Jam 2 mau subuh suasana di lapangan sudah agak lengang. Ais berjalan menuju parkiran. Aku terus saja memandangi rambutnya sepinggul dengan tinggi badan yang lumayan tinggi skitar 170 dengan kaos terusan ketat warna hitam merah. Dia sungguh nampak anggun saat itu, sesuatu yang bergetar di hatiku makin keras. Tapi inilah awal dari kekacauan hidupku di hari nanti. (T)
Bersambung…