Cerpen: Yusna Safitri
Kau lelaki penuh tanda tanya, penuh teka-teki, dan penuh dengan misteri yang ingin segera aku pecahkan.
HADI. Begitu aku memanggilnya. Perkenalan singkat melalui media sosial membuatnya masuk ke dalam kehidupanku, tentu saja dengan berbagai kenangan yang sulit untuk dilupakan. Hadi berkuliah di salah satu universitas ternama di Denpasar, berbeda denganku yang berkuliah di kota Singaraja. Kota kecil dengan sejuta kenangan.
Hadi berusia satu tahun di bawahku. Meskipun begitu, ia memiliki sikap yang lebih dewasa dariku. Hadi sosok lelaki yang cuek dengan rambut gondrong dan kumis tipisnya. Bertubuh tinggi dengan badan yang tidak terlalu kurus, tidak juga terlalu gemuk. Suka barang tua, vespa, dan juga novel. Sama sepertiku.
Awalnya Hadi hanya seseorang yang mengirimiku direct message di instagram, dan pada akhirnya ia menjadi seseorang yang selalu aku pikirkan sebelum dan sesudah tidur. Aku bukan perempuan yang dengan mudahnya membalas pesan lelaki yang tak kukenal, apalagi bertukar ID Line, PIN BBM, ataupun nomor handphone. Namun berbeda dengan lelaki ini, entah apa yang membuatku terhipnotis oleh pesan singkat darinya.
Kami saling bertukar cerita, baik itu kegiatan di kampus, di rumah, ataupun di lingkungan permainan kami. Cara Hadi mengirim pesan kepadaku tak seperti lelaki yang pernah kukenal sebelumnya, lelaki yang kebanyakan gombal dan penuh dengan pujian. Ia apa adanya, dan caranya mengirim pesan kepadaku yang sedikit cuek selalu membuatku penasaran seperti apakah sosok Hadi sebenarnya. Ini semakin membuatku semangat untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang dirinya, dan aku merasa tertantang.
Perkenalan kami melalui pesan singkat berlangsung selama 2 minggu, dan tibalah saatnya pada pertemuan kami di kota Singaraja. Pertemuan yang disebabkan oleh sebuah novel. Ya, kami saling bertukar novel dan membuat janji untuk bertemu. Tak banyak percakapan pada pertemuan kami yang pertama, namun di menit berikutnya suasana mulai sedikit mencair.
Hadi tak secuek di dunia maya. Hadi asyik, lucu, walaupun terkadang sering membuatku kesal. Aku memperbolehkannya datang ke kosku malam itu, walaupun dengan perasaan yang sedikit takut. Namun karena sifat malas yang aku miliki lebih besar daripada rasa takutku, maka aku memperbolehkannya. Ditambah lagi dengan udara yang sedikit lebih dingin, membuat rasa malasku semakin bertambah. Kami banyak bercanda, banyak berbincang-bincang hingga pukul 2 pagi. Setelah itu, ia kembali pulang.
Perbincangan kami malam itu diselipi dengan sentuhan manja pada rambutku. Hadi selalu mengusap rambutku saat aku mampu menceritakan hal-hal konyol kepadanya. Berbeda denganku yang selalu mendaratkan pukulan-pukulan kecil pada tubuhnya. Ia sedikit merintih kesakitan namun tak membuatku merasa sedikit kasihan, aku malah memberinya cubitan-cubitan pada lengannya. Aku suka suasana ini, aku bahagia. Terimakasih telah menyembuhkan luka dari masa laluku.
Esok harinya, ia kembali ke Denpasar. Ada perasaan sedih dalam hatiku. Hanya doa yang mampu aku berikan agar ia selamat sampai tujuan. Kami kembali mengirim pesan singkat. Dan sikapnya saat bertemu denganku berubah 180 derajat. Ia kembali menjadi Hadi yang pertama, Hadi yang cuek saat bertukar pesan kepadaku. Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana. Ketika aku tanya, jawabannya hanya selalu ‘aku baik-baik aja. Aku gapapa’. Baiklah, ini semakin membuatku merasa tertantang.
Percakapan kami pada pesan singkat tak selalu berjalan setiap hari, dan banyak suka duka yang terjadi pada percakapan kami. 2 minggu berlalu, kami bertemu lagi di kota Singaraja. Seperti biasa, ia mendatangi kosku. Aku bingung harus memulai obrolan kami dari mana. Mengingat sikapnya saat chatting, aku bingung apakah aku harus bersikap sok asyik atau cuek sepertinya saat itu. Ia membuyarkan lamunanku tiba-tiba.
“Nih ice cream, kan waktu ini aku kalah main uno. Udah tepat janji kan aku?” katanya.
Ya, ia datang dengan se-cup ice cream di tangannya karena pada pertemuan pertama kami, aku berhasil mengalahkannya bermain kartu uno. Dan ice cream-lah sebagai hukumannya.
“Enak?” tanyanya. Aku mengangguk sambil tersenyum.
Aku bingung, sikapnya berbeda lagi saat kami bertukar pesan singkat. Ia kembali asik, dan kami kembali tertawa karena cerita konyol yang kami ceritakan. Saat ia pamit untuk pulang, entah di menit ke berapa, tiba-tiba ia mencium kening lalu memelukku.
“Kenapa? Mukanya biasa aja dong. Hahaha,” ejeknya kepadaku. Lalu ia berpamit pulang.
Otakku tak dapat berputar setelah aku menutup pintu kamarku. Barusan apa? Dia menciumku? Ini mimpi? Apa dia menyukaiku? Ah, tapi kenapa? Banyak pertanyaan dalam pikiranku. Dan aku insomnia mendadak malam itu.
Pertemuanku dengan Hadi kurang lebih sekitar 5 kali, kami jarang bertemu dikarenakan jarak antara Singaraja-Denpasar perlu ditempuh kurang lebih 2 jam. Belum lagi tugas-tugas di kampus yang selalu memanggil untuk segera dikerjakan. Saat itu, ia mulai bersikap lebih berani, memberiku teka-teki, memberi kode namun sulit bagiku untuk memecahkannya. Sikapnya begitu baik, terbuka denganku, dan selalu memanjakanku saat kami berdua. Aku selalu dibuatnya bahagia. Namun terkadang sikapnya seperti tak pernah punya perasaan kepadaku. Kembali cuek seperti biasanya. Sebenarnya bagaimana perasaanmu, Di?
Sampai pada waktunya, kami tak pernah bertemu lagi. Hanya bertukar pesan singkat, seminggu 2 kali rasanya. Entah apa yang membuat kami jauh seperti ini.
Kau meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan, dengan misteri yang belum sempat aku pecahkan, dan dengan begitu banyak kenangan di kota Singaraja. Bahkan, kau belum sempat tahu bagaimana perasaanku. Bisakah kita memulainya lagi? (T)