Cerpen: Alif Febriyantoro
Ya. Saya tahu, bahwa saya adalah wanita yang belum mengerti tentang kepergian. Tapi pada akhirnya saya sudah berada di sebuah kereta menuju kota Yogyakarta. Pada akhirnya saya pun pergi. Meninggalkan kota Jember, meninggalkan rumah, meninggalkan suami dan anak. Ayah saya sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Disusul Ibu setahun yang lalu. Jadi saya tidak perlu lagi berdebat dengan mereka perihal kepergian ini.
Kereta Logawa sudah berangkat 30 menit yang lalu. Sekar pergi dari rumah secara diam-diam sebelum subuh. Suaminya pun tidak mengetahui perihal keberangkatannya. Sudah sekian lama ia merencanakan keberangkatan ini. Dan setiap kali ia ingin pergi, suaminya melarangnya. Sebagai seorang suami, wajar jika melarang istrinya yang ingin pergi dengan alasan yang tidak jelas. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh suami yang tidak bekerja? Hanya menasehati. Lain tidak.
“Kenapa kamu selalu ingin pergi?” tanya suaminya pada sebuah subuh yang lain.
Lengang.
“Karena saya tidak bekerja? Iya?”
“Itu bukan masalah, Mas.”
“Lalu?”
“Saya hanya ingin pergi, Mas. Itu saja.”
“Jangan selalu menutup diri.”
“Saya tidak bermaksud untuk menutup diri, Mas.”
“Maka dari itu, seharusnya kamu ceritakan dan jelaskan apa yang sedang terjadi dan menjadi masalah, sampai-sampai kamu ingin pergi begitu saja.”
“Justru ketika saya mulai bercerita dan menjelaskan, semuanya akan menjadi masalah, Mas.”
“Pikirkan anak gadis kita, ketika kamu berpikir untuk pergi.”
Sekar hanya diam.
Di bangku penumpang, Sekar duduk dekat jendela. Pukul 8 Pagi. Hari masih muda. Seperti orang-orang lain yang menyukai tempat duduk dekat jendela, mereka paham ketika sedang memandang keluar, mereka pasti akan mengingat sesuatu. Sesuatu yang mungkin sangat dikenangnya.
“Oh, saya telah berdosa. Maafkan saya, Mas. Saya tidak pernah mencintaimu. Semenjak pernikahan itu, tidak sedikit pun rasa yang saya berikan kepadamu, Mas. Saya hanya menggunakan logika. Sebab kita menikah karena dijodohkan oleh orangtua kita. Dan saya harus menuruti keinginan orangtua saya, karena pada saat itu, Ayah saya sedang sakit. Saya takut terjadi apa-apa dengannya. Saya mengerti tentang hakikat sebuah pernikahan. Ketika seorang wanita telah bersuami, maka haram baginya untuk mencintai orang lain. Tapi jodoh belum bisa diukur ketika seseorang sudah menikah. Sekali lagi saya minta maaf, Mas. Saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri. Bahwa saya masih memiliki rasa kepada seseorang di masa lalu. Saya juga tidak begitu paham dengan sikap saya sendiri. 15 tahun sejak awal kita menikah, saya mencoba untuk melupakannya. Saya selalu berdoa agar ingatan saya tentangnya segera dihapuskan. Tapi sampai saat ini saya masih mengingat. Dan setiap kali saya mengingat, rasa itu selalu tumbuh. Besar dan lebih besar lagi.
Sempat saya minta cerai kepadamu, Mas. Tapi dengan berat hati kamu mengatakan tidak. Karena satu alasan, kita telah memiliki satu anak. Ya. Itu adalah sebuah logika yang cukup kuat untuk saya pikirkan kembali. Saya pun luluh dan kembali menenangkan diri. Sampai pada suatu saat, saya mendengar kabar darinya di media sosial, dan saya kembali mengingat tentangnya. Saya menangis ketika ia mengatakan bahwa ia juga masih memiliki rasa kepada saya. Sungguh saya benci ketika ia mengatakan itu. Saya marah karena mengingat dahulu ia sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika ia tahu saya sedang dijodohkan. Mengapa ia tak pergi ke rumah dan meyakinkan kedua orangtua saya? Ah, tapi semarah apapun saya kepadanya, ia tetap orang yang sama, orang yang sangat saya cintai. Dan semenjak ia memberi kabar, saya sering berkomunikasi dengannya. Saling bertukar pendapat. Ia pernah mengatakan, ketika kami memang berjodoh, kami pasti akan dipertemukan, jika tidak di dunia, maka di akhirat.
Oh, saya tidak berani untuk menceritakan ini semua di hadapanmu, Mas. Tolong pahami. Saya memang salah. Saya berdosa kepadamu, Mas. Saya berdosa kepada anak kita. Terlebih kepada agama kita. Tapi saya telah memilih jalan ini, bahwa saya akan pergi ke rumahnya, di Yogyakarta, tempat dahulu saya pernah menuntut ilmu dan juga awal ketika saya bertemu dengannya. Saya tak peduli apa yang akan terjadi ketika nanti saya sampai di rumahnya, bertemu dengan istrinya atau anak-anaknya. Apapun yang akan terjadi nanti, ketahuilah, saya tak mungkin akan kembali. Saya malu dengan diri saya sendiri. Maka tolong jaga baik-baik anak kita, Mas. Dan Tolong bilang kepadanya, saya sangat menyayanginya.
Terima kasih atas kasih dan sayang yang selama ini telah kamu berikan kepadaku, Mas.”
Di dekat jendela itu, Sekar mengangis. Ia kirim pesan pendek itu–yang sejak tadi ia tulis–kepada suaminya. Kemudian ia menekan tombol “Matikan Daya” pada layar handpone–nya. Ketika kereta berhenti di Stasiun Bangil, ia basuh air matanya dengan menggunakan selembar tisu yang ia bawa. Beberapa menit kemudian kereta berangkat kembali dengan membawa penumpang lebih banyak. Dan Sekar kembali melamun, menatap keluar jendela. Kita tahu, bahwa dalam beberapa detik ketika kita sedang melamun, hampir seratus persen kita akan mengingat sesuatu yang teramat kita kenang. Ya, hanya kenangan. Tak ada rumah, tak ada keluarga. Tak ada agama.
Seorang gadis kecil duduk di sebelah Sekar. Gadis kecil itu mengenakan baju putih. Rambutnya terurai. Usianya sekitar 8 tahun. Si gadis duduk dengan mengayun-ayunkan kakinya.
“Di mana orangtuamu, Dik?” Sekar menyapa.
Tapi gadis kecil itu hanya diam dan menunduk.
“Kenapa tidak menjawab?” Sekar sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya di depan wajah gadis kecil itu.
“Namamu siapa?”
Tapi gadis kecil itu tetap diam. Sejenak suasana menjadi lengang.
“Apakah Tante berpikir kalau saya tidak bisa bicara?”
“Loh ….”
“Tidak. Tidak. Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Siapa namamu, Dik?”
“Saya tidak mempunyai nama.”
“Kenapa begitu?”
“Karena saya membunuh Ibu saya sendiri.”
Gadis kecil itu menggenggam tangan Sekar dan menatap begitu tajam. Sekar kaget. Ia juga menatap wajah gadis kecil itu cukup lama, ia berpikir. Dan Sekar sedikit merinding. Tapi Sekar tahu bahwa ia hanya bermimpi.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Kereta Logawa yang sejak tadi menyusuri rel Jawa Timur, kini sudah tiba di Stasiun Paron. Sekar tetap berada di dekat jendela itu. Melihat ke arah luar. Melihat awan putih yang masih bergerak bebas di bawah matahari.
Sebentar lagi saya sampai, Mas. Saya harap kamu akan berbuat sesuatu ketika saya datang di depan rumahmu, bertemu dengan istrimu, betemu dengan anak-anakmu. Lalu saya dengan sederhana akan mengatakan kepadamu, bahwa saya mencintaimu, Mas.
Sekar berangkat tanpa memberi kabar kepada lelaki yang dicintainya itu. Tapi ia tahu jalan. Ia tahu keberadaan lelaki itu. Dan ia tahu, bahwa ia akan sampai dengan membawa air mata dan kenangan.
Apakah kamu masih ingat, Mas, ketika dahulu dengan menggunakan kereta, saya mengajakmu untuk bermain ke rumah, untuk bertemu dengan orangtua saya. Ya. Tentu kamu pasti mudah mengingat kenangan kita, Mas. Kita tahu bahwa sepanjang perjalanan, kita hanya butuh kenangan agar kita bisa sampai di tempat tujuan. Kenangan itu seperti juga sebuah keinginan, begitu katamu, Mas. Dan saya hanya menatap matamu dari samping. Entah mengapa kenangan selalu membuat manusia lupa akan segalanya. Tapi yang saya tahu, kenangan adalah ingatan manusia. Ketika manusia memiliki kenangan, maka ia akan hidup. Seperti saat ini, saya seperti lahir kembali. Saya seperti berjalan di atas awan untuk menjemput kehidupan.
Senja jatuh di Stasiun Lempuyangan. Satu demi satu penumpang buru-buru meninggalkan gerbong kereta. Bergerak mengikuti tujuan masing-masing. Dan Sekar pun ikut meninggalkan. Ia turun dan berjalan ke arah yang berlawanan dengan kereta yang sudah kembali bergerak. Ia sejenak duduk di sebuah peron. Dan kembali melamun.
Di waktu yang sama, pada senja yang lain di kota Jember, seorang lelaki sibuk membaca berulangkali pesan pendek yang dikirim oleh Sekar tadi pagi. Ia menunduk lesu.
“Ibu ke mana, Yah?” tanya anak gadisnya.
Lelaki itu menangis, kemudian memeluknya.
“Ibumu, Nak … Ibumu meninggal … tertabrak kereta.” (T)
Jember, 23 Juni 2017