Cerpen Komang Astiari
PARA ibu berseliweran di pasar pagi ini. Cuaca tidak begitu cerah. Seperti biasa aku menggelar barang daganganku di emperan dekat tangga pasar. Dengan rapi dan penuh suka cita. Diam- diam ada seorang gadis, aku tidak tahu pasti apakah dia masih gadis atau sudah bersuami, tapi parasnya ayu, rambutnya sering digelung, meskipun demikian itu tidak membuatnya terlihat lebih tua. Senyumnya meneduhkan. Ingin rasanya mendekatinya namun tangan ini seperti terpenjara rasa minder, siapakah aku yang pantas mendekati seorang cantik jelita seperti dia. Aku menamainya Ayu.
Aku hanyalah seorang penjual pisau. Daganganku ini cukup penting buat ibu ibu, karena pisau-pisauku ini kelak akan membantu mereka menyelesaikan pekerjaan memasaknya di pagi hari. Aku bekerja semata untuk mencukupi kebutuhanku dan keluarga kecilku; satu anak dan tentu saja satu istri.
Seandainya aku punya cukup uang, ingin rasanya aku mempersunting satu orang istri lagi, yakni gadis cantik yang selalu datang setiap pukul 5.15 pagi di pasar ini. Namun sayang, itu hanya khayalan mas-mas goblok yang bau badan dan bau napas seperti aku ini. Kehidupan rumahtanggaku mulai hambar, meskipun aku cukup setia, karena tidak ada celah bagiku untuk selingkuh. Aku pecundang abadi yang minta ditendang orang-orang kaya.
Bekerja tidak membuatku kaya, hutangku terlalu banyak. Istriku yang bekerja sebagai tukang cuci pun tak kian mampu membuat kami hidup berkecukupan. Sakitku ini menguras uang , menguras tenaga, menguras pikiran. Kami harus membeli obat setiap bulan kalau mau aku tetap sehat. Terlambat sekali saja, sakitku kambuh dan tidak bisa bekerja. Tentu saja itu menjadi ketakutan tersendiri bagi istriku. Kalau aku mati, aku hanya menambah beban hidupnya yang sudah berat, aku tidak punya warisan apapun selain kenangan buruk. Hutang-hutang itu sudah berteriak tepat di sebelah telingaku, minta segera dibayar,
Di kala daganganku sepi pengunjung, aku akan memperhatikan gerak gerik ayu yang telah membiarkan hatiku menari-nari. Jatuh cinta. Seperti biasa dia membawa tentengan tas belanja. Sampai-sampai aku hapal langganannya. Aku tahu di mana Ayu akan berhenti untuk belanja. Mulai dari dagang sayur, buah, kue hingga daging. Sudah dua bulan ini Ayu berhasil menarik perhatianku dan membuatku semangat bekerja.
Aku bak pungguk merindukan bulan, malang nian nasibku. Selama dua bulan ini tak satu kalipun Ayu mampir di daganganku. Apakah daganganku tidak cukup menarik baginya? Ataukah pemandangan dari si penjual pisau yang membuatnya enggan mampir? Yang jelas aku ingin sekali Ayu menghampiri aku, walau cuma sekali saja. Ingin rasanya mendengar suaranya apakah merdu semerdu yang aku bayangkan.
Esok paginya seperti biasa aku menggelar daganganku lagi. Seperti biasa Ayu akan datang, membeli semua kebutuhannya. Ayu memiliki ciri khas, berkaus t-shirt dengan celana pendek yang membuatnya nampak benar benar seksi. Aku hanya bisa berkhayal mampu membelai rambutnya, menciumnya, memeluknya dan ah, aku tidak perlu melanjutkan khayalanku. Aku semakin penasaran dan penasaran pada Ayu. Hari berlalu waktu berganti, Ayu tak kunjung mampir di daganganku, dia sibuk dengan daftar belanjaannya, sibuk memilih-milih sayur daging tapi bukan pisau.
Anehnya tak satu kalipun dia melirikku atau aku memang tak pantas dilirik? Sampah akan selalu diabaikan , tentu saja. Aku merasa kembali jatuh cinta. Pada Ayu. Dia ibarat angin segar yang memaksa masuk ke dalam ruang sumpek pikiranku. Ayu, kenapa tidak satu kalipun kau menghampiri aku. Agar aku bisa mendengar sekadar suaramu.
Jauh di sana, di tempat yang tak terjangkau pikiran si penjual pisau…
Seorang wanita yang diidamkan si penjual pisau tengah larut dalam derita yang berkepanjangan. Bergejolak dalam masalahnya sendiri. Apakah hidup tidak pernah memberi ampun pada rasa cinta? Cinta hanya memunculkan derita.
Kau dan aku adalah sebuah cerita yang mengiba-iba ingin dilanjutkan si empunya. Kau dan aku adalah nyanyian kodok dan hujan yang berharap tiada pernah berakhir. Kau dan aku adalah sebuah dosa yang indah. Hidup membawa kau senantiasa bertemu denganku, lagi. Setelah waktu seolah tak memberikan ijin untuk kisah ini dimulai kembali.
Waktu terkadang amat kejam, dia berlalu terlalu cepat, tergesa gesa. Di sisi lain dia berjalan sangat lambat. Aku merasakan kecepatan waktu dan sering kali ingin kuteriakkan saja: “Hei bisakah kau berhenti satu jam saja atau satu hari saja?” Namun dia tak kian menjawab. Waktu melangkah derapnya begitu cepat dan pasti, berlalu dan berlalu.
Dia pun seenaknya melambatkan geraknya ketika hati ini terlalu lelah menunggu. Bahkan waktu terasa enggan melaju. Bahkan tanpa ragu-ragu dia menghiburku dengan rasa cemas, was was, rasa rindu yang amat dalam. Usia ini sudah bersiap menuju 50 tahun, garis garis di wajah terlihat semakin jelas. Kecantikan yang mulai memudar. Wajah yang menampakkan tanda-tanda mulai lelah, enggan menampakkan kilaunya. Enggan tersenyum. Di usia ini aku masih harus bekerja, sebuah hal yang membosankan bukan? Bagaimana setiap pagi pada pk 5.00, ketika pertama kali aku membuka mata lalu membayangkan kau akan dikejar-kejar oleh waktu, ah, lagi-lagi waktu.
Aku ingin menamparnya, menampar dia yang telah mempermainkan hidupku. Mempersiapkan segala hal, makanan, sarapan, memastikan kebersihan rumah, memastikan kebutuhan suami selama seharian, sebelum akhirnya mempersiapkan diri sendiri yang alakadarnya. Tiba di kantor dengan wajah kusut dan tegang karena takut terlambat dan dipotong gaji. Bagaimana mata-mata jtu memandang aneh pada penampilanku yang tidak pernah rapi.
Dan sakitnya ketika mulut-mulut itu membicarakan kehidupanku yang kacau. Seorang suami yang cacat. Pelengkap penderitaanku. Aku dulu memilihnya bukan karena dia cacat tapi kecakapannya bekerja membuat hatiku kagum. Dia lelaki bertanggungjawab setidaknya itu kesan pertama yang aku dapat, bertubuh tegap dan atletis. Seorang atlit yang sehat. Namun kejadian yang sekejap itu mengubahnya sangat cepat. Menjadi lelaki tak berdaya yang menunggu dilayani menunggu seseorang datang menuntunnya.
Sementara waktu terus berjalan, aku bahkan terlalu lelah untuk meminta lagi dan lagi, hingga pria lain hadir dalam kehidupanku dan suami. Dia adalah seorang pengusaha, kaya raya dan memenuhi kebutuhanku akan materi yang sudah lama tak kunikmati. Dia lembut.
Setidaknya itu yang terlihat. Saat mata-mata memandangku aneh, lelaki ini memiliki sihir yang seolah mengatakan padaku bahwa aku tetap cantik , aku menawan meskipun hatiku tiada berkata demikian. Lelaki ini adalah langitku, yang memberi rasa damai tiap kali mata ini menyelidik ke dalam dalam hatinya yang baik. Aku terpesona, hatiku larut dalam bingkai kisah kami berdua. Bingkai indah yang penuh kesalahan.
Pagi ini, kembali pukul 5.15 pagi.
Pasar tempat di mana si penjual pisau dan Ayu bertemu dalam bisu, akan digusur. Apakah kisah mereka akan usai? Oh, betapa memilukan . Tentu bagi si penjual pisau, tidak akan ada lagi paras ayu yang selalu datang pada pagi hari. Ayu, mungkin Ayu tidak merasakan penderitaan yang dirasakan si penjual pisau. Tapi Ayu juga manusia biasa yang hanya dapat menikmati penderitaannya sendiri. Masing-masing dari mereka memeluk derita itu tiap detik tiap menit dan tiap jam yang berlalu perlahan dihembus-hembuskan sepoi angin.
TIdak ada satu pun yang pernah menjadi kekal, pun pada kisah cinta si penjual pisau pada pukul 5.15 pagi. (T)