Cerpen: Fatah Anshori
WARIMIN benar-benar kesengsem dengan eseman Wartini pada awal 2009. Ketika ia pertama kali mengenal internet dari hape poliponik yang ia peroleh dengan menyisihkan gaji kerja serabutan. Memang lelaki tiga puluh lima tahun ini, terkenal masih bujang. Sekalipun ia tak pernah menjalin hubungan khusus dengan perempuan manapun. Kebiasaannya sehari-hari hanya bekerja saja. Apapun yang bisa ia kerjakan, ia akan kerjakan. Kadang orang-orang kampung memintanya untuk membantu di sawah sebagai buruh tani, jika ada pengumuman orang meninggal orang-orang akan memintanya untuk menjadi penggali kubur, kadang ia juga di minta menjadi penggali sumur jika telah lama tidak ada pengumuman orang meninggal.
Pernah juga ia diminta sebagai pemanjat kelapa, bahkan ia juga pernah diminta melatih kera, agar pandai memanjat kelapa seperti dirinya. Namun pekerjaan itu tak berhasil ia lakukan dan ia malah mendapat perlakuan tidak sopan dari murid pertamanya itu berupa dua garis menyilang di pipi kirinya, monyet itu menggaruk wajah Warimin. Dan sebagai usaha kecil-kecilan Warimin juga membuka jasa tambal ban. Dari situlah Warimin menyisakan keping-keping Rupiah untuk membeli hape poliponik yang bisa digunakan untuk membuka internet.
Pada suatu siang ketika Warimin sedang tidak ada panggilan kerja dari orang-orang kampung. ia akan mengeluarkan seperangkat perkakas tambal ban-nya di teras rumah, sambil berharap-harap ada kendaraan yang beranasib sial, yang rodanya telah melibas paku atau duri di sekitar situ. Selama pekerjaan menunggu yang menyebalkan itu, Warimin biasanya akan mengutak-atik hape yang baru ia beli itu. ia biasanya membuka-buka internet dan menyimpan gambar-gambar perempaun cantik yang tak ia ketahui nama serta dari mana asalnya. Tidak lama kemudian ibunya keluar rumah dan duduk tepat di samping Warimin. Ibunya baru saja selesai bersih-bersih rumah, dan selalu percakapan mereka seperti biasanya.
“Kapan kau perkenalkan ibu pada calon menantu, atau ibu yang akan memilihkan perempuan jika kau tidak becus mencarinya?”
“Sabar, Bu!”
“Ibu sudah kelewat sabar, Min! Ditambah kau tahu sendiri usia ibu sudah berapa!” Ibu Warimin terbatuk-batuk disampingnya. “Dan kau juga tahu ibu sudah sakit-sakitan!”
***
Sepanjang siang Warimin tak bisa berhenti memikirkan perihal yang dikatakana ibunya tadi. Jika dilihat dari luar ia memang seperti orang pada umumnya, santai dan tak terbebani apa-apa. Namun jika kau mengetahui bagian dalam, khususnya isi kepala Warimin, di sana serupa sebuah kantor yang menolak hari libur, seluruh pekerjanya berlarian ke sana kemari, mengatur berkas-berkas yang menumpuk, komputer-komputer yang selalu menyala dan tak pernah dipadamkan, dan satu lagi isi kepala Warimin benar-benar panas seolah di dalamnya ada tungku api yang dijejali puluhan batang kayu.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan seorang perempuan, menurutnya mendapatkan perempuan tidak semudah mendapatkan pekerjaan, meski menurut beberapa orang mendapat pekerjaan teramat susah, namun bagi Warimin itu mudah saja. Semudah nasib sial dan mujur menghampirinya.
Siang itu sehabis ibunya masuk rumah, ia hanya duduk-duduk di depan rumah, masih menunggu dan berharap-harap ada kesialan dalam bentuk ban bocor, menghampiri pengendara motor yang melintas di depan rumahnya. Namun seperti yang kita tahu, doa buruk jarang sekali terkabul, maka sepanjang siang hingga sore hari itu, Warimin sama sekali tak mendapat pelanggan, untuk memakai jasanya.
Sorenya SMS dari Jono masuk. Itu adalah ajakan untuk pergi ke warung kopi yang berada di paling ujung utara kampungnya. Selepas sholat isya, ia lantas keluar rumah dan segera berjalan kaki ke warung itu untuk menemui Jono, kawan karibnya sejak kecil. Selama perjalanannya ia melewati masjid, di serambi masjid tampak anak-anak sedang berlarian saling kejar-mengejar satu sama lain, dan beberapa anak perempuan yang masih mengenakan mukena duduk di suatu sudut di serambi, mereka tampak sibuk memencet hape masing-masing.
Sesampainya di warung kopi, pemandangan pun tidak jauh berbeda dengan yang ada di serambi masjid tadi. Orang-orang duduk di kursi dengan cangkir kopi yang dibiarkan terbuka. Mereka sibuk dengan hape-nya masing-masing. Seseorang di salah satu meja yang berada di dekat jendela melambaikan tangan. Itu Jono. Ia barusan juga serupa yang lain, sibuk dengan hape-nya. Wajahnya tertunduk hingga Warimin tak menyadari jika ia adalah Jono. Setelah memesan kopi Warimin lantas duduk di kursi panjang sebelah Jono.
“Sudah pasti ibumu menyuruhmu segera kawin ya? Jangan kau tanya aku tahu dari mana, wajahmu yang murung itu yang mengatakannya padaku, Min!” Jono menyeduh kopinya sedikit saja. Memang ia sudah mafhum perangai Warimin, sebagaimana kawan karib sejak kecil. Jono memperhatikan dan mengingat-ingat setiap perkara-perkara kecil yang ada pada Warimin. Bahkan Jono juga tahu jika dua goresan yang melintang di pipi kiri Warimin adalah kenang-kenangan yang ia peroleh selama menjadi pelatih monyet.
“Lalu apa kau punya solusi untuk masalahku ini?”
“Tentu saja ada, sekarang kau ‘kan punya hape..”
Warimin mengangguk.
“Jadi kau tak usah khawatir, sini aku kasih tahu.”
Kemudian Warimin mendekatkan kepalanya pada kepala Jono, hingga kedua kepala itu hanya terpisahkan beberapa senti saja. Sekarang keduanya takzim dengan benda kecil yang berada di genggaman Jono. Sejurus kemudian benda kecil itu menunjukkan wajah-wajah perempuan cantik, dan kadang lengkap dengan tingkah polah mereka yang aneh-aneh. Beberapa ada yang memonyongkan bibir, beberapa ada yang tampak malu-malu, beberapa ada yang tampak menggoda. Jari-jemari Jono bekerja dengan cekatan, pencet sana pencet sini, ketik sana ketik sini. Dan Warimin tampak puas dengan hasil kerja jari-jemari Jono.
“Ini namanya facebook, Min!”
Karena mereka memang orang desa, dan hanya tamatan sekolah dasar, sehingga tulisan facebook yang harusnya di baca ‘fesbuk’, mereka biarkan dibaca apa adanya sebagaimana mengeja tulisan bahasa Indonesia.
“Sekarang aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu, Jon!”
“Iya, kau bisa mencari jodoh di sini, Min.”
Tak butuh waktu lama Warimin sudah punya akun facebook-nya sendiri. Yang ia beri nama Warimin Pejantan Tangguh, tiga kata itu sebelumnya sudah ia pikirkan matang-matang. Sebagaimana agar mencerminkan ketangguhan dan kegagahannya menghadapi persoalan hidup yang tak kunjung padam. Dalam hati kecilnya ia juga berharap, jika nanti berkenalan dengan perempuan, paling tidak perempuan itu tahu bahwa dirinya adalah lelaki yang tangguh dalam hal apapun, sehingga para perempuan itu tidak ragu jika menjadi pasangan hidupnya.
Untuk menguatkan nama itu, Warimin memasang fotonya tiga tahun yang lalu ketika sedang mengunjungi sebuah tempat wisata di Kabupaten bersama rombongan Karang Taruna Desa. Ia memakai kemeja putih tiga kancing atasnya terbuka, sehingga tampak dadanya yang membusung. Kedua lengan panjangnya ia singsingkan, tentu saja dengan maksud agar otot bisep dan trisepnya tampak menonjol, melambangkan ia adalah pekerja keras dan suka angkat-angkat.
Akhirnya malam itu juga Warimin bertekad menemukan pasangannya melalui facebook. Di kotak pencarian Warimin mengetikkan nama-nama yang menurutnya adalah nama yang sering d gunakan kebanyakan peempuan cantik, menurutnya. Ia mengetikkan nama Sundari, karena mengingat anak Pak RT yang dulu sempat ia taksir ketika belum sekolah. Namun nama Sundari tidak muncul, barangkali waktu itu Sundari yang ia maksud belum mengenal facebook.
Kemudian ia mengetikkan nama Martinah, yang muncul adalah nama-nama berikut; Martinah Tukang Fitnah; Martinah Ingin di Cayang; Martinah Benci Papa; dan Martinah-Martinah lain yang membuat kepala Warimin terasa berat. Namun ia tak putus semangat. Ia terus mengetikkan nama-nama perempuan yang ia sukai, namun yang muncul adalah perempuan-perempuan yang tidak sesuai dengan seleranya, ada yang hanya parasnya cantik namun ia tidak jelas asalnya. Ada yang jelas asalnya tapi parasnya tidak jelas. ia tidak patah semangat ia terus mengetikkan nama-nama perempuan. Yang muncul kadang gambar perempuan kadang juga gambar perempuan jadi-jadian alias lelaki.
Satu persatu orang di warung itu mulai beranjak pergi. Hari sudah terlalu larut, suara orang menguap mulai terdengar satu persatu. Sementara Warimin tidak menyadari hari sudah terlalu larut, ia masih sibuk dengan facebook-nya.
“Apa kau masih ingat Wartini, Min?” Jono berkata lirih di sampingnya.
Kemudian Warimin tampak seolah sedang teringat sesuatu yang hampir terlupakan. Seorang adik kelas yang selisih umur sepuluh tahun dengannya. Seorang perempuan yang keseluruhannya benar-benar seperti apa yang ia harapkan. Lalu diketiknya nama itu pada kotak pencarian sekali lagi. Benar gambar Wartini muncul, dan wajahnya tidak jauh berubah, ia pernah punya kenangan tersendiri dengan Wartini, itu sudah lama sekali.
Pada pagi itu petugas kecamatan datang ke sekolah-sekolah termasuk sekolah dasar Warimin dan Wartini, saat itu Warimin adalah murid paling tua di sekolahan dan seringkali tinggal kelas alias tak naik kelas. Akhirnya Wartini menjadi adik kelas tepat satu tingkat di bawahnya. Ketika itu setiap anak harus disuntik untuk kekebalan tubuh katanya, agar terus sehat dan bisa berjalan, kata para petugas kesehatan yang berjubah putih-putih, serupa orang suci.
Namun ketika Warimin melihat jarum yang lancip menancap di bokong teman-temannya, keringat dingin mulai merembes di telapak tangan dan dahinya. Akhirnya ia berlari dan sembunyi di suatu tempat yang tak ada seorang pun tahu, kecuali hanya Wartini yang pada waktu itu dapat menemukan Warimin, ia di temukannya terselip di antara batang-batang tebu yang berada di belakang sekolahnya. Pada saat itu hanya Wartini yang berhasil membawanya ke sekolah untuk disuntik pantatnya.
Warimin kemudian masih ingat senyum tipissnya, lembut telapak tangannya, dan kata-kata manisnya.
Beberapa saat setelah menekan tombol meminta pertemanan, Wartini Kembang Desa menerima pertemanan. Jadilah keduanya bernostalgia sebentar untuk akhirnya Warimin kembali pulang.
***
“Hari ini perempuan itu akan datang, Bu?”
“Ini sudah jam sebelas, katamu jam sembilan!”
“Sabar, Bu!”
“Jika satu jam lagi, dia tidak datang. Kau harus mau dengan pilihan Ibu.”
Beberapa menit kemudian terdengar suara gerung motor dari tikungan. Suara itu mendekat, semakin lama semakin jelas.
“Pasti itu dia, Bu!” Warimin tersenyum manis pada ibunya, seolah nasib baik benar-benar berpihak padanya hari ini.
Benar, sebuah motor RX-King berhenti tepat di depan rumahnya. Seorang perempuan turun dari motor itu. Beberapa saat Ibu Warimin beserta Warimin kehabisan napas. Keduanya pingsan setelah melihat Wartini dengan tattoo tengkorak terhampar di leher, dan sebuah cincin melingkar di tengah-tengah hidung serupa cincin yang melingkar di hidung sapi dalam adegan matador. Ditambah perempuan itu memiliki rambut yang berwarna merah menyala, seperti api. (T)
—Februari 2017