Cerpen Agus Wiratama
KAU duduk dengan murung di tepi sungai itu. Sejak tiga bulan lalu kau benar-benar merasakan aliran darah di nadimu. Berkabung. Kau tak henti-hentinya manangisi kepergiannya. Lumut-lumut di pingir sungai itu kau basuh dengan air mata kesedihan.
Mereka kini nampak seperti lumut yang hidup tanpa klorofil. Mereka lesu, terlihat seperti lumut kering dan siap mati. Tetapi, sesungguhnya tidak. Kesedihanmu sudah menyusup hingga ke dalam sel-sel lumut itu.
Sudahlah Dek, jangan lagi kau buat mereka ikut bersedih. Air sungai sudah mengutuk mereka untuk abadi di pinggirannya. Kini kau menularkan kesedihan pada mereka. Tidakkah kau paham susahnya menjadi lumut di pinggir sungai?
Mereka hidup hanya untuk bercumbu dengan tetesan air sungai yang hanya sesekali membelai. Bukan air matamu yang mereka harapkan. Air matamu hanya akan menambah kepiluan hidup bagi mereka.
Tiga bulan lalu setelah kutikam kekasihmu dengan sebilah pisau berkarat, kau memulai kisah pilu di tepi sungai itu. Itu bukanlah diriku yang sesungguhnya, Dek. Ketika kutulis sajak dalam secarik kertas, tubuhku seolah-olah menyala seperti api yang siap melumat setiap ranting yang kujumpai.
Aku memang membeci lelaki yang merebutmu itu, tetapi melakukan hal sekeji itu tidak tertanam dalam harapanku. Sehari sebelum pisau itu mendarat tepat di hatinya, kulihat kau di pelabuhan itu makan sate dengan begitu nikmat. Entah sate apa yang kalian makan, aku tidak tahu tetapi api di dalam diriku terasa menyala ketika itu. Tubuhku terasa panas, dan apabila kaulihat, mataku memerah seperti api yang membakar rumahmu ketika dilenyapkan oleh saingan bisnis ayahmu, Dek.
Sebelum aku bertemu denganmu ketika itu, aku sempat berpikir untuk mencari beberapa orang yang telah menulis tentang senja karena aku ingin menghentikan pergerakan matahari. Aku tahu, dulu ketika kita saling berbagi cinta, kau selalu berkata bahwa kau ingin melihat senja setiap saat. Itulah yang ingin aku berikan. Aku ingin menghentikan perjalanan matahari sehingga ia bisa menciptakan senja dengan cahaya emas yang abadi. Aku juga berharap dengan abadinya senja cintamu pun akan abadi.
Tetapi ketika aku berkeliling untuk mencari orang yang mengambil foto senja, mencari penyair yang sedang menulis sajak tentang senja, seorang pelukis yang hendak melukis senja, yang kutemukan hanyalah dirimu dengan lelaki bangsat itu di tepi pantai menikmati sepiring sate lengkap dengan sup yang mengeluarkan asap.
Ketika itulah cahaya merah yang datang dari arah selatan merasuki ruang bawah sadarku. Ia menguasai diriku walaupun tidak seutuhnya. Ketika itu suara sumbang yang terembus angin membisikiku, “Ketika malam tiba, lelaki itu harus musnah di bawah sinar rembulan”.
Ketika matahari secara perlahan tenggelam karena tak berhasil kuhentikan, akhirnya aku mulai sadar seutuhnya. Kuambil sepeda motorku untuk kembali menuju rumah yang berada tak jauh dari pantai itu. Aku ingin beristirahat dengan menikmati secangkir kopi hangat dan sebatang rokok yang akan kubeli di warung depan rumahku. Aku akan tidur dan melupakan segalanya tentang kejadian dan keinginan ketika di pelabuhan tua itu.
Mataku yang ketika sore membara kini berusaha kupejamkan, namun entah kutukan dari mana, mata ini tak juga berhasil kupejamkan. Aku tak bisa tidur. Besok seharusnya aku bangun pagi untuk mengajar di sebuah sekolah yang aku benci karena aku tahu kau bertemu dengan lelaki itu di sana.
Ketika itu lagi-lagi kudengar sebuah bisikan serupa bisikan sore itu. Aku tak menghiraukan bisikan itu. Karena untuk memejamkan mata sangat sulit ketika itu, aku mengambil kertas untuk menulis secarik surat yang biasa ku lempar ke sebuah jurang di tepi ladang. Kemarahanku bangkit lagi, api itu menyala dalam hati ini dengan leluasa ketika sebait kata mulai tertulis. Saat itu tubuhku benar-benar tak terkendali. Amarah telah melumat habis sekujur tubuhku. Aku hanya bisa mengingat kejadian itu tanpa mampu mengendalikan tubuh.
Aku berjalan menuju pantai tempat kau menikmati sate dan sup ketika itu. Malam telah larut, tetapi lelaki itu, lelaki bangsat itu kulihat meregangkan seluruh tubuhnya sambil menatap cahaya bulan di tempat itu. Setelah kuingat-ingat, beberapa jam ketika itu kau mengunggah sebuah video sedang menginap di sebuah hotel di pelabuhan tua dengan kekasihmu.
Aku rasa wajar saja bila ia meregangkan tubuhnya di bawah cahaya rembulan dengan pakaian tidur seadanya. Ia kulihat juga sedang berlari kecil di tempat itu dengan sangat santai. Bila ia mampu berlari kecil di malam hari, aku berharap ia bisa berlari dengan sangat cepat ketika tubuhku mendekatinya.
Sebelum aku berangkat untuk berjumpa dengan lelaki itu, aku sempat singggah di dapur untuk mengambil sebilah pisau, namun yang kutemukan hanya pisau yang telah berkarat. Apa daya, pisau itulah yang telah kuselipkan di belakang celanaku tanpa perintah alam sadarku.
Lelaki yang telah merebutmu itu melihat kedatanganku, ia tahu aku adalah kekasihmu terdahulu. Perasaan bersalahnya telah membuat ia ramah padaku. Ia menyapaku dengan senyum dan memberi beberapa pertanyaan basa-basi yang enggan kujawab. Ia mengajakku duduk untuk membicarakan tentang dirimu. Kau tahu? Lelaki bodoh itu membicarakanmu lantaran ia tak memiliki topik lain yang bisa dibahas ketika melihat wajahku yang pucat dan mata yang merah membara.
Dari pembicaraannya yang berusaha melibatkanku untuk berbicara, aku sadari ia berusaha minta maaf. Tetapi sebelum senja benar-benar abadi, maaf itu tak akan pernah kuamini. Senyumnya ketika aku datang pun terasa harus dihentikan dengan cara apapun. Dalam senyum bibirnya yang diikuti oleh kumisnya yang tipis membuatku merasa mual dalam keadaan itu.
Untung saja sisa makanan yang kutelan ketika itu tidak keluar karena api yang membara telah mengendalikan semuanya. Dek, aku hanya bisa mengingat kejadian ketika itu, aku sama sekali tidak mampu menggerakkan sejengkal tubuhku. Maafkan aku, Dek, tubuh ini benar-benar digerakkan oleh api itu.
Ketika rembulan telah berada tepat di atas kepalaku, ketika itulah api yang ingin kuredakan malah memuncak. Kuambil tangan kanannya yang berbulu lebat itu dan aku ingat ketika itu aku hanya berkata, “Ikutlah denganku, sebait sajak melankolis akan membawa kita pada kedamaian.”
Kata-kata itu mencuat dari mulutku yang entah diperintahkan oleh siapa. Ia begitu polos, ia mengukuti ajakanku tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya untuk menolak. Aku mengajaknya berjalan ke sebuah ladang yang dekat dengan jurang dengan beribu-ribu bunga mekar ketika malam itu. Ketika rembulan berada di atas kepala kami, bunga-bunga di jurang yang tak terlihat dasarnya itu seakan berseri, menunggu sebuah cerita yang akan mereka gosipkan dengan bahasa bunga yang tentu saja manusia tidak mengerti.
Akhirnya kami tiba di ladang yang dekat dengan jurang itu. Langsung saja, tanpa berkata banyak, ketika ia menikmati pemandangan bunga yang belum pernah ia saksikan, tangan kananku melesat dengan sangat cepat menuju bagian belakang kepalanya.
Ia terkapar, matanya mendelik, mulutnya bergerak-gerak seolah-olah ingin berkata sesuatu padaku. Apakah kau tahu apa yang terjadi setelah itu, Dek? Kemarahan itu pudar, perlahan aku bisa mengendalikan diriku. Namun, bisikan ketika melihatmu makan sate dan sup yang mengeluarkan asap itu telah mendoktrin otakku.
Tubuh lalaki itu kemudian kurentangkan, kubiarkan ia melihat rembulan dengan cahaya perak yang begitu indah. Aku tahu ketika itu tubuhnya tak bisa digerakkan. Kemudian, kuambil sebilah pisau karatan yang terselip di celanaku. Dengan gemetar kudekati tubuhnya, kuangkat pisau merah itu dengan ujung menuju rembulan. Kubacakan sajak yang telah kutulis bertahun-tahun lalu, sebelum akhirnya pisau itu mendarat dengan tepat di jantungnya. Sangat tepat.
Lelaki yang kubenci itu akhirnya secara perlahan menutup matanya yang mendelik. Kau tahu ketika itu apa yang kemudian kulakukan padanya? Lehernya kutusuk-tusuk dengan pisau itu lalu kuambil selembar daun talas yang masih muda untuk mewadahi darah segar lelaki itu. Setelah daun itu penuh, kuangkat darah itu. Aku berharap rembulan merestui pembunuhan ini.
Aku membacakan beberapa doa yang kutuju untuk rembulan. Kemudian kuminum setetes darah dari leher lekaki yang telah terkapar dan tak berdaya itu. Lalu, darah yang tadi telah kusembahkan untuk bulan, kini kulempar ke arah jurang yang menjadi rumah ribuan bunga yang dengan setia menungguku dari tadi. Kuharap, bunga-bunga itu juga merasakan hal yang sama dengan yang aku rasakan. Ritual seperti itu pernah diceritakan oleh kakekku yang merupakan seorang penjagal pada tahun 60-an. Kini aku yang melakukannya.
Aku heran, tak sedikit pun kakiku gemetar setelah meminum setetes darah dan melempar darah ke jurang itu, tak sedikitpun mataku ketakutan telah melakukan pembunuhan untuk pertama kali pada orang yang benar-benar aku benci. Walaupun beberapa tetes darahnya telah mendarat pada baju dan wajah. kurasa hal itu adalah keberhasilan besar yang patut aku rayakan, Dek.
Mungkin saja, kalau keluarganya tahu mereka akan mengutukku, atau membawaku langsung ke kantor polisi. Aku tak sebodoh itu, setiap tetesan darah yang ada di ladang itu telah kusiram dengan air kencing, kemudian kuambil sebuah batok kelapa kering untuk diisi air yang selanjutnya kupakai untuk menyiram sisa darah itu lagi. Setelah itu kupastikan tak ada sedikitpun hal yang mencurigakan di ladang itu.
Selain itu, aku telah mengetahui situasi di tempat itu. Jam-jam malam tak akan ada petani yang berkunjung ke ladang, apa lagi ladang yang dekat dengan jurang seperti itu. Mereka percaya jam malam adalah jam untuk para roh gentayangan yang siap melahap para petani jika mereka mencoba bermain-main di ladang.
Untuk menghindari kecurigaan, kuangkat jasad lelaki yang kubenci itu dan kuletakkan di punggungku. Kuangkat perlahan, dan kubawa ke sungai yang tak jauh dari ladang sunyi itu. Awalnya aku berniat memotong-motong tubuhnya menjadi seperti steak yang dijual di rumah-rumah makan elit. Aku potong-potong sedemikian rupa, kemudian ku jual ke rumah makan elit tempat para politisi biasa singgah makan siang. Sehingga mereka merasakan getirnya hati lelaki yang telah membatu membasuh tubuhku dengan amarah dan kebencian.
Seharusnya mereka merasakan itu. Tetapi niat itu ku urungkan. Aku hanya mengiris perutnya dari pusar hingga ke leher sehingga dengan leluasa aku bisa mengambil hati lelaki itu. Hati yang telah kuambil itu kemudian kuletakkan di atas batu di pinggir sungai. Untung saja, cahaya bulan masih setia menemaniku sehingga tidak susah bagiku untuk melakukan hal itu. Hati yang telah kuletakkan di atas batu itu kemudian kupukul dengan batu kecil sehingga hancur dan nampak seperti kotoran yang membusuk. Tetapi aku tak mau lengah, bekas hatinya itu telah kusiram dengan air sungai yang jernih. Sehingga tak ada bekas apapun yang terlihat di tempat itu.
Tubuhnya yang tak terlalu besar hanya kupisah-pisahkan saja. Kaki, tangan, kepala, dan tubuhnya tak lagi menyatu sehingga dengan mudah sungai yang deras itu menghanyutkan organ tubuh lelaki yang telah merebutmu itu. Setelah itu, untuk menenangkan diri aku hanya berendam di tempat itu dan masih ditemani cahaya bulan sebelum akhirnya aku pulang tanpa kobaran api dalam diri yang siap mengganggu tidurku lagi.
Tetapi setelah seminggu, kau tahu tentang kejadian itu karena melihat wajahnya yang tersangkut di sungai itu. Kepalanya, tentu saja hal itu membuat heboh warga karena penemuan sebuah kepala tanpa tubuh di tempat mereka biasa mandi. Tetapi untungnya ketika polisi melacak pembunuh itu, tidak sama sekali tercium pelakunya.
Di bagian belakang kepalanya nampak sebuah bekas pukulan benda tumpul dan nampak luka bakar. Hal itu sama sekali tidak aku ketahui, apakah api dalam diriku itu juga turut andil untuk membakar kepala lelaki itu, aku tidak tahu. Semenjak itu kau duduk berkabung di pinggir sungai, bujukan keluargamu tak juga kau hiraukan. Kau memilih untuk menjadi patung di pinggir sungai itu.
Kau bukanlah malin kundang yang harus dikutuk menjadi batu, tetapi aku ingin mengutukmu untuk menjadi kekasihku untuk selamanya. Kau sempat mengatakan bahwa kau tak sungguh-sungguh mencintainya, tetapi setelah kulenyapan lelaki itu, kenapa kau berkabung sebegitu dalamnya?
Tiga bulan setelah kematiannya kau masih saja berkabung, ketika itu bulan yang cerah muncul lagi, kerisauan dan kemarahan lagi-lagi menunggangi tubuhku, Dek. Maafkan aku, aku tahu kau selalu berada di pinggir sungai itu tanpa rasa takut walau hanya ditemani lumut-lumut. Ketika itu api serasa membara lagi, kini sebilah pisau yang tak berkarat kuambil tanpa perintah dari otakku. Kini aku menuju sungai tempatmu berkabung dan siap mengajakmu menuju ladang dekat jurang yang dihuni beribu-ribu jenis bunga yang begitu indah lengkap dengan sinar rembulan di atas kepalaku. (T)