6 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Cerpen
Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

Lelaki Tanpa Kemaluan

Satia Guna by Satia Guna
February 2, 2018
in Cerpen
10
SHARES

Cerpen: Satia Guna

AKU tak mengerti dengan semua ini, hidup tanpa nafsu birahi, tanpa kebuasan binatang. Menjalani hari tanpa celana panjang jeans yang menyesakkan. Aku menelanjangi diri, melintasi ruang hampa tanpa kelaki-lakian. Hidup dimulai dari kekosongan. Penistaan baru saja dimulai.takdir dimulai, jam berputar kembali. Angin berdesir kembali. Dan daun kering mulai jatuh dari pohonnya.

Aku duduk di tempat ini lagi. Tempat yang kusebut ruang tamu, dengan bolam kecil sebagai pemecah kegelapan. Dan seonggok televisi serta sofa yang usang terpukul waktu. Aku menonton, hal yang paling membosankan dalam hidup, duduk membaca koran, minum kopi di depan televisi. Sembari menunggu lusinan pekerjaan yang takkan ada henti menggerogoti isi kepala yang sedang menyantap sebuah kebahagiaan.

Apalah aku, aku adalah seorang mahluk nista tanpa daya menghadapi dusta yang tiada tara. Ketika aku tertutup kain, tertutup sebuah kepalsuan. Aku mereka sebut laki-laki. Tapi aku masih merasa seperti sekumpulan daging yang bisa bicara dan berjalan.

Mereka sebut aku laki-laki karena aku berkumis, memiliki jakun, badan tegap dan berjalan seolah sekeliling hanyalah sampah. Tapi jika saja mereka tahu, aku hanyalah mahluk nista yang diciptakan Pengarang Yang Maha Agung. Mungkin mereka akan bersiap meludahiku dengan kebencian, dengan ketakutan dan menenggelamkanku pada dimensi keterasingan.

Apa yang salah dengan tubuhku, tentu takada bila aku membaluti diri dengan kain. Tapi saat aku bercermin dan menelanjangi diri sendiri. Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang tak diciptakan Tuhan. Itu adalah sebuah kehormatan bagi kaumku, bagi diriku tentunya, karena aku berbeda, karena aku terasing.

Ketika aku berenang atau sekadar berenang bersama kawan aku tak berani melepas sehelai kain dari tubuhku, itu sangat masuk akal karena aku takut mereka tahu bahwa ada laki-laki tanpa kemaluan seperti aku, seperti makhluk aneh ini. Dengan tanpa kemaluan aku berdiri untuk tipikal manusia yang tak memiliki sisi.

Mendekati wanita pun aku tak berani, apa yang salah, mereka juga mungkin menganggapku laki-laki yang normal dengan keadaan tubuh yang maksimal. Tapi tanpa segumpal daging itu, aku tak ada apa-apanya.

Tapi bukan hanya tanpa kemaluan, sifatku juga berbeda dengan lelaki kebanyakan. Mungkin kebanyakan lelaki sangat suka menggoda perempuan yang melintasi daerah kekuasaanya, tapi aku tidak, sama sekali tidak. Aku takut memanggil, menatap pun aku takut, apalagi memanggil dan menggoda. Ternyata aku baru sadar hanya tubuhku yang disebut laki-laki. Tapi jiwaku entah apa namanya.

Hidup penuh dengan penderitaan, ya penuh dengan penderitaan. Di mana waktu aku berada di Sekolah Dasar, ada yang disebut dengan tes urine. Lalu apa yang harus kukeluarkan, aku merasa cairan dalam tubuhku menguap tak mengalir keluar.

Setiap malam tubuhku terasa panas. Entah kenapa aku selalu berkeringat. Keringat yang mengucur deras. Lalu menguapkan bau pesing. Aku baru sadar keringatku bercampur dengan urine. Sungguh tidak masuk akal bukan? Tapi yang kurasakan sulit untuk kuungkapkan. Ya, perasaan seseorang tak pernah bisa dibaca ataupun diterawang, perasaan seseorang hanya bisa dirasakan, memang rasa harus bertemu dengan rasa.

Lelaki masa kini buas dan bernafsu seperti binatang. Gadis tetanggaku baru berumur 14 tahun sudah menikah akibat kebuasan lelaki. Ada apa dengan lelaki masa kini? Aku tak merasakan nafsu seperti kalian wahai kaum lelaki.

Pagi ini kuawali dengan berfikir itu lagi dengan segelas teh hijau yang dibawakan oleh temanku dari Belanda. Ia sangat cantik. Aku merasakan cinta. Ya, cinta yang berkepanjangan, sampai surat-surat yang ia kirimi dari Belanda kutempel di langit-langit kamar agar setiap hari bisa kubaca.

Tentu saja bisa kubaca, langit-langitku hanya setinggi 2 meter, jadi surat-surat itu bisa kubaca setiap hari dengan sempurna. Isi suratnya mengalir seperti puisi. Aku tak sadar kalau aku selalu bersyair setiap malam ditemani lusinan kertas merah muda yang selalu mengingatkanku padanya.

Mungkin perlu kuceritakan sedikit kepribadianku. Kepribadian yang sangat jauh dari dimensi kelaki-lakian. Entah apa namanya ini, mungkin aku, seperti kataku tadi hanyalah sebuah onggokan daging yang berjalan mengikuti alur hati. Aku adalah seorang laki-laki perasa. Berbeda dari laki-laki lain, yang mementingkan keangkuhan di atas segalanya. Sedikit keintiman berbahasa yang mungkin menusuk hatiku, sontak aku seperti prajurit yang kalah perang, penjudi yang kalah judi, aku lemas, remuk redam.

Hatiku tak bisa dibuai oleh pisau bahasa. Masih bisa kah kusebut diriku laki-laki? Mungkin belum. Mari dengarkan ceritaku lagi.

Kemarin malam aku melewati gang sempit di kompleks perumahan sebelah, di sana banyak kaum laki-laki berkumpul sembari menunggu para perempuan yang lewat lalu meneriaki, menggoda, mungkin sampai dicegat. Aku mulai berfikir dengan otak yang masih kumiliki, begitu hauskah laki-laki terhadap perempuan? Begitu maniskah perempuan lalu mereka telanjangi dan bersorak “horayyy”. Aku benci kaum laki-laki, begitu benci, benci sekali.

Ya aku berani mengatakan hal itu karena aku bukan kaum mereka, aku kaum nista yang dilahirkan Pengarang Yang Agung. Yang tak mengutamakan identitas diri, yang tak peduli dari kaum apa dan ras apa.

Aku terlahir tanpa kemaluan. Ya aku bukan aku, aku tak bisa disebut aku. Karena aku bukan terlahir dari ego, aku terlahir dari rasa yang dipendam Pengarang Yang Agung.

Kulanjutkan lagi tentang temanku yang dari Belanda. Ia adalah wanita yang anggun. Bagaimana rasanya menggambarkan wajah, mulai dari mana? Aliskah? Hidungkah? Aku hampir tak bisa menggambarkannya, membayangkannya saja senyum tipis diwajahku timbul sendiri.

Kemarin ia mengirimkan puisi lagi, isinya tentang kekangennannya padaku, tentang rindunya yang menggebu-gebu. Lalu di akhir kalimatnya yang melankoli ia mengatakan akan pulang ke Indonesia dan menetap di Indonesia dengan waktu yang cukup lama.

Aku menunggu kepulangannya, menunggunya di gubuk derita ini. Menunggunya dengan segelas teh yang kuaduk setiap hari. Aku tak lelah juga tak letih menunggu kepulangannya. Ia dijadwalkan pulang besok pukul 12.30 Wita. Aku menunggu perenungan yang mengalir ini. Tepat pukul 11.00 Wita kujemput ia tepat di balik pohon bintang, pohon di mana kita pertama kali jumpa.

Ia masuk ke pekaranganku menghadapkan berbagai keluh kesahnya di negeri seberang. Ia menenun, menjahit dan membordir rasa sakit yang selama ini ia rasakan. Pedih yang bertubi-tubi ia jumpai dan kegetiran yang tak kunjung ia usaikan. Ia membicarakan beribu pesakitan bersamaku sepanjang petang. Sembari mengaduk kopi yang ia buat sendiri dengan rasa penyesalannya datang ke negeri seberang. Lalu ia tertidur lelap. Menghadiahiku sepotong senyuman pengantar tidur yang menawan.

Keesokan harinya ia mulai bercerita lagi tentang jati dirinya, namun sebelum ia bicara ia menatapku dengan tajam dan menjentikkan satu jemarinya di sehelai rambut usangku. Ia mengatakan, “Kau tampan walau tanpa senyum, apakah hari-harimu selalu bahagia?”

Aku sontak terdiam, tertegun sembari menatap matanya yang masih lusuh, mungkin karena kelelahan setelah penerbangan yang jauh.

“Kau pikir aku bahagia?”

“Iya, tentu, pria setampan dan sependiam dirimu mungkin bahagia bukan?”

Bahagia katanya. Lelaki pendiam sepertiku ia bilang bahagia. Ia tak tahu bagaimana rasanya hidup tanpa jati diri.

“Kau pernah mendengar, lelaki yang tak memiliki jati diri?” tanyaku spontan.

“Pernah, pamanku dulu tak memiliki jati diri, ia seperti iblis, tak seperti laki-laki!”

“Pernah mendengar laki-laki tanpa kelaki-lakian?”

“Maksudmu?”

“Ya, tanpa kelaki-lakian!”

“Kemaluan maksudmu?”

Aku terdiam, mengapa dengan semua kode menyulitkan itu dia langsung gamblang menyebutkan kemaluan? Atas dasar apa dia bisa menebak hal itu? Atas dasar apa dia mengetahui itu, aku menghentikan pembicaraanku dengannya. Berusaha menutup semua mulut yang ada di dalam tubuh. Ya, tubuh memiliki semua mulut yang secara tidak sadar bisa memberitahu orang tentang apa yang ingin kita bicarakan.

Siang menjelang, ia membereskan semua barang-barang yang ia anggap perlu untuk dibawa, yang penting untuk dibawa. Ia menyisakan satu barang untukku, lagi-lagi sebuah surat kecil, mungkinkah itu puisi yang ia buat setelah percakapan kita tadi? Mungkin saja tinta pada kertas itu masih basah, masih penuh keringat dan hembusan nafasnya.

Isi suratnya adalah tentang undangan menuju tempat pertemuan dan perpisahan kita, iya pohon berdaun bintang. Pohon di mana kenangan bersamannya beradu membentuk sebuah gelembung sabun yang tak pernah pecah walau diterpa angin sekalipun. Gelembung itu hidup di dalam sini, di dalam onggokan daging yang tak memiliki jati diri ini.

Aku menemuinya saat petang menjelang, sebab kami selalu bertemu dan berpisah saat petang memandang. Bukan kami yang memandang petang. Tapi petang yang mengiri langkah kami menuju tempat ini. Ia membisu lalu diingiringi dengan derai air mata yang membasahi hampir seluruh pipinya yang lembut itu. Ia menangis. Bersedih, entah karena apa.

Aku menemaninya memandang bintang jatuh lalu dibarengi dengan daun bintang yang berguguran. Lampu taman tak begitu menyilaukan mata. Sedikit redup tapi menyinari, cukup untukku melihat kegelisahannya, melihat beban yang begitu terpendam di bilik hatinya yang terdalam.

Ia memandangku tajam, cukup tajam untuk membelah dadaku dan mengeluarkan isinya. Ia memegang tangan ku lalu berkata.

“Apakah kau ingin kujadikan laki-laki sejati?”

“Maksudmu?” dengan lantang aku balik bertanya.

“Menjadi ayah tepatnya, menjadi ayah bagi anak kita kelak?”

Aku masih belum mengerti, hatiku dingin, sedingin udara petang itu.

“Marilah kita nikah, aku tengah hamil!”

“Siapa Bapak dari anak itu, tak mungkin aku kan?”

“Ini memang bukan anakmu, bukan juga anaku. Ini adalah anak dari pohon bintang, pohon pertemuan dan perpisahan!”

Anaku adalah sebuah tanah liat, yang diciptakan Pengarang Yang Agung. Dibentuk menjadi sebuah tubuh. Lalu dihiasi dengan kayu api, dan dua kerikil sebagai matanya, lalu sepucuk padi untuk hidung, dan ilalang kering sebagai rambut. Tak lupa juga Ia memberinya kemahiran agar bisa bersosialisasi dengan sesama tanah liat. Itulah anaku. Yang tercipta dari diriku sendiri. (T)

Tags: Cerpen
Satia Guna

Satia Guna

Lelaki pendiam yang selalu bikin kangen, terutama dikangeni teman-temannya di Komunitas Mahima. Suka main teater, suka menulis puisi, esai dan cerpen. Kini juga melukis.

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi diolah dari gambar Google
Cerpen

Bagaimana Surat Pertama Ditulis | Cerpen Rudyard Kipling

by Juli Sastrawan
March 3, 2021
Sumber foto: google
Peristiwa

In Memoriam Wayan Tarma: Mati Drama Gong, Hidup Dolar

Pelawak drama gong, I Wayan Tarma (62) yang terkenal dengan nama Dolar, meninggal Sabtu (9/7) sekitar pukul 05.30 Wita. Ia ...

February 2, 2018
Foto: Putik
Ulasan

Mabuk di Dalam Puisi – Ulasan Buku “Montase” Wayan Jengki Sunarta

Judul: Montase (Kumpulan Puisi) # Penulis: Wayan Jengki Sunarta # Penerbit: Pustaka Ekspresi # Tahun: 2016 # ISBN: 978-602-7610-73-6 PUISI ...

February 2, 2018
Foto: Dok Komunitas Mahima
Opini

Teater Menyepi Tak Cuma Denpasar, di Bali juga, Jong! Tapi Tunggu Dulu…

MENELISIK apa yang  telah disampaikan oleh kawan saya, Santiasa Putu Putra dalam tulisannya di tatkala.co, 3 Januari 2017 dengan judul ...

February 2, 2018
Topeng Rahwana
Esai

Menafsir Ramayana: Di Srilangka, Rahwana adalah Pahlawan

RAMAYANA seperti ditakdirkan lahir untuk ditafsir. Ke mana pun ia menyebar, di sana ia “bermutasi” menjadi versi tersendiri. Tak terhitung ...

February 2, 2018
Khas

Berat Hati Meninggalkan, Berat Muatan Harus Diantar | Gesah Supir Truk #1

Banyak pekerjaan yang menguras tenaga. Tapi menjadi supir truk, selain menguras tenaga, juga menguras perasaan.    Saya sendiri tidak secara ...

January 30, 2021

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Ketua Tim Literasi SMAK Harapan, Ni Putu Nuratni, M.Pd. dan Kepala Sekolah SMAK Harapan, Drs. I Gusti Putu Karibawa, M.Pd.
Kilas

Kupetik Puisi di Langit | Buku Puisi dari SMAK Harapan

by tatkala
March 5, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
ILustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

Saṃpradāya Kuno Sampaikah ke Nusantara?*

by Sugi Lanus
March 4, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (157) Dongeng (11) Esai (1422) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (198) Opini (480) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (337)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In