Cerpen: Diah Naraswari & I Putu Agus Phebi Rosadi
/1/
Pukul tujuh malam aku sampai di Bandar Udara Internasional Cointrin Jenewa. Aku bergegas menuju terminal kedatangan. Hiruk pikuk orang-orang yang tengah menunggu sedikit melamur pandang. Penumpang pesawat yang tengah kami nanti telah tiba. Aku beranjak dari tempatku duduk dan bergabung ditengah kerumunan. Kuangkat papan putih bertuliskan nama Itoru. Beberapa orang mulai memisahkan diri seperti lebah meninggalkan sarang. Mereka yang ditunggu telah datang. Seorang lelaki menghampiriku. Ia tinggi. Putih. Bersih dengan mengenakan kemeja biru muda. Ia muncul tiba-tiba menyingkap kerumun.
“Halo nona, maaf membuatmu menunggu lama.”
Lelaki itu tersenyum padaku. Selama sepersekian detik aku diam, mencoba memastikan tentang sosok yang tengah berdiri di hadapanku.
“Namaku Itoru,” ujar pria itu ramah sembari mengulurkan tangannya.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya.“Selamat malam Tuan Itoru, selamat datang di Swiss.”
Sifat khas orang timur benar-benar lekat pada Itoru. Keramahan yang ia tunjukkan membuat perjalanan kami menuju hotel malam itu menjadi tidak membosankan.
“Aku punya waktu satu minggu di kota ini, Ihara. Ada banyak hal yang ingin aku ketahui. Aku hanya mengenal Jenewa, jantung negara ini dari novel Mary Shelley.
“Frankenstein,” jawabku singkat.“Itu cerita yang menyeramkan.”
“Seperti dugaanku, kamu memang pemandu dengan segudang pengetahuan. Tapi aku yakin kota ini tidaklah menyeramkan.” Itoru menatap mataku.
Itoru bergegas turun dari mobil. Lambaian tangannya di depan L’Hotel de France mengakhiri pertemuan kami malam itu.
/2/
Seusai pertemuanmu antar karib Astronom di Zurich, kita menembus hujan menuju Janewa. Sembari menyetir, kau menawariku berenang di Bains des Paquis atau melihat hujan turun di tengah danau Janewa yang menggenang seperti bulan sabit.
“Lake of Ganeva,” kataku. “Aku tertarik dengan letup warna air dari pinggir danau.”
Maka kita lekas bergegas. Kau mengajakku menepi di sebuah kafe. Hanya ada satu pengunjung saat itu. Seorang perempuan yang berlaku sedikit aneh. Di sudut kanan mejanya ada sebuah kotak musik klasik yang berulang-ulang memutar Suite The Planets milik Gustav Holst. Kuperhatikan bibirnya menggumamkan nada-nada dengan artikulasi yang tidak jelas. Wajahnya seperti tenggelam dalam kelam. Setelah menghabiskan kopinya, perempuan itu mendongak di jendela dalam waktu yang cukup lama. Ia seperti melakukan hal yang sia-sia. Tapi bukankah hal sia-sia kadang juga menjadi bagian dari kebahagiaan manusia? Sedangkan kami berada di meja yang lain, menebak-nebak apa yang tengah bergemuruh di dada perempuan itu.
“Bila kamu beruntung, hujan yang jatuh sejak sore tadi mungkin saja akan reda di malam hari. Langit akan cerah dan beberapa bintang akan tumpah dan memamerkan nyalanya. Dari sini kau akan melihat bintang hujan. Bintang itu adalah Proxima Centauri yang berubah bentuk seperti kerlip bunga lily. Hujan membuat cahaya terlihat seperti tidak stabil dalam waktu yang berbeda. Karenanya, hanya selepas hujanlah bintang itu akan berbentuk bunga lily. Bila kau perhatikan, Brown Dwarf yang setia menempel di sampingnya dan para bintang masif usia menengah juga sisa dari bintang masif yang sudah mati membentuk kelopak yang sangat indah,” jelasmu sembari mengaduk cappucinno dalam cangkir. “Di sana, awan kosmik gas dan debu adalah palung kelahiran bintang hujan dan kau akan melihatnya, Ihara. Bila kau beruntung. Sebab intensitas pancarannya tak akan lama. Kira-kira hanya empat detik.”
Kau menatapku sejenak kemudian mengepak telunjuk ke arah bujur utara danau.
Kupincingkan mata dan kupandang tepat di arah telunjukmu.
“Tapi aku tak beruntung. Sebab aku hanya melihat bintang-bintang berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran,” ujarku.
“Itu adalah keberuntungan yang lain, kau sedang melihat posisi bintang sempurna,” sahutmu.
“Seperti kata Kepler? Astronom berwajah keriput itu memang pandai dalam segala hal. Tapi tidak tentang hidup. Aku yakin dia tidak tahu bentuk sempurna dari hidup. Bagaimana denganmu, tuan ahli Fotometri? Apa kau tahu?”
“Cinta,” jawabmu. “Cinta akan mengumpulkan partikel hidup dan menyatukannya. Tapi sekaligus akan menghancurkannya kemudian. Tapi cinta yang bagaimana? Aku sendiri tak paham, barangkali itulah hal yang tak harus dipecahkan.”
Jawabanmu memukulku. Aku menyudahi pengamatan dan mengajakmu kembali meringkuk di sebuah sudut dan menyiapkan sebuah perpisahan. Tapi dengan berat hati kau menyudahi pertemuan itu dengan sebuah janji bahwa kau akan bekerja dan menetap di sini.
“Secepatnya, Ihara,” ujarmu mengakhiri. Kau memandangku dengan sangat manis dan itulah saat pertama aku mulai mencintaimu, Itoru.
Kita meninggalkan kafe dengan beberapa obrolan yang tak selesai, juga teka-teki tentang siapa perempuan yang sedari tadi diam di sudut. Mestinya kita berbicara lebih banyak dan memecahkan teka-teki itu. Tapi kita terlanjur meninggalkannya tanpa sempat bertanya. Kita hanya bisa menebak-nebak bahwa mungkin saja perempuan tua itu akan berlaku demikian dalam jangka waktu yang lama.
/3/
Hari ini genap empat tahun pertemuan kita, Itoru. Aku menepi di sebuah kafe dan perempuan yang wajahnya tenggelam dalam kelam masih setia duduk di pojok kafe. Di sebelah kiri mejanya, ada buku yang masih terbuka. Kupikir perempuan tua itu baru saja selesai membaca setengahnya dan tak ingin melanjutkannya lagi. Sementara Suite The Planets masih mengalun dari kotak musik dengan nada ritmis.
Kuperhatikan sejenak dari bibirnya keluar nada-nada yang kurang jelas artikulasinya. Perempuan itu melihat ke keluar jendela setelah menghabiskan kopinya. Ada beberapa bekas kopi di bibirnya. Dengan segera bilas dengan telunjuk kemudian mengecup ujung telunjuknya. Sedikit menjijikkan. Tapi begitulah kebiasaan perempuan tua itu. Kini ia mulai melempar pandangan jauh, seperti terhisap genangan air bulan sabit. Semua sama persis seperti empat tahun lalu. Bedanya kau tak bersamaku, Itoru. Padahal aku sudah mendapatkan jawaban atas teka-teki saat kita meninggalkan kafe ini.
Perempuan tua itu adalah nyonya Rosenda, ibu dari pemilik kafe ini. Seorang ahli Astronomi yang sama sepertimu. Dia sedang menunggu seorang lelaki yang kerap mengajaknya melihat ke luar jendela tepat di depannya dan memberinya cerita-cerita picisan tentang mitos sebuah danau. Katanya, meskipun picisan, lelaki itu selalu berhasil membuatnya percaya. Seolah-olah apa yang meletup dari bibir lelaki itu benar-benar absah. Itulah sebabnya mengapa perempuan itu masih menaruh hati padanya. Tapi sampai sekarang, lelaki itu tak pernah datang lagi. Selamanya.
Hari ini aku sangat ingin menemuimu, Itoru. Melihat sepasang matamu. Menikmati hembusan nafasmu. Atau menghirup aroma salju tubuhmu. Tapi kamu tak akan kembali ke tempat ini setelah sepucuk surat kau tinggalkan: tentang seorang perempuan yang tengah mengandung buah cinta kalian berdua.
Gerimis dengan kabut dan angin dingin menyekap kami. Aku menahan perih. Kudongakkan kepala di jendela. Ada bulan menggantung samar, dengan beberapa hias pendar bintang. Tapi tak kutemukan bintang hujan yang berbentuk seperti bunga lily yang kau ceritakan. Sekarang aku tahu waktu itu kau benar-benar berbohong. Tapi aku selalu menyukai malam yang seperti ini dan mengenang bahwa kau pernah di sini. Bersamaku.
Sejak hari itu, Itoru. Sejak kau mulai memilih tinggal di rumahku ketimbang hotel. Wajahmu selalu hadir dalam pagiku. Aku menikmati tujuh pagi ketika mataku terbuka, kamu ada disampingku. Lalu aku beranjak ke dapur dan menyeduh secangkir kopi. Ketika aku kembali ke kamar dengan cangkir mengepul di tanganku, kaupun menyambutku dengan pelukan.
“Gueten morgen, Itoru.”
“Ohayō, Ihara.”
Setelah sapaan itu, kau merasa beruntung menjalani pagi bersamaku. Sedang di negaramu, kau harus menyiapkan beberapa peralatan kerja yang ribet. Hampir tak ada waktu untuk menghirup aroma kopi pagi. Kau harus menuntaskan pekerjaanmu dalam paruh hari. Setiap hari. Jam kerja di kantormu seperti kusir. Sekarang sudah beberapa pagi aku tak lagi memasak. Aku selalu rindu sarapan kita bersama: setelah secangkir kopi, kita kemudian membukanya dengan beberapa potong kue kecil dengan taburan coklat hangat di atasnya. Lalu kita mengobrol tentang apa saja. Tentang keinginanku untuk menikah secepatnya. Juga tentang keinginanmu kembali ke tempat ini secepatnya.
Sekuat apapun aku berusaha menepis semua tentangmu, sekuat itu pula kamu hadir. Aku ingin menemuimu lagi. Bukan untuk mengulang apa yang pernah kita lewati bersama. Itu tentu hal yang mustahil dan aku menyadarinya. Aku hanya ingin sekadar berbaku sapa denganmu, Itoru. Berbicara tentang bagaimana hidupmu setelah kita tak lagi bersama. Masihkah kau menyukai pagi di tempat ini? Seberapa sering kamu merindukanku? Atau bahkan mungkin kamu tak pernah mengingat sedikitpun? Entahlah. Pertanyaan itu cukup hanya berputar-putar saja di kepalaku. Tanpa pernah tau kapan akan menemukan jawaban. Tanpa pernah tau apakah kamu masih mau menemuiku atau tidak.
Aku selalu membayangkan sedang duduk di kursi dekat dengan jendela yang menghadap ke danau. Dengan kedua tanganmu kemudian kau akan menyentuh pipiku lembut.
“Kita akan bersama,” ujarmu kemudian mengecup keningku.
Betapa bahagianya aku. Tapi kau terlanjur membuatku menunggu di tempat ini. Barangkali selamanya.
Dingin masih melingkup di luar. Kucari bintang hujan yang kau ceritakan sambil mencoba membalas suratmu. Isinya masih tentang permintaanku yang tak pernah usai. Aku ingin menemuimu secepat mungkin dan meminta alasan mengapa bentuk sempurna dari hidup adalah cinta.
Di luar langit gelap dan bergemuruh sementara angin dingin tak henti mengetuk tulang rusukku. Persis seperti waktu itu. Setelah tugas dari negaramu selesai. Kau harus pulang dan memaksaku untuk menunggu. Selamanya. Seperti perempuan tua yang masih mendongak di jendela. Wajahnya tertegun dan nampak sedang menemukan sesuatu dan tiba-tiba berkata padaku, “Di sana ada nebula Gabriela Mistral, orang-orang menamainya karena garis-garisnya mirip dengan wajah penyair Chili itu.”
Ia memincingkan mata.
”Bintang-bintang baru dilahirkan di sana. Bola gas yang berpijar dengan hidrogen sebagai elemen paling berlimpah. Tapi, sayang, keindahan di langit yang sedang kita lihat adalah cahaya masa lalu. Kita juga sebenarnya adalah masa lalu. Hanya saja kita terlambat untuk menyerah pada asumsi mengenai masa lalu. Cahaya sampai ke Bumi menjelma bias, mereka harus memutuskan apakah akan berperilaku seperti partikel atau gelombang ketika mereka menabrak sebuah dinding udara dan itu memerlukan waktu yang lama,” katanya lagi.
Aku mengangguk seraya turut melihat bintang yang ia maksud.
“Ya, kita adalah masa lalu yang sedang terjebak masa lalu?”
“Begitulah. Kalau dijelaskan akan panjang sekali. Mengapa kamu sering datang kemari?” tanya perempuan tua itu.
“Ada yang sedang kutunggu.”
“Seorang lelaki?”
“Benar. Sampai sekarang dia belum datang. Bahkan mungkin tidak akan pernah datang. Selamanya.”
“Tempat ini bukanlah tempat yang baik kiranya untuk jatuh cinta. Tempat ini seperti pusar waktu sideris. Segala hal akan seperti dihitung dengan putaran balik. Meskipun suatu hari, di sini, seorang lelaki pernah bersamamu. Tapi kenyataannya, kita sedang dalam keadaan sebaliknya.”
Kulihat mata perempuan tua itu lebam. Kali ini kesedihannya nampak semakin dalam. Dan di tempat ini, aku masih menunggumu, Itoru. Bersama perempuan tua itu. Ia menyimpan rahasia, sementara aku menadah luka. Sekarang kami sama-sama bersedih. (T)