Cerpen: Ni Kadek Desi Nurani Sari
Dongeng-dongeng akhirnya pulang ke tutur kompyang. sesaat sebelum pagi menunjukkan diri. Lalu hari-hari memulai cerita-cerita baru lagi. Segala yang hilang hanya kembali pulang, esok akan datang, segala bisa tetap terkenang.
KERTAS ulangan, buku latihan, kotak pensil dan segala macam isinya telah rapi ia masukkan ke dalam tas gendong sekolahnya. Barisan bangku, ruang-ruang kelas, lapangan upacara, kantin sekolah, telah lebih dahulu merapikan diri membiarkan diri bersih dari segala macam keriuhan jam sekolah yang harus dilalui.
Tempat ini, lebih mirip rumah tahanan yang memaksanya menyita kebebasan ia dan teman-temannya. Begitulah, kini ia bisa menarik nafas lega, menyelamatkan diri segera dari seragam sekolahnya yang esok pagi kembali harus menjadi sekat antara mimpi dan kenyataan yang dihadapinya.
Masih pukul sepuluh pagi, kira-kira hampir menuju arah jam sebelas. Tidak terlalu terik untuk pulang menyusuri jalan perkampungan menuju rumahnya yang terletak di ujung timur batas kampung. Melangkah, melewati pagar sekolah antara jalan beraspal dan jalan semak belukar yang menawar langkahnya di depan mata ia berhenti kemudian tak begitu lama sebelum memutuskan.
Akhirnya, setelah beberapa kali menghitung jarinya sebagai keyakinan akan nasib baik jalan yang harus ia putuskan, pada jari kesepuluh ia mengambil langkah menyusuri jalan bersemak yang setia meninggalkan kenang-kenangan dari pohon berduri pada rok merahnya yang berenda.
Sama saja baginya jalan beraspal atau yang dipenuhi belukar, jika jarak menjadi perhitungannya. Jika ia pulang melalui jalan aspal, ia akan terasa aman, sepatunya akan tetap bersih dari debu musim panas yang lama sekali tak mengairi perkampungannya. Rumput-rumput hampir tandas mengering, angin utara yang berangkat membawa hangat laut membangunkan satu persatu debu tanah. Jalan aspal itu akan cukup menyelamatkan sepatu baru yang ia beli satu minggu kemarin sebagai hadiah kenaikan kelas dari ayahnya.
Masalah sepatu bukan masalah besar baginya, ia tahu esok masih bisa dibersihkan lagi dengan beberapa wangi sabun yang akan membuatnya terlihat tetap baru. Lebih dari itu, ia malas harus mendengar beberapa kali klakson mobil atau bel sepeda motor dari pengendara yang merasa dihalangi jalannya. Hal lain, gadis itu berencana akan bertemu seseorang yang menjanjikannya sebuah akhir dari cerita yang belum selesai didengarnya malam kemarin.
Ia bergegas, berjalan lebih cepat, terasa sedikit agak berlari, meski tersangkut beberapa kali sepatu barunya pada ranting pohon, ia mengabaikannya dan terus melangkah lebih cepat.
Hampir setengah jam perjalanan ia lalui sebelum akhirnya sampai di rumah yang ia tuju sebagai alasan jalan semak ini ia pilih. Karena beberapa kali sempat berhenti memanjat buah liar yang tumbuh untuk mengganjal lapar perut dan dahaga yang ia tahan sejak bel pulang tadi, akhirnya ia harus sampai lebih lama.
Ia kemudian berhenti pada jarak kira-kira lima sampai enam meter jauhnya dari jarak rumah di depannya. Kedua tangannya masih memegang buah kalak yang merah memar setengah tergigit. Ia memperhatikan rumah itu terlihat ramai.
Satu langkah kakinya mulai bergerak ragu-ragu. Ia urung dan melangkah lebih mundur dari posisi sebelumnya. Tak ada yang tahu gadis itu berdiri di sisi itu. Ia kemudian memutuskan diam, menyandarkan dirinya pada sebatang pohon kelapa yang agak ramping untuk mengintip percakapan orang-orang di rumah itu.
Gadis itu merasakan sesuatu yang tak wajar pada rumah itu, orang-orang bicara sangat pelan, hening. Tak ada kegaduhan. Itu berarti tak ada pertengkaran di sana. Ia menarik nafas, merasakan sedikit rasa lega. Sampai salah seorang kemudian bicara terdengar agak keras dari yang lainnya.
“Syukur pula akhirnya ia bisa menyelesaikan dengan tidak begitu merepotkan dan terlalu lama,”.
Gadis itu mencoba lebih mendekatkan diri, tetapi tubuhnya terperosok jatuh pada gundukan tanah dengan beberapa ranting yang membawa suara renyah memecah percakapan orang-orang dari arah rumah. Orang-orang menoleh ke arah gadis itu. Ia kemudian terbangun dengan gugup. Merasakan malu bercapur takut akan ia dicurigai sesuatu.
Segera berdiri, kemudian ia bersihkan kotoran pada baju. Perempuan yang bicara tadi, ia mengenakan baju warna hijau menoleh paling keras lalu segera memanggil gadis itu.
“Warini, kemarilah. Kenapa diam di sana?”
Gadis itu semakin gugup. Seperti salah bertindak dan tidak bisa mengambil keputusan yang selanjutnya harus ia laukukan.
“Kemarilah. Kompyangmu memanggil. Ke sini jangan takut.”
Wanita itu dilihatnya seperti mengancam dengan bujukan yang Warini tahu memiliki tipuan. Warini gugup mulai menunjukan ketakutan. Perempuan tadi yang memanggilnya melangkah mencoba menjeput Warini segera. Warini lari, lari kencang menuju arah jalan pulang. Sangat cepat. Ia tahu ada yang tidak bisa ia percayai dari apa yang ia lihat dan tidak bisa ia tahu dari apa yang sudah ia dengar.
Langkahnya masih sangat cepat. Meski pintu rumah sudah selangkah lagi ia tetap menghentakkan kaki keras dan cepat menuju kamar tidur yang langsung dipeluknya bantal dan menjatuhkan tubuhnya di kasur.
Warini menangis terisak. Isakannya terdengar keras hingga menghentikan suara kelapa yang diparut ibunya dari arah dapur. Di tangan ibunya masih tersisa bekas parutan kelapa yang sebelumnya hanya dibersihkan pada daster. Ibu segera merangkul Warini yang berurai air mata.
“Ada apa menangis sepulang sekolah?” Ibunya tampak khawatir dan cemas. “Apa sesorang menyakitimu, ada yang memukul atau kamu berkelahi?”
Warini masih dalam tangisan dan isakannya yang keras. Sebisa mungkin Warini ditenangkan ibunya. Sambil mencoba mencari tahu kenapa putrinya menangis, ia mengelus kepala Warini dan bertanya jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Apa seseorang menyakitimu?”
Tangisan itu masih terdengar, tetapi kini lebih pelan, beberapa kali segukan keras keluar dari bibir Warini. Segukan itu menghalangi kalimat-kalimat yang diucapkan anaknya. “A…aa..k..u…dibohongi.”
Ibunya terus mencoba menenangkannya.
“Kompyang…rumahnya, banyak orang.”
Ibunya tak begitu dapat menangkap jelas apa yang sesungguhnya terjadi.
Tangannya tetap membelai rambut Warini, sampai semua terasa berhenti, pagi hari seperti warna matahari baru yang membawa merah dan biru di mata gadis itu. Tangan ibunya terasa masih membelai, semakin lama semakin menipis, terasa ia semakin jauh dari suara, dari segala, tubuhnya meringan, semua menjadi terasa damai. Tenang.
***
ott cunaide no mici wo oyu keba
ming enang ko wa i koto ri mi n ate
utau uta e ba kutsuna naru
ott cunaide no mici wo oyu keba
ming enang ko wa i koto ri mi n ate
utau uta e ba kutsuna naru
Suara yang tua menembang, menghapiri mendekatkan setiap baitnya mengalir bersama nada yang sayup-sayup terdengar seperti pelukan kangen yang membangunkan seribu kenangan dalam hati.
Mata Warini mulai terbuka pelan. Ia mendengar sayup tembang asing pada telinganya tetap mengalun, lalu ia temukan dirnya tengah terbaring, baru saja terbangun dari istirahat yang nyenyak, tak bermimpi dan ia terbangun dengan bahagia. Sembari mengusap pelan sisa kantuk pada wajahnya, ia menggoyangkan kakinya perlahan di bibir tempat tidur kayu yang mulai renta.
ott cunaide no mici wo oyu keba
ming enang ko wa i koto ri mi n ate
utau uta e ba kutsuna naru
Warini mengulang lagu dengan fasih, dan tembang dari suara tua itu berheti. Warini menghentikan pula nyanyiannnya. Ia tersenyum lebar, berlari memeluk perempuan tua di hadapannya yang sibuk menjahit sarung bantal. Perempuan itu membelai rambut Warini.
“Lagu apa yang baru saja kau nyanyikan, kompyang?”
Ia tak melepaskan pelukan, ia menyampaikan rasa penasarannya.
***
“Lagu itu tak pernah selesai bernyanyi di telinga. Sekali ia berhenti, hari itu segala pasti telah kutinggalkan semuanya. Kelak saat kau menyadari tubuh dan pikiranmu mulai terasa rumit, memperhitungkan banyak hal yang tiada pernah kau pikirkan hari ini, menumpuk banyak ketakutan dan keragu-raguan akan segala yang kau harapkan di sana kau akan paham ada satu hal yang membuat kau tetap hidup dari sekian pertemuan yang telah kauhadapi sebelumnya.”
Kompyang mulai bicara. Sementara Warini tak jua melepaskan pelukannya, tak memberi jawaban atau pertanyaan kembali, sebab semua yang ia dengar terasa rumit.
“Penangkap udang yang pernah kuceritakan padamu, kau ingat sayang? Ia juga telah tumbuh dewasa jauh sebelum kau ada. Tetapi kau tetap merasakan ia adalah anak-anak sebatang kara yang memasang bubu di pinggir sungai kampung kita sebagai rumahnya. Di musim apa, ia tiada tahu udang-udang kan datang padanya atau tidak. Ia tetap memasang bubu. Satu-dua udang yang tertangkap, ia tawarkan ke rumah-rumah warga. Menukarnya dengan uang atau benda lain yang bisa mengisi perutnya hingga kenyang. Kau juga bertanya, pernahkah ia datang ke rumahmu.
Tentu saja, ia selalu menawarkan udangnya kali pertama pada ninikmu. Warini sayangku, setiap kali kuulang cerita kau tidak pernah bertanya berapa usianya kini. Ia tetap menjadi anak-anak dalam pikiranmu bukan?”
Warini mengangguk pelan. Mereka berdua mulai melangkah menuju tempat tidur kayu dan melanjutkan cerita. Di luar hujan turun gerimis. Kompyangnya memulai kembali.
“Demikianlah Warini, nyanyian itu tetap suara anak-anak yang tinggal di kepalaku menjadi kerinduan yang membuatku tidur dan memberikan mimpi yang baik, atau sesekali mimpi itu menjadi waktu pengingat bangun tidurku.”
“Ke mana perginya anak-anak yang bernyanyi itu?” Warini mencoba ingin tahu. “Dapatkah aku bermain bersama mereka?”
Kompyangnya tersenyum, memulai bicaranya lagi sambil mengelus perlahan rambut Warini.
“Aku sudah memperkenalkannya padamu, esok kau akan memilikinya untukku. Kau hanya perlu merawat nyanyian itu. Aku tiada pernah bisa mendewasakan mereka semua. Kelak kaulah yang sanggup memberinya kehidupan yang benar-benar tumbuh.”
“Apa yang kau ceritakan padaku sebuah dongeng, kompyang? Kenapa ia tidak bisa kumengerti seperti dongeng-dongeng sebelumnya? Tentang wanita yang memberi begitu banyak ular di kampung kita karena buah pernikahannya dengan ular raksasa, atau seorang gadis baik yang merawat anak tikus dan dihadiahi banyak perhiasan mewah.”
“Ini kisah cucuku, ia sangat panjang, kau akan mengerti setelah sampai pada ujung cerita. Ini hanya bagian awal yang perlu belajar kaudengarkan saja. Kisah-kisah sebelumnya akan tetap hidup dalam dirimu, tetapi mungkin dunia akan menenggelamkannya kecuali kau bisa menjaganya dengan baik selagi aku tak bisa lagi menceritakan sebelum kau berangkat tidur. Tentang anak-anak yang menyanyi itu, Warini, ia adalah kerinduan kedewasaanku, kerinduan setiap ibu, kebahagiaan setiap pasangan. Sama halnya rasa bahagia dan rindu ayah atau ibumu ketia ia memilikimu. Mereka akan kangen saat kau berlama-lama kurebut.”
***
Satu minggu berlalu setelah cerita yang merumitkan pikiran Warini itu, Warini berencana bermain kembali ke rumah kompyangnya. Ia rindu didongengi, harapannya ia mendapat kisah baru yang akan membuatnya tidur nyenyak lagi.
Pulang sekolah, ia berangkat menuju rumah kompyangnya yang hanya beberapa langkah dari pagar sekolah. Ia menemukan rumah itu kosong, semua peralatan masih utuh tapi sepi sekali. Warini memberanikan diri bertanya pada tetangga sebelah rumah.
Kompyang sakit. Ia harus dirawat dan dipindahkan ke rumah anak tirinya yang agak jauh dari pusat perkapungan. Rumah itu harus melewati banyak semak. Malam hari tiba, Warini berangkat menemui kompyangnya. Perempuan tua itu, ia nampak tidak berdaya, tubuhnya terbujur lemas di tempat tidur. Warini hanya mengelus kakinya yang sedang tertidur.
Dari cerita menantu anaknya pada ibu Warini, sudah sejak kompyangnya sakit ia tak mau makan. Hanya minum teh hangat saja. Beberapa kali kompyang selalu menanyakan Warini. Warini mencoba menggoyangkan tubuh kompyangnya.
Sekali saja, sambil berbisik Warini mengatakan kedatangannya, kompyangnya terbangun. Ia memberi senyum yang sangat puas dan memeluknya. Dengan suara berat perempuan tua itu ingin trahu bagaimana kabar Warini seminggu ini yang tak ia temui.
Perempuan tua itu mulai membisikan sesuatu pada Warini, ia menyampaikan kisahnya yang belum selesai. Warini mengiyakan, sambil memegang tangan kompyangnya. Warini mulai mendengarkan cerita kembali. Nada yang pelan, seperti tertahan, kisah yang belum selesai tersampaikan mulai diceritakan kembali.
***
“Seorang lelaki membawa anak-anak yang bernyanyi itu pergi, Warini. Ia membawanya bersama segala rasa cintaku ke sebuah rumah yang ia rahasiakan dari semua orang. Ia meninggalkan aku pada sebuah bulan yang bahagia, tepat ketika semua orang merayakan dunia dengan hingar-binar sebagai penyambutan tahun yang baru.
Ia menghilang, meninggalkan selembar potretnya dengan pesan singkat. Ia mengatakan anak-anak yang bernyanyi itu membawanya lebih dahulu ke rumah rahasia kami. Aku hanya perlu menunggu dan bersabar untuk hidup bersama-sama tanpa pertanyaan atau kutukan dari keyakinan dunia. Setengah dari potret lelaki yang kucintai itu sudah termakan hujan, aku hanya melihat cintanya yang utuh bernyanyi bersama anak-anak itu pada telingaku setiap saat.
Cucuku sayang, kau tiada lahir dari rahim seorang pun anak-anak yang bernyanyi itu. Tetapi kau memberi cinta mereka semua yang menungguku di rumah rahasia.”
***
Warini menangis, ia memeluk perempuan tua itu erat sekali. Warini menyandarkan kepala pada tangan kompyangnya. Dalam sekali, malam seperti menenggelamkan percakapan mereka berdua hari itu. Warini merasa tubuhnya diguncang-guncangkan. Sisa air matanya terasa lengket menyekat kelopak matanya.
Ibunya menggoyangkan tubuh Warini yang masih berseragam, hari telah sore. Seragam sekolahnya yang ia bawa berlari sejak pagi tadi masih melekat erat bersama debu pada tubuhnya yang mungil.
“Kita akan berangkat ke rumah kompyang, gantilah pakaianmu.”
Warini bergegas berganti pakaian, sepanjang perjalanan ia mencoba mengingat peristiwa terbangunnya ia dari tidur yang berseragam. Tetapi sebelum berhasil ingatan memberinya jawaban, ia melihat laju sepeda motor ibunya jauh ke arah timur meninggalkan desa.
Berhentilah roda motor mereka pada sebuah jalan penuh keramaian. Tangan Warini dipegang erat oleh ibunya. Semua orang menatap Warini penuh prihatin, lalu beberapa kali orang mengelus dada Warini mengatakan. “Sana, lihatlah kompayngmu sudah menunggu.”
Menantu kompyang menyerahkan selembar potret, wajah kompyang. Menyingkir seluruh tubuh di hadapan Warini. Sebuah makam, Rumah rahasia yang membawa nyanyian anak-anak bersama cinta seorang lelaki lengkap bersama kompyangnya kini. Dongeng-dongeng akhirnya pulang ke tutur kompyang, sesaat sebelum pagi menunjukan diri.
Lalu hari-hari memulai cerita-cerita baru lagi. Segala yang hilang hanya kembali pulang, esok akan datang, segala bisa tetap terkenang. Nyanyi anak-anak itu kini hidup dalam diri Warini, pada kedua telinganya setiap saat yang harus ia rawat hingga dewasa dalam kedewasaannya. (T)
Singaraja, 07 Desember 2016