Cerpen: Yoyo Raharyo
SUKRI masih duduk termenung di beranda rumah sepupunya, di sebuah desa yang tenang di Kota Air. Sore itu, lelaki 45 tahun ini membayangkan kembali kejadian seminggu lalu ketika seseorang bersama tetangga yang baru ia kenal, serta petugas keamanan adat, tiba-tiba datang ke rumah kontrakan yang ditinggalinya di Kota Pelangi.
Seseorang ini adalah pemilik kain yang dia curi enam bulan lalu. Karena kejadian itu, dia memilih jadi buronan polisi, ketimbang menyelesaikan secara baik-baik. Sukri juga tak berani pulang ke rumah aslinya di Kota Apel. Pikirnya, kalau itu ia lakukan, sangat mudah bagi polisi melakukan penangkapan.
“Pak,” seru Sutinah mengejutkan lamunannya. “Sampai kapan kita begini?”
Usai tergeragap, ia berkata: “Tak tahulah. Mungkin untuk sementara kita begini dulu, sampai kita cukup aman.”
“Tapi, kapan, Pak? Uang kita sudah menipis. Kalau Bapak terus sembunyi, diam begini saja, kita ndak enak sama sepupu kita. Malu Pak, jadi benalu,” katanya nyerocos.
“Sabar dulu, Bu. Aku juga belum bisa mikir.”
***
Sejak setahun lalu, kondisi perekonomian negeri memburuk. Dampak dari krisis ekonomi global yang melanda berbagai negeri. Sukri kena dampak. Ia gelisah karena pembeli sepi. Pelanggannya pun jarang yang datang ke tempat usahanya, di depan sebuah lapangan sepakbola, diapit sejumlah sekolah dan perumahan.
Sebelum masa paceklik, ia bisa menyelip daging sapi sebanyak 2 kilogram ditambah 2 kilogram daging ayam setiap hari. Buruknya daya beli masyarakat membuat dia terpaksa hanya menyelip separonya saja. Itu pun, kadang tidak habis terjual. Dijual kembali keesokan harinya, atau dibagikan kepada tetangga bila tak mampu terjual lagi. Terlalu lama tak laku, bakso pasti basi.
Di sisi yang lain, sang istri, Sutinah sedang mengandung anak kedua dari perkawinannya yang sudah berlangsung 14 tahun. Kalau ekonomi baik-baik saja, pikirnya, tentu dia tak perlu harus berpindah-pindah terus dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Rumah kontrakannya yang terakhir adalah sebuah rumah dengan biaya murah, di pinggiran Kota Pelangi, sebuah kota kecil di Pulau Dewata. Rumah tipe 21 meter persegi, dengan satu kamar tidur saja. Dinding tanpa plesteran, dengan lantai berplester kasar.
“Bu, kalau usaha kita begini terus, sepertinya aku tak mampu bayar biaya lahiran anak kedua kita,” katanya sambil membuat pentol bakso di dapur rumah kontrakannya, kala itu.
“Lalu, kita harus bagaimana, Pak? Sedangkan kita tak dapat JKN* yang digembar-gemborkan pemerintah.”
“Mungkin kita harus pakai jaminan kesehatan yang ditanggung pemerintah daerah. Kata Pak Sarto, itu mudah. Yang penting ada KTP provinsi sini.”
“Ya kalau begitu, cepetan diurus ke pak kades, Pak. Soalnya biaya bersalin tak sedikit juga. Belum lagi Adi, anak kita juga butuh biaya sekolah, belum lagi jajan sehari-hari yang tak cukup lima ribu rupiah.”
Dua bulan setelah percakapan itu, ketika tidur-tiduran di kamar, Sutinah merasakan mules. Dia yakin, bayi di kandungannya sudah siap memberontak, ingin menghirup udara bebas. Sukri yang sedang berjualan bakso di pangkalannya, segera pulang ketika mendapat telepon sang istri. Sutinah pun dibawa ke RSUD di Kota Pelangi. Anak pertamanya yang sudah kelas 3 SD pun dititipkan kepada tetangga, agar dia bisa fokus menunggu sang istri di rumah sakit.
“Bapak keluarga Ibu Sutinah?” tanya perawat.
“Ya, Bu. Saya suaminya.”
“Jadi begini, Pak. Ibu Sutinah mengalami hipertensi. Tekanan darah tingginya naik jadi 150/100 mmHg. Ini cukup berbahaya. Maka, tekanan darahnya akan diturunkan dulu. Kalau sudah normal, dilakukan tindakan cesar.”
“Bagaimana baiknya saja, Bu. Yang penting ibu dan bayinya bisa selamat.”
Selang beberapa menit, Sukri dipanggil perawat. Dia diberikan resep obat untuk ditebus di apotek rumah sakit. Dan pihak apotek menyerahkan rincian obat dan biayanya. Tercetak angka Rp 845.000. Betapa terkejutnya Sukri. Ingin dia bertanya mengapa bayar, tapi tak berani. Hari kedua juga dia diberikan resep yang tak jauh berbeda. Baik obat-obatan, termasuk beberapa botol cairan infuse. Itu berlangsung sampai hari ketiga. Sekitar Rp 2.730.500 sudah dia keluarkan. Uang di dompetnya tertinggal Rp 125 ribu. Itu uang sisa yang didapat dari menggadaikan BPKB sepeda motor satu-satunya.
Pikiran Sukri kalut. Dia mencoba meminjam uang ke sana-sini. Tidak banyak yang dapat meminjami. Kalaupun ada yang mau meminjami, hanya seratusan sampai dua ratusan ribu rupiah saja.
Dan di hari kelima, sang istri pun menjalani operasi cesar untuk mengeluarkan si jabang bayi. Ibu dan anak berhasil diselamatkan. Rasa bahagia dan nelangsa bercampur di batinnya. Senang karena istri yang terkasih berikut bayinya dapat tertolong. Tapi, dia masih belum tenang. Ini soal biaya rumah sakit yang terus membengkak. Sampai hari kelima itu, dia sudah mengeluarkan uang Rp 3.605.000. Sudah tidak ada uang di dompet. Hanya tersisa Rp 35 ribu di kantong celananya.
***
Ia berpikir keras. Sesekali menjambak rambut sendiri, memukul-mukul kepalanya menggunakan kepalan tangan. Lalu tertunduk, meratapi nasib. Ia menggugat Tuhan-nya. “Kepada siapa lagi aku mengadu, ya Tuhan. Tolonglah aku. Setiap hari kusembah, apakah Kau akan menelantarkan hambamu ini?”
Dalam gusar, ia teringat Tarno. Tetangga rumah kontrakannya terdahulu. Segera, Sukri menggeber sepeda motornya mencari mantan aktivis mahasiswa itu. Tapi, Tarno sedang tak ada di rumah. Padahal, dia sangat berharap Tarno bisa membantunya. Setidaknya bukan dengan uang, karena ia tahu, kehidupan Tarno juga hanya lebih baik sedikit darinya. Sukri butuh Tarno yang dikenal berani dan luas wawasannya.
“Bapak masih di luar kota, Pak Sukri. Mungkin besok siang sudah kembali,” kata Khodijah, istri Tarno.
Sambil mengendarai sepeda motor untuk kembali ke rumah sakit, pandangan Sukri tertuju pada bungkusan karung ukuran beras setengah kwintal. Seorang kondekturbaru menurunkan dari bus di depan minimarket yang tak terlalu ramai. Mendadak Tarno menghentikan laju sepeda motornya. Mengambil jarak 30 meter dari barang bidikannya, ia menyelidik, duduk di atas motornya yang sudah dimatikan. Sambil membakar rokoknya, lelaki yang tak tamat SD ini mengamati gerak pengunjung minimarket.
Lima menit menunggu, si empunya paket barang itu tak kunjung nongol. Tanpa pikir panjang lagi, Sukri pun segera mendekati karung yang kemudian ia tahu, itu berisi kain. Konon kain mahal, untuk membuat kebaya. Karung berisi paketan ini memang biasa seminggu sekali datang dan diturunkan di depan minimarket. Biasanya anak buah si pemilik paketan ini sudah menunggu sebelum bus tiba. Entah bagaimana, hari itu ia telat datang.
Dengan hati cemas, ia naikkan kain sekarung itu ke atas sepeda motornya, lalu dibawa ke rumah kontrakan. Sayang, tak mudah dia menjualnya. Beberapa kali ditawarkan ke tetangga, atau teman-temannya, baru sedikit saja yang laku. Dia baru bisa mengumpulkan uang Rp 2.500.000 dari menjual seperempat kain itu. Tapi, lagi-lagi hanya tersisa sedikit saja, untuk membeli obat kembali.
***
Tarno tiba di rumah sesuai rencana. Sang istri memberitahu bahwa Sukri sempat datang kemarin siang. Meski hidup dengan kesederhanaan, dia orang yang ringan tangan. Kerap membantu orang tanpa berpamrih. Sebagai mantan aktivis mahasiswa, ia memang pintar bersilat lidah. Argumentasinya sering masuk akal. Dengan dibumbui sedikit gertakan, aparatur pelayanan publik kerap tak berkutik menghadapinya.
“Sudah sewajarnya kita membantu sesama,” katanya kepada sang istri. “Bukankah yang kuat harus membantu yang lemah, atau yang pintar membantu yang bodoh, yang tahu membantu yang belum mengetahui?”
“Iya, tapi tak dapat apa-apa dari itu semua. Hanya dapat capek.”
“Apakah semua hal harus dinilai dengan materi, harus diuangkan? Tentu tidak. Alangkah sebaiknya kita tetap saling membantu. Suatu saat, mungkin kita yang membutuhkan bantuan orang lain,” tuturnya seperti berceramah.
Di saat asyik berbincang di beranda rumahnya, Sukri yang ditunggu-tunggu datang. Dia menceritakan masalahnya. “Jadi, sebetulnya, kalau pakai jaminan kesehatan ini harusnya gratis atau tidak sih, Pak? Tolong saya, Pak. Saya sudah tidak punya uang lagi.”
“Memang, itu gratis kalau pelayanan, fasilitas, termasuk obat yang diberikan sesuai formula dari jaminan kesehatan ini. Kalau tidak, maka bayar. Ada kemungkinan, pelayanan yang didapatkan, termasuk obatnya tidak sesuai formula itu. Masalahnya, waktu diberikan resep obat yang bayar itu, apakah Pak Sukri sempat dijelaskan atau diberikan pilihan untuk memakai obat yang gratis atau bayar?”
“Saya ndak pernah diberikan penjelasan apa-apa, Pak. Hanya diberikan resep dan disuruh menebusnya di apotik. Saya ndak tahu yang gitu-gitu, Pak.”
“Baik,” kata Tarno. “Saya akan coba tanyakan hal ini ke manajemen rumah sakit ini.”
***
Di hadapan direktur operasional RSUD Kota Pelangi, Tarno dan Sukri pun menjelaskan duduk perkaranya. Dengan segala argumentasinya, Tarno seperti mengadili direktur operasional itu.
“Waduh, maaf kalau ada kesalahan. Mungkin petugas kami sibuk. Jadi tidak sempat menjelaskan, Pak. Nanti akan saya sampaikan kepada petugas terkait masalah ini.”
“Masalahnya,” tohok Tarno. “Bukan kali ini saja pasien jaminan kesehatan daerah dimintai biaya. Padahal pemerintah sudah bilang ini gratis. Kami khawatir, ini modus dari oknum di dalam rumah sakit. Mudah-mudahan ini bukan berjamaah,” katanya lagi menohok. “Terkait masalah pasien Sutinah, istri Pak Sukri ini, karena sudah kadung membayar, untuk selanjutnya kami minta agar pelayanannya sesuai formula jaminan kesehatan daerah ini. Tak perlu obat-obat paten, generik pun cukup, tak masalah. Yang penting bisa sembuh.”
“Baik, Pak. Akan kami usahakan, dan kami perbaiki ke depannya.”
Tarno dan Sukri pun pamit meninggalkan ruangan kantor RSUD. Tarno pulang ke rumahnya, dan Sukri kembali ke ruang perawatan pasien di kelas III yang berjubel pasien dan penunggunya. Hanya ada kipas angin di ruang perawatan itu.
Selepas pertemuan dengan manajemen RS, wajah Sukri tampak semringah. Walau, uang yang dia miliki makin menipis. Untuk menutup kekurangan, sekaligus sebagai jaga-jaga bila dibutuhkaan, dia kembali menjual beberapa meter kain curiannya.
***
Setelah dirawat 10 hari, pihak dokter menyatakan sang istri dan bayinya sudah bisa pulang.
”Bayar berapa?” tanya keluarga pasien di bed sebelah istrinya.
“Ndak bayar.”
“Kok bisa? Sebelum-sebelumnya masih ada tagihan lagi sampai Rp 2,5 juta. Pasti ada orang bermain dalam di Rumah Sakit, ya?”
“Ndak juga,” sergahnya. ”Cuma saya bersama teman sempat menyampaikan masalah ini ke pihak manajemen. Dan manajemen mengakui salah. Sehingga, ndak perlu bayar lagi.”
***
Enam bulan setelah istrinya melahirkan, Sukri pun kembali berjualan bakso. Namun, kondisi ekonomi memang belum pulih sepenuhnya. Maka, usahanya pun masih kembang kempis. Dan untuk memenuhi kebutuhan hidup, Sukri masih bergantung dari sisa kain curiannya yang masih sekitar separo karung. Apalagi, kelahiran anak keduanya meninggalkan utang di sana-sini, termasuk di koperasi untuk menebus BPKB sepeda motor satu-satunya.
Dia menawarkan kain-kain itu kepada beberapa tetangga. Ada yang berminat, tak sedikit pula yang menolak. Tapi, apes memang. Salah satu tetangga yang ditawari kain ini ternyata malah anak buah pemilik kain yang dicurinya. Sang anak buah bernama Ami itu pun memberitahukan kepada sang majikan. Mendengar kabar itu, si majikan dan pekerjanya ini langsung datang ke rumah kontrakan Sukri.
“Kami tidak mau cari masalah,” kata pemilik kain didampingi petugas keamanan adat pula. “Kami hanya minta uang kami dikembalikan sekitar Rp 20 juta. Itu uang modal saya. Saya tak cari untung, dan saya anggap masalah hukumnya selesai.”
Sukri tak bisa berkata banyak, “Saya usahakan, Bu.”
***
Sampai malam hari, Sukri belum mampu juga mengembalikan uang yang dijanjikan. Setelah berembuk dengan sang istri, Sukri memilih kabur. Istri dan kedua anaknya ikut serta. Barang-barang miliknya, ia tinggalkan. Termasuk sepeda motor dan rombong bakso dititipkan kepada temannya. Dia menyeberangi pulau, menggunakan bus, untuk menghindari pemeriksaan di pelabuhan.
***
Saat nonton tivi di ruang keluarga, Tarno dan istrinya membicarakan nasib keluarga Sukri. Mereka tak menyangka Sukri bisa senekat itu. Padahal, selama bertetangga dua tahun lalu, Tarno tahu Sukri orang yang baik.
“Kalau kepepet, apa pun bisa terjadi, Bu.”
“Memang betul, Pak. Tapi, kasihan anak-anaknya. Khususnya Adi yang harus meninggalkan sekolahnya.”
“Ya, kesalahan ini ndak bisa ditimpakan sepenuhnya kepada Sukri. Oknum-oknum di rumah sakit juga turut berkontribusi. Seandainya mereka jujur, bekerja sesuai SOP, tentu jaminan kesehatan bisa dijalankan semestinya, gratis. Bukan mempermainkan kebodohan orang untuk mencari keuntungan semata.”
***
Di tempat persembunyiannya, Sukri termenung. Ia berpikir keras, mencari jalan jeluar atas masalah yang dihadapi. Dia memikirkan nasib Adi, anak pertamanya yang belum bisa bersekolah lagi. Ia takut Adi putus sekolah, mengikuti jejaknya yang tak pernah tamat SD. Sedangkan, untuk berdagang bakso lagi di tempat barunya ini pun, ia belum bisa. Belum memiliki keberanian untuk itu.
“Apakah aku harus menyerahkan diri kepada polisi?” tanyanya dalam hati.
Catatan:
*) JKN = Jaminan Kesehatan Nasional. Program pemerintah ini hanya menanggung premi sekitar 40 persen warganya, agar bisa mendapat pelayanan kesehatan gratis. Sedangkan, sisanya harus membayar premi atau iuran sendiri, dan tak sedikit orang miskin yang tercecer, tidak masuk tanggungan pemerintah.
Lembah Kauripan, 28/11/2016, di waktu Subuh