PERNAH nunu urutan setiap pagi menjelang sekolah, pada masa-masa usai libur Hari Raya Galungan dan Kuningan? Jika pernah, masa kecil Anda dipastikan sederhana namun bahagia.
Nunu urutan adalah kegiatan memanggang urutan (sosis babi khas Bali) di atas bara di lubang tungku dapur (bungut paon) ketika si ibu sedang menanak nasi. Potongan urutan yang kecil-kecil, biasanya sepanjang 1-2 centi meter, ditusuk dengan lidi, lalu dipanggang.
Dari urutan itu akan menyembul lelehan minyak dengan aroma menggiurkan. Jika minyaknya agak melimpah, urutan itu dipukul-pukulkan ke gundukan nasi dingin (nasi sisa kemarin) yang sudah siap di atas piring seng. Minyaknya akan melumuri butiran nasi.
Jika tak sabar, nasi yang berisi lumuran minyak itu sudah bisa disantap sambil menunggu urutan yang dipanggang benar-benar matang. Jika sabar, tunggu urutan sampai matang. Dan proses itu tak membutuhkan waktu lama.
Saya dan orang-orang desa yang masuk SD sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, tentu masih bisa merasakan sensasi nunu urutan pada awal-awal masa sekolah setelah libur selama dua minggu pada Hari Galungan dan Kuningan.
Kenapa urutan bisa bertahan sampai Kuningan usai dan siswa sudah masuk sekolah? Urutan zaman dulu memang beda. Dulu, urutan dibuat dengan proses yang cukup serius.
Bahan urutan itu adalah daging dan usus babi. Bumbunya base genep (bumbu lengkap) yang benar-benar lengkap dengan takaran yang cukup banyak. Bumbu biasanya terdiri dari bawang merah, bawang putih, ketumbar, jinten, kencur, lombok kecil, garam, terasi, merica, kunir, jahe, dan laos, serta beberapa jenis rempah-rempah lain yang sesuai.
Bumbu lengkap selengkap-lengkapnya, ditambah garam yang agak berlebihan, dipercaya sebagai bahan pengawet yang sangat ampuh, sehingga urutan itu bisa bertahan lama. Rempah-rempah ini juga berfungsi sebagai penghambat atau pencegah berkembangbiaknya bakteri. Selain itu, tentu saja bumbu rempah memberi cita rasa yang unik dan khas.
Cara membuatnya, semua bumbu dicincang halus. Usus babi dibersihkan berkali-kali. Sementara daging dipotong dengan ukuran tertentu sehingga dapat dimasukkan ke dalam usus. Setelah selesai, urutan itu dijemur. Biasanya dijemur dengan dililitkan pada tangkai buah kelapa dan bisa diletakkan di kelakat (sejenis anyaman bambu) kemudian digantung pada matahari yang terik.
Artinya, urutan itu memang tidak langsung dimakan pada saat penampahan atau pada Hari Galungan. Urutan memang dibuat sebagai tabungan, dan disantap ketika menu lain seperti lawar, pesan, babi genyol dan babi kecap, sudah benar-benar habis.
Selain dikeringkan dengan dijemur di bawah terik matahari, urutan biasanya ditaruh di atas lengatan di atas tungku dapur. Sehingga setiap hari sesungguhnya urutan itu sudah mendapatkan hawa panas yang menyembur dari tungku pada saat memasak.
Urutan itulah yang dipotong-potong setiap pagi, lalu dipanggang, untuk sarapan sebelum masuk sekolah. Orang tua juga melakukannya ritual itu sebelum pergi ke sawah. Menurut cerita sejumlah orang tua di daerah Tabanan, urutan sepanjang satu meter, kadang-kadang bisa bertahan hingga lebih dari sebulan setelah Galungan.
Selain rempah-rempahnya dengan takaran yang agak berlebihan, rasa enak dari urutan zaman dulu juga enaknya amat berbeda. Dulu daging babi lebih kenyal, rasanya lebih gurih dan tak bikin bosan. Mungkin karena babi zaman dulu juga berbeda dengan babi zaman sekarang. Dulu, babi makan dagdag, wot dan gedebong, kini babi makan konsentrat. Dulu, babinya asli bali, kini babinya babi dari ras yang berbeda.
Secara umum, makanan khas Bali ini memang tergolong menu yang super enak. Dan keberadaannya kini tak melulu dikaitkan dengan Hari Raya Galungan. Kini pada hari-hari biasa atau pesta-pesta pernikan urutan seakan menjadi menu andalan.
Kelezatannya sangat menggoda, tak hanya enak dirasakan masyarakat Bali, tetapi juga disukai oleh turis mancanegara. Karena itu,urutanjuga dijual secara bebas di berbagai warung nasi, dari yang di pinggir jalan hingga restoran mewah. Saat itu, penyajiannya dibuat sama dengan yang disajikan pada saat upacara keagamaan. Harganya cukup tinggi, namun banyak juga yang membelinya. (T)