31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci

Made Adnyana OlebyMade Adnyana Ole
February 2, 2018
inCerpen

Nyoman Wirata, Perahu Bulan, 2011, 25x30cm, kanvas, akrelik

53
SHARES

Cerpen: Made Adnyana Ole

TUBUH mungil gadis itu ditusuk pedang cahaya ketika sinar purnama menerobos di sela ranting gaharu. Cahaya memantul dari tubuhnya hingga hutan kecil di tepi Kota Kecil menjadi lebih cerah. Balutan putih di seluruh tubuh memperjelas semua geraknya. Gadis itu melompat, seakan terbang, dari rimbun ke rimbun. Dari rimbun kesembilan ia melompati gerbang kota, lalu melompati tembok padas, dan menyelinap ke dalam tempat suci di tengah kota.

Tangan kanan menggenggam tongkat kecil kayu cempaka. Di tangan kiri mangkuk tanah liat. Di dalam mangkuk tergumpal adonan kapur sirih putih yang kemudian dicungkil ujung tongkat. Tubuh diputar tiga kali. Melambai tangannya serupa layang-layang daun kering. Adonan kapur sirih tergurat pada dinding bangunan. Gadis itu melukis bintang – satu gumpalan agak besar bersegi lima tak terlalu rapi. Bintang putih.

Ia melompat lagi, seakan terbang, dari tempat suci ke tempat suci. Dan ketika langit timur mulai terang, lukisan bintang pun tertera di seluruh tempat suci. Gadis itu memandang sekilas pada lukisan terakhir di tempat suci terakhir, kemudian tergesa melompat, seakan terbang. Ia melompati gerbang kota, kemudian melompat lagi dari rimbun ke rimbun. Dari rimbun kesembilan, ia menghilang.

***

PAGI, warga kota gempar. Mereka kaget menyaksikan gambar bintang di seluruh tempat suci. Awalnya pemandangan itu hanya dilihat satu dua orang. Tapi Kota Kecil memang kecil. Kabar meluap ke seluruh kota. Semua orang memeriksa tempat suci dan menemukan bintang putih di semua tempat suci.

“Bintang putih kapur sirih. Ini tanda suci dari Gadis Suci!” seru Tetua Kota.

Darah beberapa orang seakan terisap. Firasat buruk menjalar seperti sebaris ulat merayapi kulit dari dasar kaki hingga ke ujung kepala. Mereka tahu, bila Gadis Suci menggoreskan tanda suci di semua tempat suci, artinya bencana besar segera tiba. Biasanya warga menggelar doa bersama di semua tempat suci agar bencana bisa urung, atau jika terjadi bencana maka dimohon tak ada korban jiwa.

Tapi Kota Kecil bukan lagi kota kuno. Keyakinan-keyakinan berulangkali diuji. Hanya beberapa orang tetap percaya Gadis Suci. Sebagian besar justru suka berpikir. Bencana apa yang hendak tiba di kota modern ini? Gedung dibangun dengan arsitektur antigempa, gunung api dipasangi alat canggih, saluran air terus direhabilitasi, sekolah bertambah dan tingkat pendidikan warga makin tinggi

Jadi, tak ada doa bersama. Diskusi berkembang. Dugaan beragam. Kesimpulan dimatangkan. Kota Kecil akhirnya gaduh. Diskusi jadi pertengkaran, dugaan jadi kecurigaan, kesimpulan jadi tuduhan.

“Sudah jelas ini teror. Serangan teroris. Inilah satu-satunya bencana yang mungkin terjadi. Kita harus lapor polisi!” kata seorang tokoh.

***

PERWIRA di Kepolisian Kota Kecil kaget sekaligus heran begitu menerima laporan warga. Perwira itu, dan seluruh polisi di kota itu, sejak awal memang sudah mencatat informasi munculnya tanda suci di tempat suci. Tapi tak ada penyelidikan. Alasannya, polisi tak ingin ikut campur soal keyakinan warga tentang mitos Gadis Suci. Apalagi, polisi sangat paham, setelah tanda itu muncul akan ada doa bersama. Setelah itu, masalah selesai. Polisi hanya membuat laporan.

Kini polisi salah duga. Warga tak langsung berdoa tapi melapor. Itu berarti polisi harus bergerak. Apalagi diketahui kemudian, warga juga melakukan penyelidikan sendiri. Hasilnya, warga menemukan tiga tempat suci tanpa tanda suci. Bentuk tiga tempat suci itu berbeda dengan tempat suci umumnya di Kota Kecil.

Tiga tempat suci itu milik sembilan keluarga pendatang yang tata-cara berdoanya jauh beda dengan tata-cara berdoa warga asli di kota itu. Tuduhan muncul. Dengan dalil sederhana, warga menyimpulkan umat pengusung tiga tempat suci itu adalah penyebar teror dengan maksud rahasia menyebarkan keyakinan baru dan menguasai Kota Kecil. Teriakan pun terdengar dari sejumlah sudut kota: “Serbu dan bakar tiga tempat suci itu!”

Maka, tiba saat polisi cemas. Kepala Kepolisian Kota Kecil memanggil seluruh perwira. Mereka rapat gelar kasus. Kesimpulan polisi: ada pihak-pihak yang dengan sengaja melukis bintang putih di tempat suci dengan tujuan membuat warga resah dan rusuh. Lalu terdengar perintah tegas: “Ini provokasi. Tangkap provokatornya sekarang juga!”

***

PURNAMA lewat. Namun cahaya bulan tetap memperjelas sosok gadis mungil yang bertengger di atas gerbang kota. Gadis itu memang Gadis Suci. Ia memandang hamparan Kota Kecil yang disadari kini penuh gedung megah. Lampu selalu terang dan jalanan ramai sepanjang siang dan malam. Gadis Suci menangis.

Ia terkenang lima abad lampau. Saat itu, sembilan keluarga mengayuh perahu kayu dari Pulau Seberang. Di antara sembilan keluarga terdapat sembilan bocah; empat lelaki dan lima perempuan. Mereka diusir dari Pulau Seberang hanya karena bentuk tempat suci mereka berbeda dengan tempat suci warga lain di pulau itu.

Bersandar di satu pulau, sembilan keluarga itu merabas hutan dan membangun tempat mukim. Mereka mengawali hidup baru. Sembilan pasang suami-istri membesarkan sembilan bocah bersama-sama. Begitu para bocah jadi remaja, mereka saling jatuh cinta. Tentu, dari sembilan remaja, hanya empat pasang akhirnya jadi kekasih. Tersisa satu perempuan. Itu adalah ia yang kemudian menjelma Gadis Suci.

Perihal bagaimana ia menjadi Gadis Suci terjadi tengah malam di tengah hutan gelap. Setelah empat pasang kekasih secara bergiliran menikah, ia tetap jadi gadis perawan dan menyisihkan diri ke tengah hutan di tepi pemukiman. Sehari-hari duduk di bawah pohon cendana. Seringkali tanpa makan, seringkali hingga tengah malam. Pada satu tengah malam, bulan mati, ia seperti terpanggil untuk menyanyikan lagu kuno, mirip mantera, yang diajarkan neneknya.

Ia menyanyi berulang-ulang. Pada ulangan ke-108, ia merasa begitu ringan. Tubuhnya terangkat, melayang. Ketika berupaya melompat ia seakan terbang di sela-sela pepohonan. Ia berlari dengan tubuh melayang, ketakutan, pulang. Di pemukiman tak ada orang bisa melihatnya. Ia menangis.

Tak ada orang mendengar tangisnya. Hingga tiga hari kemudian, ayah-ibunya dan semua warga di pemukiman sepakat menyatakan ia hilang. Mereka juga sepakat, ia hilang untuk sebuah tugas mulia sebagai penjaga pemukiman sepanjang zaman. Warga menyebutnya dengan penuh puja-puji sebagai Gadis Suci. Jika terjadi bencana Gadis Suci akan melukis tanda suci di tempat suci. Dan begitu tanda itu muncul, warga cukup berdoa agar mereka dan pemukiman tetap selamat.

Gadis Suci hidup abadi. Dengan gigitan sepi yang selalu terasa ngilu, ia melihat empat pasangan suami-istri, yang semua teman sebayanya, melahirkan anak-anak. Lalu anak-anak mereka saling jatuh cinta, menikah, dan melahirkan anak-anak lagi. Pemukiman berkembang, garis keturunan memanjang. Pohon silsilah makin rimbun.

Sampai lima abad, pemukiman jadi kota modern dengan nama Kota Kecil. Selama itu, Gadis Suci sudah tujuh kali menorehkan tanda suci di tempat suci. Ia melukis tanda suci sebelum Gunung Sang Api meletus. Warga berdoa, dan pemukinan seakan ditutupi payung tebal. Tak satu pun batu panas jatuh di pemukiman.

Lima puluh tahun lalu, ketika terjadi rusuh politik di Negeri Seribu Pulau, ia menorehkan tanda suci di semua tempat suci. Ia berharap kerusuhan tak menjalar ke Kota Kecil. Warga berdoa. Tapi, aneh, Kota Kecil yang menjadi bagian dari negeri besar itu ikut rusuh. Hampir dua ratus orang terbunuh.

Saat itu Gadis Suci bersedih. Bukan semata karena Kota Kecil turut dilanda rusuh, melainkan karena sebagian besar warga sudah merasa amat pintar. Tanda suci tak dipercaya lagi sebagai sebuah pesan dari alam yang tak terpikirkan. Warga memang berdoa bersama. Namun ia tahu, doa itu hanya gerakan tubuh. Hati mereka dibajak rasa sombong karena merasa sudah sadar akal dan sehat nalar.

Kini, tanda suci bukan hanya diabaikan, tapi justru mengundang bibit bencana. Gadis Suci sedih. Lebih dari itu, ada rasa bersalah tak terkira besarnya. Keputusan melukis tanda suci diambil karena ia melihat dengan mata saktinya Kota Kecil bakal didera rusuh massal. Kelompok massa mengamuk dan membakar tempat suci. Dan seperti lingkaran sebab-akibat tanpa ujung, ternyata justru tanda suci yang dilukisnya jadi penyubur rasa curiga hingga muncul niat warga membakar tempat suci.

Memang benar, Gadis Suci tak melukis tanda suci pada tiga tempat suci milik sembilan keluarga pendatang di Kota Kecil. Aturannya jelas, tanda suci hanya untuk warga yang percaya tanda suci. Tapi siapa sesungguhnya yang percaya pada tanda suci? Zaman berubah. Kepercayaan berulangkali diuji. Ia makin sedih. Ia merasa zaman kini tak memerlukan Gadis Suci. Maka ia melompat ke tengah hutan dengan tekad bulat tak akan melukis tanda suci lagi, sebesar apa pun bencana yang akan tiba.

***

“AKU harus menolong Gadis Suci!” ujar Tetua Kota.

Ia orang paling tua di Kota Kecil. Dulu Tetua Kota paling dipercaya untuk hampir semua hal. Kini ia hanya orang tua kesepian. Warga yang dibakar amarah tak mendengar lagi kata-katanya. Maka, malam sebelum warga bergerak membakar tiga tempat suci, Tetua Kota bergerak lebih cepat. Tangan kanan menggenggam tongkat kecil kayu cempaka.

Di tangan kiri mangkuk tanah liat. Di dalam mangkuk tergumpal adonan kapur sirih putih yang kemudian dicungkil ujung tongkat. Adonan kapur sirih kemudian diguratkan pada dinding bangunan. Ia melukis bintang di tiga tempat suci itu. Bintang putih. Begitu keluar dari tempat suci, ia ditangkap polisi.

Pagi, Kota Kecil cerah. Sembilan keluarga pendatang yang menemukan tanda suci di tiga tempat suci mereka, tanpa aba-aba menggelar doa bersama, tepat ketika sekelompok warga menyerbu mereka dengan senjata tajam dan molotov. Melihat apa yang terjadi, kelompok warga yang dibakar amarah seketika terhenyak seakan tak percaya. Mereka langsung berbalik. Seperti teringat sesuatu, mereka menuju tempat suci. Mereka berdoa bersama di seluruh tempat suci.

Kepala Kepolisian Kota Kecil yang tak henti tersenyum lega menyaksikan peristiwa itu tiba-tiba didatangi seorang anak buahnya.

“Lapor Komandan. Provokator sudah ditangkap!”

Sang kepala polisi memandang anak buahnya sekilas. “Lepaskan! Itu pasti salah tangkap!”

 

Tags: Cerpen
Previous Post

Nanoq da Kansas# Igau, Rumah Lukisan, Menempuh Waktu

Next Post

Selamat Datang Mahasiswa Baru: OKK itu Keras, Perkuliahan Lebih Keras

Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

Next Post

Selamat Datang Mahasiswa Baru: OKK itu Keras, Perkuliahan Lebih Keras

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more

PENJARA: Penyempurnaan Jiwa dan Raga

by Dewa Rhadea
May 30, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

DALAM percakapan sehari-hari, kata “penjara” seringkali menghadirkan kesan kelam. Bagi sebagian besar masyarakat, penjara identik dengan hukuman, penderitaan, dan keterasingan....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co