Cerpen: Ni Kadek Desi Nurani Sari
Purnama pasah, tiga anak bajang berjalan melenggang ke arah barat tempat di mana, rusuk seorang ibu tersesat jalan pulang. Mereka kembara, membawa bingkisan cerita agar kelak rasa lapar yang mereka sebut rindu di tanak masak-masak di rumah yang telah tersusun kembali bersama tangganya. Sementara itu dua ribu lima ratus sembilan puluh tujuh hari berlalu, pohon jambu di halaman rumah dipelihara musim dengan baik.
Sebagian dari pohonnya berambut bunga dan sebagian lagi berambut buah yang kulitnya mulai memerah sepadan warna pada cemas wajah wanita yang menunggu tiga anak bajang pulang ke rahim ibu. Tahun-tahun berlalu, musim lebih tangguh dari yang pernah peramal cuaca sampaikan. Ia selalu datang melawan pikiran dan harapan yang direncanakan.
PAGI ini kami berangkat bersama ke arah timur kota meninggalkan rumah dengan sedikit tergesa-gesa. Tetapi segala persiapan telah kami kemas sebelumnya. Berangkatlah kami, warna pagi tampak lebih gelap dan angin mencubit jauh lebih dingin dari pagi biasanya.
Mobil bergerak terasa lebih lamban, meski harapan lebih cepat dari kenyataan yang ada. Cuaca mengirim angin berembus seperti dicampur kemarahan, aku merasakannya, dari balik kaca seorang perempuan terlihat berjalan melawan gerakan angin seperti adegan ketika Jenny berteriak memberi isyarat pada Forest Gump untuk berlari sekeras teriakan demikian yang diharapkan.
Ada yang melawan di hadapannya, kedua tangannya berusaha meraih sedang langkahnya tetatih. Suara pintu mobil dibanting terdengar cukup keras, kami sampai dan perempuan yang menggapai-gapai tujuannya hilang seperti terputus siaran stasiun televisi.
Aku beranjak, udara mencubit. Musim dingin semestinya belum kembali datang di bulan ini. Jika saja ada pertukaran musim, seharusnya musim dingin hanya mengantar udara yang terasa lebih gigil, tanpa embusan angin. Tapi kali ini rupa-rupanya musim sungguh-sungguh memilih bulannya sendiri. Dari arah utara langit tiba-tiba menyeruap gelap, rumah-rumah beratap mendung, musim dingin sudah tiba.
Musim dingin di kota kami tidak pernah turun salju seperti halnya di Eropa, itu mengapa kami hanya butuh sedikit berhemat pakaian dan bepergian. Musim dingin di kota kami mengantar hujan yang senantiasa mengairi sungai-sungai mati setelah kemarau panjang. Segera kututup kembali pintu mobil, mengeluarkan segala sesaji upacara.
Sebelum pagi ini, kami sempat berunding tentang upacara ini. Ada pertimbangan tentang dilakukan tidaknya upacara hari ini atau menunda hingga tiba hari baik mengizinkan. Namun rencana ke depan tentang lain-lainnya tidak bisa menunggu hingga hari baik mengizinkan. Hingga akhir perbincangan upacarapun kami laksanakan hari ini. Di purnama pasah, yang menyembunyikan biasan mata hari dan menidurkan sedap malam dari mekarnya.
“Yan, baru kali ini Mbok dan Bli Mangku nganteb ngeruak di purnama pasah. Hanya Wayan yang berani, yang lainnya belum ada.”
Seorang bibi yang juga menjadi mangku bicara pada Bapak. Sambil tertawa cekikikan mereka mempersiapkan sarana bersama sambil lantang membahas keputusan yang diambil Bapak. Aku tidak paham apa yang mereka bicarakan tentang purnama pasah dan upacara ngeruak yang kami lakukan. Dalam percakapan itu mereka nampak saling memberi keyakinannya masing-masing tentang hari baik upacara digelar.
“Bagi tiang Mbok, karena pasah air laut naik lebih tinggi dan angin lebih kencang, air laut menguap meninggi dan hujan turun di bulan ini, itu kenapa pasah menjadi tak baik untuk ngeruak.”
Terdengar Bapak bicara seperti bagaimana guru ilmu pengetahuan alam di SD dulu proses turunnya hujan.
Percakapan bersambung hingga segala sesaji telah rampung disiapkan. Aku masih duduk di atas gundukan tanah yang dipersiapkan untuk pemasang pondasi bangunan. Tikar digelar, aku berpindah tempat menuju tikar bersama yang lainnya. Di samping kananku duduk adik lelakiku yang kini tumbuh menjadi lebih dewasa. Jakunnya mulai terlihat jelas dan suarannya mengembang.
Sambil menatap handphone genggamnya sedikitpun ia nampak tidak tertarik pada percakapan. Di samping kiriku wanita tua yang mulai memperlihatkan putih rambutnya dan satu gigi depannya yang tersisa tersenyum-senyum melihat sekelilingnya. Ia biasa melakukannya. Nenek yang lama kehilangan pendengarannya seperti menemukan suara sekitarnya dalam pikirannya sendiri yang sedikit-sedikit ia curi dari gerakan bibir kami. Sementara itu di hadapan kananku duduk bapakku dan di hadapan kiriku ada ibuku, lalu Bik Mangku dan Pak Mangku.
Di hadapan kananku ada Bapak, kemudian di hadapan kiriku ada Ibu. Ibu? Ia tak tampak seperti wajah ibuku. Tapi Bapak selalu menyebutnya Ibu untuk kami. Wanita itu lebih cantik dari wajah Ibu yang kami kenal tujuh tahun lalu. Tapi ia berubah sewaktu-waktu menjadi apa yang takdikenal Bapak.
“Luh, coba saja, sebentar lagi akan turun hujan. Sekarang waktunya tukang Wayan lembur. Sepertinya harus diberi asupan lebih.” Bik Mangku memulai lagi percakapan, sembari Pak Mangku masih ngayat aturan.
Sambil tertawa cekikik wanita yang dipanggil Iluh, dan diperkenalkan Bapak sebagai Ibu menjawab, “ Gampang saja Mbok, mie taluh, kopi, teh, jaje sudah disiapkan.”
Percakapan itu segera terputus oleh suara gemuruh, angin kencang, dan Pak Mangku menyodorkan kembang sebagai sarana persembahyangan. Sekali lagi gemuruh terdengar lebih lantang. Dari arah utara suara angin seperti hentakan risik yang panjang dan bergerombol, angin membawa hujan, langit menghitam, suara para pekerja bersorak sorai seperti menunggu kepastian yang dipikirkannya benar telah terjadi.
Genta masih terdengar mengantar doa-doa kami. Suaranya timbul-tenggelam di antara pukulan hujan.
Semakin jauh, jauh, jauh, terdengar mantra seperti menipis menuju sebuah jalan mengarah ke sebuah rumah, yang pada berandanya seorang wanita duduk dengan sebatang rokok yang dihisapnya pelan. Sorot matanya mengarah ke hadapan halaman. Dua anak perempuan dan seorang anak lelaki sedang bermain di kebun kecil halaman rumahnya. Tiga anak remaja menyiram sebuah pohon yang dipercakapkannya akan tumbuh besar kelak dan dinikmati anak-anak mereka.
Wanita di beranda rumah itu masih menatap ke arah mereka, dalam matanya seperti ada cerita lain yang seolah-olah bercerita di hadapannya. Satu hisapan panjang lagi, rokok itu dipadamkannya pada asbak di atas meja tempat duduknya, lalu dihembuskannya panjang kembali asap mengepul menutupi pandanganku. Wajah wanita itu kini mengarah kepadaku. “Dek, matikan airnya. Tidak perlu menyiram hari ini. sekarang purnama pasah. Hujan akan datang menyiramnya sebentar lagi.”
Wanita itu kemudian memanggil dua anak remaja di halaman rumah. Seorang lelaki dan seorang lagi perempuan. Seorangnya lagi, perempuan yang bermain bersama mereka adalah aku. Mereka berdua saudara-saudaraku dan wanita di beranda rumah adalah ibu kami, ibu yang rahimnya kami singgahi dan kami curi sebagian apa yang ada pada dirinya.
Purnama pasah hari itu, setelah semua kesenangan kami sudahi, Ibu datang dengan tiga mangkuk mie kuah telur dan kisah panjang yang dititipkannya pada setiap suapan kami. Tentang kami yang akhirnya duduk berempat di beranda rumah.
Ibuku, ia takpernah menyebut dirinya sebagai seorang janda. Hanya terkadang ia harus menjadikan dirinya selayaknya janda yang ditinggal mati suaminya. Ia selalu mengatakan bahwa ia tinggal untuk kami. Untuk kenang-kenangan yang Ibu dan Bapak miliki. Mie kuah yang kami kunyah akan terasa sekat masuk melewati tenggorokan kami. Kami selalu tak suka membahas kisah menyedihkan kepergian Bapak yang tak berkabar dan meninggalkan kami dengan kesedihan.
Tapi kami tahu hati Ibu butuh kami dengarkan untuk mengobati kemarahan dan kerinduannya. Sampai di akhir suapan kami, isak kesedihan Ibu atas kisah yang ia dan kami alami masih terdengar ia mengatakan kami boleh pergi mencari Bapak kami.
Aku dan kedua saudara saling bertukar pandangan. Ada ketidakyakinan di antara kami. Bagaimana tidak, Ibu sangat menentang pertemuan kami dengan Bapak. Terlebih jika kami harus datang menemuinya. Ibu ingin Bapaklah yang datang menemui kami.
“Kali ini Ibu bersungguh-sungguh. Pergilah. Esok datanglah kembali bersama Bapakmu. Kalian pergi untuk kita. Kelak kalian akan paham bahwa tiada rumah tangga yang utuh ketika kehilangan anak-anak tangganya.”
Ibu beranjak. Ia datang kembali dan menyodorkan telepon genggamnya dan memberikannya pada kami. Sebuah panggilan telah tertuju pada sebuah nomor yang dinamai ibuku “sayang”. Panggilan itu untuk Bapak. Panggilan itu tidak dijawab. Kemudian sebuah pesan dikirim Ibu yang mengatakan bahwa kami bisa dijemput untuk diajak bersama Bapak. Pesan itu terjawab segera. Kami akan dijemput esok paginya. Ibu memberi isyarat pada kami untuk berkemas.
Menyiapkan beberapa pakaian yang kami butuhkan. Ia pergi, ibuku menuju dapur bersama isak tangisnya sambil menyalakan dupa. Kami dipanggil untuk ikut bersamanya menuju merajan. Mengaturkan doa agar apa yang kami harapkan dapat Tuhan dengarkan. Bahwa esok kami akan kembali bersama Bapak.
Ibu memulai langkahnya, satu per satu saudaraku mengikuti langkahnya, aku masih menunggu di beranda. Ibu menoleh padaku, tak henti-henti ia membiarkan matanya mengeluarkan kesediahan, aku hanyut, kami menangis sekuat-kuatnya. Kami bahkan tidak peduli seberapa keras isak kami hingga tetangga begitu bernafsu ingin menghampiri kediaman kami untuk mendapatkan sesuatu yang enak diperbincangkan.
Namun alam menikam kesedihan kami pada guyuran hujan yang ibu isyaratkan sebelumnya pada kami. Nyala dupa yang dibawa Ibu sejak tadi telah mati di hadapan kami, tetapi tangan Ibu masih mengatup pada ubun-ubunnya. Mengucapkan doa yang tersedak isaknya.
Entahlah apa doa kedua saudaraku hari itu. Samakah seperti yang Ibu pinta, atau entahlah. Aku hanya merasa mereka tak punya doa yang selesai diucapkan hari itu sebab kesedihan terlalu larut.
Aku sendiri, aku tidak bisa mengucapkan apapun untuk kusebut sebagai doa. Aku menatap ke langit, pandanganku dicabik-cabik butir hujan, tak nampak di kejauhan ada langit yang lapang tempat kami berumah mimpi selayaknya putri, seperti yang pernah Ninik ceritakan pada kami.
Aku memejamkan mata, tiba-tiba saja isak suara Ibu menyepi lalu hilang. Segera kubuka mataku, aku berada di atas ranjang tua dari kayu kelapa. Suaranya terdengar pilu ketika kubangkitkan tubuhku dari tidur. Aku berada di rumah Ninik Kompyang Rai. Wanita tua yang tinggal sendiri di pondok apilan. Pondok dengan atap daun kelapa, berdinding kelapa, tak berpintu yang dapur dan tempat tidurnya dalam satu tempat saja.
Ninik Kompyang Rai, dia bukan siapa-siapaku. Hanya saja ia janda tua yang ditiggal mati suaminya tanpa seorang anak. Aku diterimanya sebagai cucu. Selayaknya cucu dari anaknya sendiri, ia selalu memberiku cerita-cerita ajaib tentang apa saja yang ada di sekitarku. Segala macam pertanyaanku ia bungkus menjadi cerita pengantar tidur.
“Galuh, tinggal dulu di sini. Hujan masih deras sekali. Tidurlah lagi. Purnama Pasah, rerainan dan hujan.”
Ia bicara padaku sambil mengoceh atas hujan yang datang. Selalu aku ingin bertanya kenapa, kemudian kusampaikan rasa ingin tahuku tentang purnama pasah.
“Kompyang, kalau purnama pasah selalu turun hujan?”
Ia kemudian mendekatiku menuju tempat tidur. Sambil dielus rambutku, direbahkannya badan di sampingku dan ia bercerita panjang tentang purnama pasah.
Kepalaku meringan, sentuhan tangan dan suara Ninik Kompyang Rai hilang, sesuatu mengguncangkan tubuhku. Aku terperenjat, adikku Raka memegang lenganku sambil mengisyarakan untuk kembali menuju rumah. Sebab hujan terlalu deras.
Aku menatap kakakku Tantri. Ia menyetujui. Lalu kami menatap Ibu. Sedikitpun tubuhnya tak berubah sejak tadi. Tangannya masih mengatup. Tak berubah tingginya dan kokoh tubuhnya menumpu doa. Hari ini pasah, Ibu, dewa-dewa sedang bersemadi untuk keselamatn bumi. Mereka sedang bermain komedi putar pada putaran bumi untuk memulai segala sebagai sebuah awal. Ada baiknya kita simpan doa hari ini. Kita akan mengganggu keselamatan seluruh alam semesta.
Dalam hati ingin kusampaikan pada Ibu bahwa tak tepat kita berdoa hari ini. Aku berpikir dewa-dewa tak mendengar doa Ibu. Suara petir menyambar kencang, aku dan saudaraku berteriak ketakutan. Kami saling memeluk histeris.
Aku membuka mata, upacara ngeruak telah selesai dan hujan turun deras mengguyur tubuh kami. Kami semua berkemas, tergesa-gesa, berlarian menuju rumah teduh. Aku menarik dalam panjang nafasku, ada yang tertahan dan mengendap menjadi berat. Perempuan yang kini kami sebut Ibu, melambaikan tangan meminta bantuan untuk beberapa barang yang harus dirapikan.
Aku menatapnya dalam. Ia, perempuan yang melarikan kerinduan kami tujuh tahun lalu. Yang memisahkan doa Tantri kakaku di hari pernikahannya pada Ibu. Ia tertawa riang, menukar tawa dengan Bapak di antara hujan.
Aku menoleh ke arah kiri, menuju jalan raya, tempat kutemukan perempuan yang menggapai-gapai langkahnya tadi, kini berdiri wajah Ibu tujuh tahun lalu yang mengisak tangisnya di merajan bersama guyur hujan. Tangannya memegang sebuah jambu merah. Ia tersenyum, dibiarkan tubuhnya basah dan gigil, lalu disapu mobil. Wajah Ibu hilang di sebrang jalan.
Tahun-tahun berlalu, musim lebih tangguh dari yang pernah peramal cuaca sampaikan. Ia selalu datang melawan pikiran dan harapan yang direncanakan. Tiga anak bajang, setelah lama kembara, mereka tak kunjung pulang. (T)