18 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Khas
Foto-foto: koleksi penulis

Foto-foto: koleksi penulis

Menjaga Kebersamaan Lewat Tradisi Perang

Wulan Dewi Saraswati by Wulan Dewi Saraswati
February 2, 2018
in Khas
22
SHARES

TRADISI adalah perayaan kebersamaan. Juga di Bali. Untuk menjaga kebersamaan nyama Bali mempertahankan sekaligus tetap merayakan tradisi di era digital ini. Sebut saja tradisi magibung, mebat, perang tipat, dan lain-lain. Tanpa keterpaksaan, masyarakat Bali masih tetap gencar menggelar tradisi-tradisi itu dengan riang gembira.

Salah satunya, tradisi Perang Pandan di Desa Tenganan Pegringsingan, Karangasem. Tradisi Perang Pandan tentu saja bukan perang sesungguhnya, melainkan lebih sebagai sebuah ritual dari masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai tradisional. Tradisi itu senantiasa menyedot perhatian masyarakat pengusungnya serta mendapat perhatian besar dari pengunjung luar daerah. Mereka tidak hanya sedang menjaga tradisi, melainkan juga sedang memupuk rasa kebersamaan antarwarga. Kebersamaan di dunia nyata — di dunia nyata yang sedang gaduh oleh media sosial dunia maya.

Menjaga kebersamaan melalui tradisi perang tentu saja unik. Keunikan memang jadi ciri khas masyarakat di Desa Tenganan Pegringsingan. Meski disebut perang, tapi tak ada pedang, tak ada pisau belati. Apalagi bedil. Senjata yang digunakan hanya pandan berduri. Makanya disebut Perang Pandan atau biasa juga disebut Makare-kare. Mereka berperang dengan pandan, tanpa rasa marah, tanpa permusuhan. Mereka bermain, bercanda, lebih banyak saling rangkul, saling peluk.

Tidak mudah menjaga tradisi itu. Diperlukan kesadaran dan ketekunan agar tradisi itu terus bisa terlaksana. Terlebih di era digital, kehadiran tradisi bisa dengan mudah tenggelam. Namun, tidak begitu dengan masyarakat Tenganan.  Tradisi Perang Pandan selalu digelar, selalu jadi perhatin. Apalagi acara itu dianggap juga sebagai persembahan bagi Dewa Indra.

Deretan Pandan Berduri

Saat Hari Saraswati, Sabtu, 25 Juni 2016, merupakan hari kedua Perang Pandan di Tenganan. Di sekitar panggung yang menghadap ke bale pemujaan tampak sudah tersedia ikatan-ikatan pandan duri. Pandan duri itu berjejer, disusun sedemikian rupa. Pengunjung mencari tempat nyaman dan tepat untuk menyaksikan ritual adat itu. Sejumlah pengunjung menyiapkan alat rekam gambar. Sejumlah yang lain mencari tempat teduh. Ada pula pengunjung yang sudah siap ikut berpartisipasi sebagai peserta perang.

Deretan Pandan Duri
Deretan Pandan Duri

Di bale penyambutan, beberapa daha mempersiapkan kudapan untuk tamu undangan dari desa tetangga. Tepat pukul 13.00 Wita, tamu datang. Dengan menggunakan kain tenun khas Tenganan, para daha menyambut para tamu. Ada yang menyajikan kopi, ada yang menyajikan kudapan berupa tipat, jaja uli, pisang, ketela rebus, dan sejenisnya.

Perang pandan dimulai dengan acara ngelawang. Acara ini diikut oleh daha dan truna.  Mereka beiring-iringan mengitari desa dengan iringan tetabuhan. Mengitari desa adalah simbol kehidupan yang terus berputar. Setelah dua kali mengitari desa, mereka siap menggelar acara. Tabuh khas Tenganan mengalun pelan dan khusuk. Para daha dengan riasan sederhana memadati bale pemujaan. Para truna dari Desa Tenganan sudah bersiap di sekitar panggung untuk “berperang”. Mereka menggunakan udeng kombinasi merah, hitam, dan putih.

Aksi Perang Pandan diawali para truna asli Tenganan. Mereka berhadap-hadapan, satu lawan satu. Mereka saling memukul dengan pandan duri. Mereka saling melindungi diri dengan perisai anyaman. Yang lengah, badannya terpukul ikatan pandan. Ada yang taka pa-apa, ada juga yang berdarah. Begitu seterusnya secara bergilir. Acara dilanjutkan oleh truna dari desa tetangga. Setelah itu, barulah diundang pengunjung yang ingin ngayah sebagai peserta.

Selama acara berlangsung peserta yang tampil tidak terlihat mengumbar marah, dendam, atau pun kesal. Sebelum mereka tampil, senyum tawa bahagia selalu ada. Saling merangkul, saling memeluk, dan menyapa. Beberapa dari mereka saling memberi dukungan. Beberapa dari mereka saling membantu menyiapkan kostum perang. Saat “perang” berlangsung mereka menebar tawa dan bahagia. Mereka bahagia dan bangga. Pengunjung tertawa dan terhibur. Pengunjung ikut larut dalam semangat ketika peserta tampil dengan penuh garang, tetapi tidak sembarang serang. Terlihat juga peserta yang tampil menari sebelum perang, ada pula mereka yang menyerah sebelum perang. Ada juga peserta yang terlalu bersemangat menyerang, sehingga harus dilerai.

Saling Pukul, Saling Rangkul
Saling Pukul, Saling Rangkul

Yang kalah atau menyerah tidak menyimpan amarah. Mereka tertawa dan duduk bersama. Setelah ritual selesai, mereka saling berpeluk dan berjabat tangan. Tidak ada dendam. Ini semua hanya bentuk persembahan ikhlas. Mereka juga makan bersama dan saling menggosokkan semacam ramuan ke peserta lain agar luka cepat pulih.

Peserta Perang Pandan kini tak hanya dilakukan masyarakat asli. Pengunjung yang berani dan berminat juga boleh mengikuti. Seperti Hare Yashuananda yang sudah berkali-kali mengikuti acara ini. “Modalnya hanya berani. Tidak saja itu, saya merasa terdorong untuk berpatisipasi. Walaupun saya bukan asli Tenganan, tetapi saya bersedia ngayah,” tuturnya.

Warisan Leluhur

Perang Pandan memang dilakukan para truna. Namun para daha sesungguhnya juga punya peran sangat penting. Para daha punya peran penting dalam mempersiapkan acara. Yang menarik, para daha keluar dengan pakaian khas, seperti memakai kemben khas Tenganan. “Ini merupakan cara kami untuk melestarikan warisan leluhur. Kami juga mempersiapkan sesajen dan kudapan untuk tamu undangan,” ujar Yuyun kepala seka daha.

Untuk peserta ritual Perang Pandan memang diperuntukan bagi truna yang sudah siap secara batin maupun fisik. Namun orang tua juga boleh ikut. Tidak ada batasan umur untuk acara ini. “Peserta tidak dibatasi usia, atau pun jumlah. Mereka yang ikut tentu harus matang secara fisik dan mental, serta niat berani untuk ngayah. Jika sudah terpenuhi, maka mereka boleh ikut,” ujar Wayan Arsana, pemuka adat Tenganan.

Penulis bersama para daha Tenganan
Penulis bersama para daha Tenganan

Pandan berduri digunakan sebagai alat ganti senjata perang atau pedang. “Kami berusaha agar tradisi ini akan tetap ajeg, karena penghormatan dan bakti kepada Dewa Indra didasari keyakinan yang ikhlas. Mereka yang ikut ngayah juga yakin, bahwa darah yang keluar merupakan wujud persembahan pada dewa. Terbukti, peserta semakin banyak, bahkan mencapai 160-an. Kami tentu berharap, tradisi seperti ini terus dilaksanakan. Siapa lagi yang akan menjaga tradisi ini kalau bukan kita? Banyaknya pengunjung yang datang dan peserta yang bertambah tentu menunjukkan bahwa tradisi Perang Pandan masih mendapat perhatian,” ujar Wayan Arsana. (T)

Tags: baliTradisi
Wulan Dewi Saraswati

Wulan Dewi Saraswati

Suka menulis, suka berteman. Kini sedang menikmati masa pacaran. Setelah tamat dari Undiksha Singaraja, kini magang jadi guru bahasa Indonesia untuk turis di Ubud

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
9 perempuan book launch
Essay

Still We Rise | Balinese Women Movements: 2 Empowering Projects, 21 Inspiring Women

2021 - A New Year for More Female Voices “Still I rise”. Lecturer, writer, and feminist activist Sonia Kadek Piscayanti...

by Irina Savu-Cristea
December 24, 2020

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Masjid Jami Singaraja [sumber foto insanwisata.com]
Esai

Masjid, dan Kemungkinan Lain di Dalamnya – [Catatan dari Kampung di Singaraja]

Sudah lama sekali rasanya mengikuti bagaimana pola kehidupan yang diatur oleh keadaan mengenai pendemi ini, segala aspek rasanya terpaksa melakukan ...

August 12, 2020
Ulasan

Menyelami “Sisi-Sisi Yang Menghidupkan” dari Gallang Riang Gempita

Judul Buku                  :Sisi-Sisi yang MenghidupkanPenulis                         : Gallang Riang GempitaPenerbit                       : FramepublishingISBN                           : 978-979-16848-7-3Jumlah Halaman         : xxiii ...

November 3, 2019
Pentas kolaborasi ‘Tabu’ yang digelar pada 6 dan 7 Desember lalu di Cushcush Galery, Denpasar dalam rangka Program Hibah Kolaborasi Yayasan Kelola (Foto Iwan Sastrawan)
Ulasan

Tabu Dan Batasan-Batasan yang Mengekang Tubuh

‘Pak, bagaimanakah pandangan bapak tentang tabu di Bali?’ Jika pertanyaan semacam itu yang terlontar ketika melakukan wawancara, percayalah kita takkan ...

December 19, 2019
Ilustrasi: Diyana
Esai

Obrolan Porno – Bacaan Orang Dewasa

Sial, sudah jam setengah 4 pagi. Mata ini belum juga mengantuk. Padahal, dalam sehari aku sudah masturbasi 2 kali. Itupun ...

March 11, 2019
Ilustrasi diambil dari https://mahendramade.wordpress.com/
Esai

Demo Bukan Cara Orang Bali, Orang Bali Cinta Damai dan Santun, Ini Buktinya…

Sebelum memulai artikel ini, saya perlu katakan bahwa di sini saya netral, tidak pro yang demonstrasi, ataupun pro yang anti ...

October 12, 2020

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jukut paku di rumah Pan Rista di Desa Manikyang, Selemadeg, Tabanan
Khas

Jukut Paku, Dari Tepi Sungai ke Pasar Kota | Kisah Tengkulak Budiman dari Manikyang

by Made Nurbawa
January 16, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gus Bass [Foto dokumentasi penulis]
Esai

Gus Bass, Bumbu Sate dan Tempe | Catatan Orang Tua tentang Menu untuk Anak

by Gus Surya Bharata
January 17, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (65) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1349) Essay (6) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (2) Khas (308) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (327)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In