8 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Sastrawan Harus Miskin: Panduan Praktis Menyalahkan Negara (dan Sedikit Menyindir Masyarakat)

Pry S.byPry S.
June 8, 2025
inEsai
Sastrawan Harus Miskin: Panduan Praktis Menyalahkan Negara (dan Sedikit Menyindir Masyarakat)

Foto ilustrasi: seseorang membaca puisi di Komunitas Mahima

AKHIR Mei kemarin, Kompas menerbitkan sebuah feature bertajuk ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra.’ Liputan ini dibuka dengan narasi lirih tentang Martin Aleida yang terbaring lemah di kursi roda, melawan stroke dan kondisi ekonomi yang memburuk. Beberapa karyanya memang mendapatkan penghargaan dan dipuji kritikus, tapi hari ini, yang tersisa adalah tubuh renta dan beban hidup yang tak kunjung reda.

Penyebabnya, menurut narasi feature ini, adalah minimnya perhatian negara dan apatisnya masyarakat terhadap dunia sastra. Tidak ada skema jaminan sosial yang berpihak kepada pekerja budaya, tidak ada sistem royalti yang berpihak pada penulis, dan tidak ada pasar yang sanggup menghargai kerja artistik sebagai kerja produktif.

Feature ini lantas memberi penilaian moral bahwa negara dan masyarakat gagal merawat ‘harta intelektual bangsa.’ Bahwa ini semua adalah akibat dari abainya negara dalam membangun ekosistem literasi, serta kesalahan masyarakat karena hanya menyukai hiburan murahan.

Namun, alih-alih menyodorkan solusi kritis atau membongkar kompleksitas ekosistem sastra, termasuk praktik internal dunia sastra itu sendiri, feature ini malah memilih jalur ‘lagu lama kaset kusut’: melantunkan tembang sumir dunia sastra sebagai lanskap kesedihan struktural, tempat negara dan masyarakat dijadikan kambing hitam abadi.

Glorifikasi Penderitaan: Wacana Mutakhir Sastra?

Tak kurang dari enam narasumber dikutip dalam feature Kompas tersebut, mulai dari nama penting seperti Martin Aleida, Putu Wijaya, Sasti Gotama dari perspektif editor, sampai Maman S. Mahayana yang akademisi sekaligus kritikus.

Digarap menggunakan pendekatan state-centric explanation, narasi Kompas meletakkan negara sebagai pusat gravitasi semua penderitaan. Seolah-olah jika negara ideal, puisi pun akan laku dan sastrawan sejahtera. Masyarakat juga kena getahnya: dianggap tak membaca, tak peduli, dan terlalu malas mengapresiasi sastra.

Kalaupun yang diharapkan dari feature tersebut adalah membangkitkan simpati publik dengan perspektif solutif, framing yang seharusnya muncul adalah bagaimana kita bisa sama-sama bergerak dari sini: mengumpulkan dana crowdfunding misalnya atau menyorot acara-acara penghargaan sastra yang bisa memberikan dampak ekonomi, sekecil apapun itu jumlahnya.

Yang justru menggelitik, tidak ada satu pun perwakilan negara atau masyarakat di feature tersebut dijadikan narasumber. Dengan mengabaikan prinsip cover both sides, ia mengandung kelemahan argumentasi dasar dan mempopulerkan misleading dari kompleksitas persoalan.

Apa betul negara benar-benar absen dari kesusastraan mutakhir kita hari ini? Apakah adil mengharapkan semua sastrawan bisa hidup dari menulis, bahkan ketika di banyak negara maju pun sastra adalah kerja sambilan? Apakah penderitaan fisik dan finansial harus selalu dibaca sebagai ‘kegagalan’ dunia sastra Indonesia, atau justru sebagai bukti ketahanan dan daya hidupnya di tengah banyak keterbatasan?

Kalaupun secara implisit sastrawan lantas dipuja sebagai pejuang idealis yang menulis karena panggilan jiwa bukan demi uang, pujian tersebut terdengar seperti ucapan belas kasihan yang dibungkus romansa. Di satu sisi, sastra dielu-elukan sebagai warisan luhur bangsa. Di sisi lain, derita para penulisnya yang terombang-ambing di antara finansial dan kesehatan, dijual jadi wacana utama.

Jelas ini bukan kekaguman, tapi glorifikasi penderitaan. kita seolah melanggengkan anggapan bahwa kemiskinan adalah harga mulia yang pantas dibayar demi mencintai sastra.

Lagu Lama Kaset Kusut Dirilis Ulang

Dalam banyak perbincangan publik, kita sering melihat kecenderungan konstruksi media untuk menyalahkan negara setiap kali muncul masalah sosial, budaya, atau ekonomi. Pola ini muncul karena negara dianggap sebagai pihak yang paling berkuasa dan bertanggung jawab atas kehidupan masyarakat.

Publik lantas berharap negara hadir memberi perlindungan, bantuan, dan solusi, termasuk di bidang sastra dan kebudayaan. Karena harapan itu tinggi, ketika kenyataan tidak sesuai, negara pun mudah dijadikan kambing hitam.

Dalam analisis framing praktik jurnalisme dan kritik media, pola ini sering disebut sebagai cara redaksi membingkai masalah dengan menempatkan individu atau kelompok sebagai korban dari kegagalan negara. Pendekatan ini bisa berasal dari berbagai cara pandang: mulai dari anggapan bahwa masalah pribadi berasal dari sistem besar yang dikuasai negara, hingga kritik yang melihat negara lebih berpihak pada industri dan bukan pada pekerja budaya.

Dus, media pun kerap mereproduksi narasi yang menyalahkan negara sebagai pelaku pasif atau aktif dari kegagalan tersebut. Ini disebut juga dengan mentalitas menyalahkan negara atau refleks menyalahkan pemerintah, sebuah respons yang umum terjadi saat saluran dukungan non-negara masih sangat terbatas. Dalam rangka inilah idiom ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra’ hendak saya tempatkan sebagai upaya mengangkat ulang wacana lagu lama kaset kusut.

Alih-alih menjadi wacana baru, narasi ini justru mengulang satu pola lama: menjadikan kesusastraan sebagai ruang keluhan moral tanpa kejelasan arah perbaikan. Dan mungkin, justru di sinilah kita menemukan simpul penting dalam sejarah wacana sastra Indonesia mutakhir.

Namun sebelum esai ini terjebak pada kritik media massa semata, saya akan membatasi pada sesuatu yang menarik muncul secara tak terduga di balik glorifikasi penderitaan ini.

Perkaranya begini. Dengan melacak apa-apa saja yang sudah kita lewatkan sejak polemik Balai Pustaka versus Pujangga Baru, Lekra vs Manikebu, Sastra Koran vs Sastra Cyber, Boemipoetra vs TUK, polemik revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM) dan seterusnya, tema kesejahteraan sastrawan boleh jadi merupakan simpul wacana mutakhir kesusastraan kita hari ini.

Sebab alih-alih mendorong pembaruan, kebanyakan polemik terdahulu justru berakhir pada fragmentasi yang mandek. Lalu apa yang tersisa darinya? Apakah benar identitas nasional lebih penting dari kearifan lokal (polemik Balai Pustaka versus Pujangga Baru)? Apakah menangnya liberalisme menunjukkan superiornya atas gagasan luhur sosialisme dunia (polemik Lekra vs Manikebu)? Kemana sekarang redaktur sastra media cetak pasca transformasi media digital (polemik Sastra Koran vs Sastra Cyber)? Apakah betul TUK telah benar-benar hancur hari ini dan komposisi DKJ sekarang jadi lebih egaliter (polemik Boemipoetra vs TUK)? Apakah revitalitasi alias degradasi dan perubahan modern besar-besaran TIM hari ini sebagai kompleks berkeseniannya sastrawan di bawah naungan JakPro bisa dibendung (polemik revitalisasi TIM)?

Kalau dulu perdebatan lebih banyak tentang siapa menang dari pertarungan aktualisasi, ideologi dan legitimasi, sudah saatnya memang fokus kita bergeser ke arah yang lebih ‘maju’ sekaligus juga ‘primitif’: hajat primer bagaimana yang sebenarnya dibutuhkan untuk menghidupi sastra?

Dalam konteks inilah, narasi ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra’mendapatkan tempatnya: kebutuhan fisiologis sastrawan. Meminjam pandangan Maslow’s Hierarchy of Needs, kebutuhan fisiologis inilah fondasi utama yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa mengembangkan potensi diri secara penuh. Begitu pula sastrawan: jika kebutuhan dasar seperti penghidupan layak dan kesehatan tidak terpenuhi, mustahil bagi mereka untuk berkarya secara optimal.

Mungkin memang sudah saatnya kita berhenti menulis ulang kaset kusut penderitaan, dan mulai menulis ulang sistem yang membuatnya tetap diputar.

Indonesia Gelap, Makassar Terang

Hampir bersamaan dengan terbitnya feature yang tengah jadi fokus utama di esai ini, sebuah peristiwa sastra berlangsung di bagian timur Indonesia yang menghadirkan lanskap berbeda, bukan tandingan sempurna, tetapi petunjuk arah baru.

Di saat lagu lama gelapnya masa depan sastra dinyanyikan ulang, sekumpulan pegiat sastra lewat wadah Makassar International Writers Festival (MIWF) 2025 menghadirkan lanskap yang berbeda, lebih muda, lebih cair, dan lebih kolektif.

Dari pantauan media sosial @makassarwriters dan kesaksian seorang teman yang hadir langsung, terlihat bahwa festival ini tidak hanya merayakan sastra, tetapi juga memperluas partisipasi. Gen Z hadir bukan sebagai penonton pasif, melainkan sebagai moderator, pembaca puisi, fasilitator diskusi, bahkan pengelola kegiatan. Mereka tampak tak terbebani warisan konflik sastra masa lalu: ideologisasi, glorifikasi penderitaan, atau ego warisan angkatan.

Salah satu inisiatif penting tahun ini adalah terbentuknya Konsorsium Festival Sastra Indonesia. Di dalamnya, 19 pengelola festival dari berbagai kota duduk bersama, berbagi praktik baik, menyusun kalender bersama, dan menjajaki kerja kolaboratif.

Menariknya, negara turut hadir, namun tidak tampil sebagai penyelamat. Melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, negara menjadi bagian dari percakapan yang lebih luas: membicarakan tata kelola, bukan sekadar memberi pengakuan simbolik. Dalam atmosfer ini, narasi tentang ‘sastra diabaikan oleh negara terasa kurang relevan. Yang terlihat di Makassar justru sebaliknya: negara, masyarakat, dan komunitas sastra saling menjajaki kemungkinan.

Yang perlu dicatat, konsorsium ini belum menjanjikan penyelesaian langsung atas problem kesejahteraan sastrawan, tetapi ia menunjukkan bahwa penguatan ekosistem bisa dimulai dari pengelolaan, bukan hanya keluhan.

Saya pribadi mengusulkan bagaimana konsorsium ini bisa berkaca pada dunia seni musik di Indonesia, khususnya pada pergerakan musisi independen yang lahir di era 90-an, melata di tahun 2000-an, dan menjadi raja di industri musik kita hari ini dan menuliskan idiom baru bahwa ’Musisi Indonesia kini bisa menggantungkan hidupnya pada musik’. Cetak biru skena musik independen inilah yang kiranya patut ditelisik lebih jauh.

Jangan sampai inisiasi tata kelola ekosistem sastra terjebak jadi agenda politik praktis yang selalu mulai lagi dari nol setiap berganti rezim pasca Pilpres 5 tahunan, apalagi sekedar jadi sastrawan musiman yang muncul hanya ketika hibah Dana Indonesiana dibuka.

Penutup: Jangan Matikan Lampu

Dalam feature tersebut, kita bisa melihat penekanan kutipan Martin Aleida yang memandang masa depan sastra Indonesia tampak ‘gelap.’ Sebuah pernyataan getir yang mencerminkan kekhawatiran mendalam tentang arah dunia sastra kita hari ini.

Mungkin itu bukan deskripsi objektif, melainkan cermin kegelisahan sastrawan generasi Boomer yang merasa asing di tengah perubahan. Tapi dari kegelapan itu, kita justru bisa memeriksa ulang sumber cahaya yang kini mulai menyala, bukan dari pusat-pusat kekuasaan budaya, melainkan dari kolaborasi kecil, teknologi terbuka, dan partisipasi publik yang lebih cair.

Dan kalau pun gelap, hari ini kita punya banyak cara untuk menyalakan cahaya, bahkan yang absurd sekalipun. Bayangkan saja hari ini: siapapun bisa membuat akun ChatGPT dan mengunggah lima cerpen Putu Wijaya misalnya. Dengan langkah tiga jurus, kita bisa mengetikkan perintah (prompt), “Dari cerpen yang saya unggah, buatkan cerpen baru bergaya Putu Wijaya tentang pencabutan diskon token listrik 50 persen.”

Hasilnya? Sebuah cerita sureal muncul: seorang pria yang kesurupan token listrik, bertemu petugas PLN dalam mimpi, lalu kehilangan sinyal saat mencoba memahami tagihan listriknya. Semua terjadi saat long weekend yang terlalu panjang hingga akal sehat ikut libur. Terdengar konyol, tapi bukankah absurditas adalah salah satu estetika khas Putu Wijaya sendiri? Ulangi lagi langkah yang sama untuk sastrawan lain, kumpulkan jadi satu bunga rampai, cetak dan nikmati sendiri hasilnya.

Sampai di titik absud ini, masihkah kita memerlukan sastrawan sementara kecerdasan buatan semacam ChatGPT yang menawarkan hal sama tanpa banyak drama? Jawabannya bisa banyak, dan mungkin akan saya sajikan pada esai panduan praktis di kesempatan lainnya.

Yang jelas, eksperimen semacam ini belum bisa menggantikan kedalaman manusiawi dari karya yang lahir dari pergulatan batin. Ia juga menandakan satu hal: bahwa proses penciptaan kini hadir di ruang yang lebih cair, dan absurditas khas Putu Wijaya justru menemukan ladangnya yang baru di dalam sistem yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Di sinilah titik pentingnya. Ketimbang terus mengulang kaset kusut penderitaan, mungkin kita perlu mulai mengganti rekaman lama itu dengan partitur yang baru. Dalam rangka inilah MIWF 2025 dan forum konsorsiumnya memberi kita isyarat bahwa narasi baru sedang tumbuh: narasi yang tidak melupakan luka masa lalu, tapi tidak mau terjebak di dalamnya. Sebuah narasi yang tidak lagi menjadikan kemiskinan sebagai kredensial utama, tetapi mengupayakan agar sastra bisa tumbuh di ruang yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Sebab inilah kenyataan kita hari ini: AI dan teknologi sebagai kotak pandora, sebagai bagian dari lanskap literasi yang bisa kita maknai bersama. Generasi muda membacanya dengan cara baru, menulisnya lewat kanal baru, dan mendistribusikannya tanpa perlu izin pusat-pusat otoritas lama.

Jadi, apakah masa depan sastra Indonesia benar-benar gelap?

Mungkin hanya jika kita terus menutup jendela, enggan membuka tirai, dan mengabaikan cahaya yang perlahan tumbuh di luar sana: dari komunitas, festival, teknologi, hingga footage ala Gen Z yang membaca puisi lewat rekaman Instagram Reels dan video TikTok.

Mungkin juga masa depan sastra justru sedang lahir di tempat yang tak kita sangka: dari suara-suara baru, teknologi yang inklusif, dan semangat gotong royong yang tidak sibuk menasbihkan diri sebagai pusat.

Sebab sastra tidak harus selalu miskin untuk tetap bermakna. [T]

Penulis: Pry S.
Editor: Adnyana Ole

Mengkaji Puisi Picasso : Tekstualisasi Karya Rupa Pablo Picasso
Mengenang Joko Pinurbo [1]: Menemukan Sajak di Sebuah Rumah, di Ujung Sebuah Gang
Benarkah Puisi “Pagar Bambu dan Pasar yang Bergejolak” Membawa Pembaca “Sampai ke Seberang”?
Tags: Sastra Indonesiasastrawan
Previous Post

Wayang Kulit Style Bebadungan, Dari Gaya Hingga Gema

Next Post

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

Pry S.

Pry S.

Mantan jurnalis, aktif menulis esai dan resensi musik di Jakartabeat, Pop Hari Ini dan Serunai. Menggeluti dunia programming dan Agile Framework. Kini tinggal dan bekerja di Denpasar.

Next Post
I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Sastrawan Harus Miskin: Panduan Praktis Menyalahkan Negara (dan Sedikit Menyindir Masyarakat)

by Pry S.
June 8, 2025
0
Sastrawan Harus Miskin: Panduan Praktis Menyalahkan Negara (dan Sedikit Menyindir Masyarakat)

AKHIR Mei kemarin, Kompas menerbitkan sebuah feature bertajuk ‘Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra.’ Liputan ini dibuka dengan narasi...

Read more

Wayang Kulit Style Bebadungan, Dari Gaya Hingga Gema

by I Gusti Made Darma Putra
June 7, 2025
0
Ketiadaan Wayang Legendaris di Pesta Kesenian Bali: Sebuah Kekosongan dalam Pelestarian Budaya

JIKA kita hendak menelusuri jejak wayang kulit style Bebadungan, maka langkah pertama yang perlu ditempuh bukanlah dengan menanyakan kapan pertama...

Read more

Efek Peran Ganda Pemimpin Adat di Baduy

by Asep Kurnia
June 7, 2025
0
Tugas Etnis Baduy: “Ngasuh Ratu Ngayak Menak”

PENJELASAN serta uraian yang penulis paparkan di beberapa tulisan terdahulu cukup untuk menarik beberapa kesimpulan bahwa sebenarnya di kesukuan Baduy...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi
Persona

I Wayan Suardika dan Sastra: Rumah yang Menghidupi, Bukan Sekadar Puisi

ISU apakah sastrawan di Indonesia bisa hidup dari sastra belakangan ini hangat diperbincangkan. Bermula dari laporan sebuah media besar yang...

by Angga Wijaya
June 8, 2025
Cerita Keberlanjutan dan Zero Waste dari Bali Sustainable Seafood dan Talasi di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Cerita Keberlanjutan dan Zero Waste dari Bali Sustainable Seafood dan Talasi di Ubud Food Festival 2025

AWALNYA, niat saya datang ke Ubud Food Festival 2025 sederhana saja, yaitu bertemu teman-teman lama yangsaya tahu akan ada di...

by Julio Saputra
June 7, 2025
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co