SEBELUM bercerita, ia menaruh rokok—yang ia linting dan racik pakai cengkeh sasetan—di sela bibir lalu menyulutnya. Sebentar kemudian asap terembus ke udara. Raut muka yang tadinya agak tegang menjadi lebih rileks. Sepertinya ia siap bercerita apa pun. Sambil menyedot rokok ia mulai menceritakan riwayat tembakau di tanah kelahirannya.
Tamu (40) adalah sedikit petani di Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, yang masih menanam tembakau sendiri. Ia menanam setahun sekali. Tak banyak, memang, tapi cukup untuk ia pakai sendiri—dan dijual sisanya. “Tak banyak petani yang menanam tembakau di sini [Gaji],” katanya pada suatu hari yang terik di gubuk yang ia dirikan di pinggir ladangnya yang berbatu. Di dekat gubuk itulah ia menyemai tembakau. Bibit tembakau itu baru setinggi telunjuk orang dewasa. “Baru sebulan,” ujar Tamu.
Sebagian besar dari bsayi-bayi tembakau itu belum dipindah-tanamkan ke ladang yang lebih luas. Selain belum masuk musim tanam, Tamu mengaku masih kerepotan dalam menyambut masa panen jagung dan merawat kacang tanah yang sudah mulai tumbuh. Meski begitu, ia sudah mencicil menanamnya di lahan yang lebih luas sedikit demi sedikit. “Saya menabur bibit waktu kemarau kemarin. Jadi setiap hari harus menyiramnya,” Tamu bercerita.
Tembakau merupakan jenis tanaman semusim yang hanya bisa ditanam sesuai dengan masa tanamnya. Selain itu, keberhasilan panen tembakau sangat bergantung pada iklim. Hal ini menyebabkan produksi tembakau sangat fluktuatif.
Di ladangnya yang sempit—dan penuh kotoran sapi yang sudah menjadi tanah (lebu)—Tamu menanam tembakau condong jinten dan tembakau bakeong. Tembakau condong banyak dibudidayakan di daerah Senori, Tuban. Sedangkan tembakau bakeong berasal dari Desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. “Tapi saya tidak bisa membedakannya, mana yang condong dan mana yang keong,” ujar Tamu sembari tertawa.

Bibit tembakau condong jinten dan tembakau bakeong yang Tamu semai di antara tanaman jagung dan cabai | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Keluarga Tamu menanam tembakau ini secara turun-temurun. Kakeknya, bapaknya, bahkan mertuanya, adalah sosok yang mengajarinya bertani tembakau—dari menyemai, menanam, merawat, memanen, sampai merajangnya. Tapi ia tidak tahu sejak kapan tembakau mulai di tanam di Desa Gaji.
Sementara itu, petani lainnya, Ngatin (38), malah belum sempat menyemai bibit tembakaunya. Bibit itu masih berupa biji-biji kecil berwarna hitam, nyaris seperti serbuk. Dan sebagaimana Tamu, ia juga menanam tembakau nyaris setiap tahun dan dalam jumlah yang tak luas. “Untuk dipakai sendiri saja,” ujar pria berambut gondrong itu.
Bibit tembakau di Gaji umumnya didapat dari hasil tanaman sebelumnya atau dari kerabat-tetangga, sebagaimana diceritakan Saepan (50), petani tembakau Gaji yang juga sudah mulai menyemai bibit. Para petani tak sampai membeli bibit. Bukan karena tak ada yang menjual, tapi meminta kerabat-tetangga saja cukup. Sebab, di sini, tembakau bukan tanaman pokok, seperti di Temanggung atau di Lombok, misalnya. Tembakau hanya berperan sebagai tanaman selingan—sebagaimana kapas—bukan yang utama.


Bibit tembakau condong jinten dan tembakau bakeong yang Tamu semai di antara tanaman jagung dan cabai | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Di Desa Gaji, kata Tamu, tembakau tidak hanya digunakan untuk merokok, tapi juga nginang—budaya mengunyah daun sirih, gambir, kapur sirih, dan di beberapa daerah juga menggunakan buah pinang. Tembakau untuk nginang disebut berit. Masih banyak perempuan tua Gaji yang melakukan aktivitas tersebut—aktivitas yang oleh François Leguat, penjelajah naturalis Prancis, disebut dapat membuat gigi menghitam dan bukan sesuatu yang menarik untuk dilihat. Sebuah penilaian khas kolonial. Leguat melihat orang nginang saat dirinya berkunjung ke Batavia pada 1708.
Selain itu, tembakau—dalam hal ini kretek—di Gaji juga erat kaitannya dengan tradisi malam Jumatan. Bahwa kebiasaan membakar rokok klembak, dupa, menyan, hingga opium, dulu, sudah menjadi salah satu hal ‘wajib’ bagi sebagian masyarakat Jawa dalam melaksanakan ritual Kejawen. Sesajen berupa rokok kretek dan minuman favorit seperti kopi atau teh biasa disajikan masyarakat Gaji pada malam Jumat sebagai sarana mendoakan ketenangan bagi leluhur atau orang tua yang sudah meninggal.
Tembakau memang bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini ditemukan oleh Christopher Columbus di San Salvador, Kepulauan Bahama. Herbal ini pertama kali dibudidayakan Pemerintah Kolonial Belanda secara massal di Hindia Belanda setelah “bangkrut” karena Perang Jawa (1825-1830). Seiring waktu, pembudidayaan tembakau diambil alih oleh bangsa Indonesia. Terlebih setelah Indonesia merdeka serta nasionalisasi aset-aset yang dikuasai perusahaan asing pada era 1950-an. Sejak saat itu, budidaya tembakau sepenuhnya diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat secara luas. Sampai saat ini, pertanian tembakau memiliki posisi penting dalam menggerakkan perekonomian masyarakat.

Tembakau yang baru saja Tamu tanam di ladangnya dengan pengaman daun jati | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Di Tuban, Jawa Timur, dari 20 kecamatan, sejauh ini hanya ada 8 kecamatan—setidaknya yang tercatat oleh media—yang membudidayakan tembakau. Dari delapan kecamatan yang menanam, Kecamatan Senori menghasilkan tembakau paling banyak. Totalnya 7.119 ton per tahun. Disusul Kecamatan Soko dengan 5.041 ton, Grabagan 3.476 ton, Semanding 2.736 ton, Plumpang 880 ton, Kerek 780 ton, Singgahan 600 ton, dan Parengan 135 ton. Pada 2021, total produksi tembakau di Tuban mencapai 20.768 ton.
“Itu merupakan produksi daun basah,” ujar Kepala Bidang (Kabid) Penyuluhan dan Prasarana Pertanian Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Perikanan (DKPPP) Tuban Sri Yuniati pada saat itu, sebagaimana dikutip Radar Tuban. Untuk kegiatan perajangan tembakau, lanjut Yuniati, baik itu jenis basah atau kering, tersebar di Kecamatan Kerek (638 perajang), Soko (20 perajang), dan Senori (87 perajang). Hasil rajangan tembakau Tuban dipasarkan ke wilayah Bojonegoro, Temanggung, dan Kudus. “Produksi tembakau di Tuban berpotensi dikembangkan lebih lanjut,” katanya kemudian.
Pada 2021, mengacu data rekapitulasi Dinas Pertanian Ketahanan Pangan dan Perikanan Tuban, total produksi tembakau Tuban dihasilkan dari lahan seluas 1.781 hektare. Namun, dari luas lahan tersebut yang bertahan hingga panen hanya 1.667 hektare. Padahal, potensi luas tanaman tembakau di Tuban bisa sampai 3.341 hektare. Mengingat geografi di Tuban sangat cocok untuk perkebunan tembakau. Tetapi jagung sudah kadung menjadi tanaman utama di sini.
Soal harga, pada musim panen 2024, harga daun tembakau basah turun menjadi Rp 4.000 per kilogram. Padahal, tahun sebelumnya mencapai Rp 5.000 per kilogram. Untuk menyiasati turunnya harga jual, petani tembakau di Tuban harus memutar otak untuk, setidaknya, dapat mengembalikan modal tanam. Banyak petani tembakau yang akhirnya merajang—karena tidak cukup modal untuk membawanya ke tempat perajangan—dan menjemurnya sendiri. Sebab, tembakau kering harganya lebih mahal, bisa mencapai Rp 45.000 per kilogram.
Hikayat Tembakau di Karesidenan Rembang
Dalam catatan sejarah—yang dapat Anda temukan di internet, Rembang pada periode 1830–1870 (masa kolonial Belanda) adalah salah satu karesidenan di wilayah Jawa Timur yang terbagi menjadi empat kabupaten: Tuban, Bojonegoro, Blora, dan Rembang—yang bertindak sebagi ibu kota karesidenan, kabupaten, dan distrik sekaligus.

Ladang tembakau milik Tamu | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Menurut D.H. Burger dalam buku Sedjarah Ekonomis-Sosiologis (1962), pada periode Tanam Paksa (cultuurstelsel) (1830-1870), ada tiga macam tanaman penting yang wajib ditanam di karesidenan ini, yakni kopi, tebu, dan nila. Sementara tanaman tembakau tidak begitu berhasil, meskipun demikian kenaikan ekspor tembakau dari Jawa cukup baik.
Buku Sejarah Nasional Indonesia IV (1975) mencatat, ekspor tembakau dari hasil tanam paksa tahun 1830 berjumlah 180.000 gulden dan meningkat menjadi 1.200.000 gulden pada tahun 1840, dan masih meningkat lagi menjadi 2.300.000 gulden pada 1845. Namun, setelahnya, produksi tembakau mengalami kemunduran, sampai periode 1850-an baru mulai meningkat kembali. Pada era ini, tembakau telah membawa kekayaan bagi Kolonial Belanda. Bahkan seorang penulis Belanda—seperti dikutip oleh J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy—menyebut “Jawa [telah] melimpahkan kekayaan demi kekayaan atas negeri Belanda seperti tongkat tukang sihir.”
Pada tahun-tahun sebelum Tanam Paksa, tembakau ditemukan tumbuh di beberapa tempat di Jawa, di antaranya Buitenzorg (Bogor), Priangan, dan Cirebon. Setelah itu, perkebunan tembakau dibuka di tempat-tempat seperti Kedu (sekarang Temanggung), Kediri, Madiun, serta di daerah batu kapur antara Semarang-Surabaya—termasuk wilayah Karesidenan Rembang—sampai Madura. Tetapi, daerah yang lebih menjanjikan berada di sekitar Klaten, Jember, dan Besuki.
Dalam laporan Tembakau, Euforia dalam Ekspedisi Dunia Baru (2021) yang terbit di Kompas, Bambang Setiawan menyampaikan, dalam catatan PTPN 10, pada era Tanam Paksa, ribuan etnis Madura dipaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menjadi buruh di perkebunan tembakau di Besuki, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan daerah tapal kuda lainnya. Perlakuan VOC yang menerapkan kontrak seumur hidup menjadikan para buruh tersebut harus menetap di daerah perkebunan beserta anak cucunya.
Sementara itu, di Karesidenan Rembang pada periode Tanam Paksa, selain tembakau, tanaman padi, tebu, kopi, kanel, murbei—untuk budidaya ulat sutra, jagung, jarak, kapas, dan umbi-umbian, merupakan tanaman yang banyak dibudidayakan Pemerintah Belanda. Hal ini tercatat dalam I. Residentie Rembang in het jaar 1845 (1849) dan I. van Rembang naar Toeban (1850).

Jagung siap panen di ladang Tamu | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Dan sebagai ilustrasi, berikut adalah hasil produksi tembakau di Karesidenan Rembang antara tahun 1841 sampai 1845 yang tercatat dalam I. Residentie Rembang in het jaar 1845 (1849): Pada 1841, produksi tembakau Rembang mencapai 5.631 (pikul); 8.596 (pada 1842); 11.589 (pada 1843); dan 17.390 (pada 1844). Tentu saja, jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan produksi padi. Tetapi lebih banyak dari produksi tebu, kopi, dan kanel.
Mengutip Anne Booth, et.al (1988) Tri Handayani menuliskan, di Kabupaten Bojonegoro—kemungkinan juga di Tuban—sejak dulu sudah dilakukan penanaman tembakau Manilla dan Havana. Hasilnya cukup menguntungkan. Belakangan, jenis tembakau Virginia banyak ditemukan di Bojonegoro dan sekitarnya—bahkan pada tahun 1928 tembakau ini sudah diproduksi PT. BAT (British American Tobacco Company) di Indonesia. Tetapi, sampai tahun 1835, petani terus merugi karena tidak begitu berhasil, alias gagal panen. Kemungkinan disebabkan karena petani kurang terbiasa dengan tanaman jenis baru ini, di samping akibat musim kemarau panjang yang merusak tembakau.
Sejak tahun 1830-an, dalam buku Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek (2011), selain di wilayah Jawa, tembakau juga ditemukan di Kepulauan Kai dan sekitarnya. Demikian pula di Ternate (pada masa ini tampaknya dibudidayakan di Pulau Makian, Pulau Mori, Buru, Seram, Ambon, Hila, dan Saparua, namun setelah periode ini tidak muncul lagi di sumber-sumber pustaka) dan Bali.
Di Karesidenan Rembang, dalam catatan Pieter Johannes Veth—seorang profesor geografi dan etnologi Belanda, tembakau ditanam belakangan setelah Pemerintah Belanda mencoba menanam banyak jenis tanaman di daerah ini. Namun, jika mengacu pada H.C. Bekking dalam De Ontwikkeling Der Residentie Rembang (1861), pada akhir abad ke-16 orang-orang Portugis sudah membawa tembakau ke Jawa. Pendapat ini selaras dengan De Candolle. Tapi Thomas Stamford Raffles lebih percaya bahwa orang Belanda yang membawa tembakau ke Jawa. Namun, terlepas dari siapa yang membawa tembakau ke Jawa, ada kemungkinan petani di Karesidenan Rembang sudah menanam—atau setidaknya mengenal—tembakau jauh sebelum adanya kontrak tanam paksa.
Sejauh sumber yang dapat diketahui, menurut keterangan De Candolle dan kemudian muncul lagi pada buku Nusantara: History of Indonesia karya B.H.M Vlekke, tanaman tembakau diperkenalkan di wilayah Asia ketika Spanyol membawanya ke kepulauan Filipina pada tahun 1575 dari Mexico, dan dibawa ke wilayah Nusantara pada tahun 1601.
Dalam History of Java, Thomas Stamford Raffles menyampaikan bahwa pada tahun 1601 kebiasaan menghisap asap tembakau sudah diperkenalkan orang Belanda di pulau Jawa. Hal tersebut selaras dengan yang tertera dalam naskah kuno Jawa, Babad Ing Sangkala (1738)—baca pendapat sejarawan Ong Hok Ham dan Amen Budiman dalam Rokok Kretek: Lintasan Sejarah dan Artinya bagi Pembangunan Bangsa dan Negara (1988), yang menyebutkan kemunculan tembakau dan kebiasaan menghisap rokok pada tahun 1601 (akhir masa Penembahan Senopati memimpin Kerajaan Mataram Islam). Demikian pula dalam Java: A Traveller’s Anthology (Jawa Tempo Doeloe) (2013)—yang disusun oleh James R. Rush—banyak pelancong barat yang menyinggung soal tembakau dalam jurnal mereka jauh sebelum tanam paksa.

Jagung siap panen di ladang Tamu | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Lebih spesifik, pada tahun 1603, Edmund Scott, seorang Principal Agent untuk East India Company di Bantam (Banten) pada tahun 1603 hingga 1605, menyampaikan: “They (The Javans) due likewise take much tobacco and opium”—mereka (orang Javans) juga mengonsumsi banyak tembakau dan opium. Hal ini menandakan bahwa penggunaan tembakau sudah meluas di wilayah Banten sebelum tanam paksa. Dan Kecil kemungkinan tembakau yang dikonsumsi didatangkan dari daratan Amerika maupun Eropa, mengingat tembakau sangatlah mahal sebagai barang konsumsi orang Jawa saat itu, kemungkinan besar tanaman tembakau sudah mulai ditanam di pulau Jawa untuk kebutuhan sendiri.
Industri Kretek di Tuban
Ada dua industri rokok di Tuban, yakni PT. Warahma Biki Makmur dan PT. Merdeka Nusantara. Kedua pabrik tersebut menyerap tenaga kerja sekira 1.807 orang.
PT Warahma Biki Makmur (MPS Tuban) merupakan salah satu mitra PT. HM Sampoerna Tbk yang didirikan pada tahun 1997. Perusahaan yang berlokasi di Desa Minoharejo, Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban ini bisa dibilang perusahaan produksi rokok lokal yang mempekerjakan karyawan dalam jumlah yang cukup besar yang didominasi karyawan perempuan, lebih dari 90%. Sedangkan PT. Merdeka Nusantara bermitra dengan Produksi Gudang Garam (MPGG).
Seperempat abad sejak penemuan kretek oleh Haji Djamhari, kretek akhirnya menjelma industri besar di Indonesia—yang dirintis Nitisemito di Kudus pada awal 1900-an. Dia sempat berganti-ganti merek untuk produk kreteknya, dari Kodok Mangan Ulo, Soempil, Djeroek, hingga mantap menggunakan merek Tjap Bal Tiga pada 1916. Saking terkenal nama Nitisemito—yang mendapat julukan “Raja Kretek” itu, namanya disebut Sukarno dalam pidatonya 1 Juni 1945. Pada waktu yang hampir bersamaan dengan Nitisemito, Liem Seng Tee mendirikan pabrik Dji Sam Soe dan Sampoerna di Surabaya.
Setelahnya, pada dekade tahun 1930-an berdiri pabrik Nojorono di Kudus, Jawa Tengah, yang didirikan oleh Ko Djee Song dan Tan Djing Thay. Nojorono membuat inovasi rokok tahan air yang sangat populer bagi masyarakat yang berprofesi sebagai pelaut atau nelayan. Ada pula H.A. Ma’roef yang mendirikan pabrik Djambu Bol (Kudus) dan Mc. Wartono mendirikan pabrik Sukun (Kudus).
Pada pertengahan 1950-an, ketika produksi kretek mulai berkembang pesat menjadi industri raksasa modern, muncul beberapa pabrik baru, antara lain, Oei Wie Gwan mendirikan pabrik Djarum di Kudus dan Tjoa Ing Hwie mendirikan pabrik Gudang Garam di Kediri. Di samping itu, terdapat pabrik rokok berskala industri rumah tangga yang tersebar di berbagai kota di Indonesia—termasuk di Tuban, Jawa Timur.
Tapi tak banyak catatan (pustaka) mengenai hikayat industri kretek di Tuban yang komprehensif, selain berita-berita sepintas-lalu. Narasi mengenai sejarah terbentuknya Warahma Biki Makmur dan Merdeka Nusantara, misalnya, sangat sulit dicari.
Namun, dalam Aktivitas Ekonomi Etnis Tionghoa di Tuban Tahun 1945-1959, walaupun tidak spesifik, disebutkan bahwa pada rentang tahun tersebut, ada pabrik rokok lintingan Liem Enghwie (rokok mlindjo, rokok upet, rokok grendel, rokok ulung) di Tuban—di samping pabrik gula Khing Liang, pabrik plastik Jap Hok Khing, pabrik es batu Sian Poen, pabrik es puter The Tan King, dan pabrik penggilingan padi Tan Sam Tjing—yang dikelola orang Tionghoa.

Kacang tanah di ladang Tamu yang sudah tumbuh | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Menurut Liem Twan Djie dalam buku Pedagang Perantara Distribusi Orang-Orang Cina di Jawa: Suatu Studi Ekonomi (1995), etnis Tionghoa memang membuka usaha merajang tembakau di wilayah Tuban yang terletak di Jl. Kuti (sekarang menjadi Jl. Merakurak) dan Jl. Minongo dengan nama “Hakken Tabak” yang kemudian berkembang menjadi “Sigaretten Fabriekanten”. Tembakau rajang dari pabrik ini kemudian disetorkan ke pabrik rokok untuk dijadikan bahan baku rokok kretek atau rokok lintingan.
Sampai di sini, selain PT. Warahma Biki Makmur dan PT. Merdeka Nusantara, sepertinya tidak ada industri rokok lain—besar maupun kecil—di Tuban. Dua pabrik inilah, selain Temanggung, Kudus, dan Bojonegoro, yang selama ini menyerap tembakau dari Senori, Soko, Grabagan, Semanding, Plumpang, Kerek, Singgahan, dan Parengan.
Pada awal 2023, sejak Pemerintah Indonesia resmi menaikkan harga Cukai Hasil Tembakau (CHT), penjualan rokok linting dewe (tingwe) semakin diminati masyarakat, termasuk di Tuban. Debi Trisnanda, penjaga toko tembakau di Tuban, membenarkan jika trend rokok tingwe semakin bergeliat di tanah kelahiran Sunan Kalijaga ini. Pasalnya, meskipun harga cukai tembakau mengalami kenaikan, namun jumlahnya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan cukai rokok pabrikan. “Tembakau juga ada cukainya, cuma naiknya nggak banyak. Paling Rp 1.000-2.000 per ons,” kata Debi sebagaimana dikutp blokTuban.com.
Namun, terlepas dari industri tembakau di Tuban, kretek merupakan bagian dari kebudayaan Nusantara. Kretek adalah identitas yang lahir dari alam dan pengetahuan lokal masyarakat Indonesia. Tidak ada di negeri lain produk yang seperti ini. Kretek tumbuh dan berkembang di negeri sendiri dan menjadi komoditas ekspor yang terkenal di luar negeri. Dan Industri kretek bukan hanya sekadar penting namun telah menjelma menjadi salah satu kekuatan ekonomi bangsa. Kerja keras yang berjalin dengan ketekunan selama lebih dari satu abad itu bisa jadi tidak berarti oleh adanya aktivitas pengendalian tembakau dua dekade belakangan ini. [T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole