“Kita semua adalah kuli…”
Adalah kata-kata yang melekat di benak kepala saya yang ketika pernyataan ini disampaikan oleh Shohifur Ridho’i melalui speaker megaphone yang dibawanya. Menjelang akhir pertunjukan, Ridho membawakan narasi sejarah panjang tentang sejarah migrasi orang-orang Madura sejak zaman Kolonial, khususnya di Pulau Jawa. Melalui pertujunjukan Meksiko, Meksiko, Meksiko, Ridho berupaya membongkar ulang fenomena koreografi Jamet Kuproy yang berkembang di kalangan anak muda Madura Kontemporer. Di balik tarian Jamet Kuproy tersimpan relik-relik arsip tentang gugatan atas kelas dan identitas yang selama ini dianggap liyan. “Kita semua adalah kuli”, memantik kesadaran para penonton melihat kembali ke-kulian-nya di tengah ketakberdayaanya atas, ketimpangan kelas, hegemoni dan kekuasaan suprastruktur dan kapitalisme akut yang membelenggu.
***
APA yang Anda bayangkan dengan tarian Jamet Kuproy dari Madura yang cukup viral beberapa waktu lalu itu? Tarian ini cukup viral di platform media sosial itu, salah satunya Boger Bajinov dengan follower mencapai 35 ribu. Sambil menonton pertunjukan ini dalam hati saya bergumam, akhirnya orang-orang kota ini juga bisa larut dalam tarian ini melalui pertunjukkan bertajuk Meksiko, Meksiko, Meksiko yang tampil pada B-PART ((Bali Performing Arts Meeting) 2024 pada Sabtu (30/11/2024). Betapa tidak, yang saya tahu tarian Jamet Kuproy ini begitu banyak mengundang cibiran negatif dengan citra ndeso-nya oleh komentar netizen.
Pertunjukan Meksiko, Meksiko, Meksiko digagas oleh Shohifur Ridho’i, seniman asal Madura yang menempa kesenimanan-nya di Yogyakarta. Karya ini berangkat dari fenomena tarian Jamet Kuproy yang berkembang di kalangan anak muda Madura belakangan ini. Fenomena koreografi ini berkembang secara vernakular di tengah kehidupan anak muda yang dianggap pinggiran. Melalui penyelidikan artistik menggunakan modus salin-tinampil (reenactment), Ridho mencoba mengembangkan tarian ini menyentuh dimensi politis dari kolektifitas Jamet Kuproy.
Karya ini lahir dari proses pengembangan artistik melalui program PAIRING (Performing Arts Incubation Trajectory) salah satu dari rangkaian program Jakarta International Contemporary Dance Festival (JICON) 2024. Ridho mengembangkan pertunjukan ini berkoloborasi bersama Agus Wiratama (Bali) sebagai produser dan Raymizard Alifian Firmansyah sebagai periset. Sedangkan pada pemanggungan pada BPART 2024, ia berkolaborasi bersama seniman Bali, Adi Gunawan dan Oka Pratama.
Jamet Kuproy dan Fenomena Kontemporer anak muda Madura
Beberapa waktu lalu, beranda media sosial kita melalui platform TikTok dan Instagram diramaikan oleh video tarian Jamet Kuproy, Pemuda dari Madura bernama Boger Bajinov sapaan populernya. Ia merupakan salah satu sosok yang viral di membawakan tarian ini. Secara rutin, ia dan kawan-kawannya membagikan konten video tarian Jamet di akun pribadanya. Followers dan konten kreator lain pun berdatangan, berkolaborasi membuat konten video sehingga membawanya berada di puncak popularitas. Di tengah popularitasnya itu, juga banyak netizen yang berkomentar miring dengan aksi Boger. Komentar miring itu dilontarkan netizen dengan mengaitkan citra penampilannya yang dinilai pinggiran dalam kacamata standar anak muda perkotaan. Bahkan, komentar stereotype identitas Madura yang dianggap bertolak belakang dengan standar nilai-nilai kejawaan dan perkotaan juga kerap kali hadir mewarnai.
Boger hadir di media sosial tampil apa adanya seperti kebanyakan anak muda di pedesaan Madura. Tampilan dengan kaos over size dan rambut panjang menjadi ciri khasnya yang menonjol. Musik remix DJ dengan beat yang dinamis ala klub malam menjadi pengiring koreografinya yang heroik itu. Penampilan dan cara berpakaian Boger diidentikkan seperti kuli proyek alias “kuproy”.
Ia memanfaatkan ruang-ruang di sekitar tempat tinggalnya untuk menari. Rumah sederhana berdinding batu putih kerap kali mencuri perhatian saya. Batu bata putih itu memang menjadi material bangunan yang umum digunakan oleh masyarakat di Pulau Madura. Bentang alam berkapur menghasilkan material batu bata putih yang melimpah, sehingga masyarakat mudah mendapatkannya. Suasana lansekap pedesaan Madura mewarnai setting pertunjukannya.
Apa hubungan Jamet Kuproy, Madura dan Meksiko?
Tarian Jamet Kuproy merupakan fenomena kontemporer anak muda Madura. Kemudahan akses teknologi informasi dalam genggaman tangan mengakibatkan arus pertukaran informasi begitu cepat melalui media sosial. Latar belakang inilah yang membuat siapa saja bisa menyebarkan ide, gagasan, maupun ekspresi termasuk Boger Bajinov dkk lewat tarian Jamet Kuproy-nya. Julukan Kuproy telah melekat kepada para pegiat koreografi ini. Namun julukan itu sungguh sangat dilematis. Kuproy merujuk stereotyping citra kuli atau pekerja kasar yang merujuk pada pengkategorian kelas sosial sebagai warga kelas dua.
Sejalan dengan itu, Identitas etnis Madura juga kerap kali diidentikkan dengan tatapan negatif baik melalui candaan hingga stigma negatif yang serius. Penggambaran negatif kelompok etnis Madura kerap kali diidentikan dengan karakter yang keras, sulit diatur, udik hingga sering kali menjadi bahan candaan. Fenomena ini terus menerus direproduksi melalui berbagai kanal media dengan beragam medium konten.
Di Surabaya misalnya, stereotyping Madura yang negatif begitu terasa. Surabaya bagian utara yang berhadapan langsung dengan Pulau Madura yang banyak dihuni oleh masyarakat etnis Madura. Surabaya Utara sering disebut sebagai Meksiko-nya Surabaya, atau kadang disebut sebagai blok M yang merujuk pada Madura dan Meksiko. Ada beberapa kesamaan mengapa sebutan Madura ini dikaitkan dengan Meksiko. Antara lain, keberadaan Jembatan Suramadu yang disamakan dengan Golden Gate Bridge di Amerika dimana kawasan ini banyak dihuni warga keturunan Meksiko. Selain itu, Meksiko disamakan dengan Surabaya Utara dengan kondisi kota yang semrawut dipenuhi dengan kendaraan truk yang lalu Lalang[1].
Madura dan Meksiko keduanya sebagai kelompok sosial masyarakat yang memiliki kesamaan latar belakangan sejarah di masa lalu. Di masa kolonial, warga Madura banyak melakukan migrasi ke Jawa tepatnya pada abad 19. Pemerintah Kolonial Belanda memperkerjakan orang-orang Madura sebagai buruh pada industri perkebunan di beberapa wilayah di Jawa Timur[2]. Kehadiran masyarakat etnis Madura di Jawa Timur ini akhirnya juga membentuk formasi etnis Pendhalungan yang muncul atas interaksi sosial dan budaya antara masyarakat Jawa dan Madura[3].
Fenomena rasisme dan diskriminasi juga banyak terjadi di Amerika. Masyarakat Amerika keturunan Meksiko kerap kali menjadi sasaran rasisme dan diskriminasi di negara ini. Gelombang migrasi besar-besaran masyarakat Meksiko ke Amerika terjadi dalam beberapa dekade belakangan. Bahkan, kelompok masyarakat Meksiko menduduki peringkat migran terbesar menduduki angka 23 persen dari total kelompok migran lain[4]. Kedatangan orang-orang Meksiko ke negara adi daya ini juga dilatarbelakangi oleh kepentingan ekonomi untuk kehidupan yang lebih baik daripada di negara asalnya. Kehadiran orang-orang Meksiko yang kemudian mengalami integrasi sosial melalui perkawinan dengan masyarakat kulit putih menghasilkan generasi campuran.
Rasisme dan diskriminasi umumnya terjadi karena adanya sentimen negatif masyarakat kulit putih kepada kelompok diluarnya. Ketidaksetaraan pendidikan juga mempengaruhi masyarakat keturunan Meksiko mendapatkan askes ekonomi dan kesempatannya berpartisipasi pada sektor strategis. Fenomena ini telah melanggengan fenomena diskriminasi dan rasisme terhadap kelompok masyarakat keturunan Meksiko[5].
Sebagai orang Jawa Timur, saya perlu meluruskan tatapan kita tentang Madura. Superioritas Jawa yang selama ini menghegemoni kerap kali menempatkan posisi suborndinat Madura sebagai objek inferior. Walaupun hubungan Jawa – Madura telah terbangun lama, namun pada sebagian masyarakat konservatif masih saja muncul segregasi kebudayaan di antara keduanya. Wacana sejarah yang selama ini diamini juga turut membentuk pandangan inferior terhadap Madura dan para perantaunya. Di kalangan sejarahwan-antropolog seperti Kuntowijoyo misalnya pada karya Madura (2002) yang menulis sejarah Madura dalam bayang-bayang Jawa. Ia menempatkan Jawa pada posisi hirarkis yang lebih tinggi turut membentuk asumsi terhadap sejarah Madura sehingga terjebak dalam kolonialisasi historigrafis. Sebuah problem utama dalam penulisan sejarah di negara pasca-kolonial[6].
Kodifikasi Koreografi Vernakular dan Ruang Negosiasi
Pertunjukan “Meksiko, Meksiko, Meksiko”. Koreografer: Shohifur Ridho’i | Foto: Amrita Dharma
Fenomena tari Jamet Kuproy yang berkembang di kalangan anak muda Madura itu merupakan fenomena tari yang berkembang secara vernakular. Kata vernakular berasal dari bahasa latin “vernaculus” yang berarti lokal, asli atau domestik. Istilah vernakular banyak digunakan di bidang arsitektur, seperti istilah “arsitektur vernakular” yang merujuk pada sistem pengetahuan arsitektur yang diciptakan tanpa tenaga ahli arsitek profesional melainkan tumbuh dari pengetahun masyarakat. Arsitektur vernakular diyakini mamapu beradaptasi pada konteks kesetempatan baik iklim, ekologi maupun nilai ekonomi, sosial dan budaya masyarakat[7].
Meminjam kacamata pengetahuan arsitektur seperti diatas, maka tari Jamet Kuproy merupakan bagian dari produk koreografi vernakular yang tumbuh dari masyarakat yang tidak berlatar belakang pendidikan koreografi secara formal dibawah bimbingan profesional. Namun, justru menjadi fenomena koreografi yang berkembang secara organik di tengah masyarakat.
Ridho sebagai seniman pertunjukan mencoba untuk “meminjam” koreografi ini untuk kemudian dibaca ulang dan direkonstruksi menjadi sebuah pertunjukan yang mampu berbicara secara gamblang hingga menyentuh pada aspek politis-estetis. Jika koreografi Jamet Kuproy yang dibawakan Boger Bajinov tumbuh untuk memenuhi kepentingan praktis kelompok pendukungnya di akar rumput. Maka Koreografi Jamet Kuproy pada pertunjukan Meksiko, Meksiko, Meksiko ini berusaha untuk menegosiasikan kepentingan yang bersifat konstruktif dalam rangka menyusun ulang aspek-aspek yang hadir berkelindan dibalik kemunculan fenomena koreografi Jamet Kuproy. Baik itu pada aspek bentuk dan kosa gerak maupun-aspek “politis-estetis” seperti pesan tentang ketimpangan kelas dan marginalisasi identitas kebudayaan yang selama ini dialami oleh etnis Madura.
Ridho memiliki pengalaman ketubuhan yang melekat sebagai orang Madura (insider) ditengah persinggungannya dengan kehidupan kosmopolitan urban Jogja. Dengan membawa koreografi Jamet Kuproy kepada khalayak yang lebih luas, telah menjembatani koreografi Jamet Kuproy yang selama ini dianggap pinggiran kemudian dapat diterima oleh khalayak urban-terdidik. Tak hanya itu, hadirnya koreografi vernakular yang pinggiran ini ditengah kultur urban ini juga menjadi tamparan atas realitas ketimpangan yang menganga lebar. Karya ini menjadi ruang negosiasi untuk menghadirkan pertunjukan yang menampar dengan mengkompromikan estetika kota-desa, terdidik-tak terdidik, Jawa-Madura, elit-pinggiran.
Sebagai catatan, alangkah menariknya jika pertunjukan juga menghadirkan representasi penari atau penampil yang berakar. Misalnya Boger Bajinov sebagai pelaku utama yang bersuara dalam pertunjukan ini. Selain itu, sebagai upaya kodifikasi, perlu adanya babak yang membongkar anatomi kosa gerak koreografi Jamet Kuproy yang dipresentasikan kepada khalayak untuk memahami dan mengiterpretasi tarian Jamet Kuproy ini secara komprehensif.
Terlepas dari catatan diatas, karya ini memberikan keseriuasan dalam upaya membaca peluang koreografi kontemporer yang dianggap pinggiran atau koreografi vernakular menjadi sebuah rangkaian repertoar yang mampu menegosiasikan posisinya sebagai gagasan artistik yang diterima khalayak lebih luas. Lebih dari itu, penonton diajak lebih dekat memahami Madura ditengah tatapan bias yang selama ini dihadapi oleh komunitasnya. [T]
- Ulasan pertunjukan ini ditulis dibawah program Arts Equator Fellowship 2024
[1] “Dilema Surabaya Utara : Dijuluki Meksikonya Surabaya dan Identik dengan Hal Negatif” : https://mojok.co/terminal/dilema-kawasan-surabaya-utara/
[2] Muji Hartanto, “Migarsi Orang-Orang Madura di Ujung Timur Jawa Timur: Suatu Kajian Sosial-Ekonomi”, Jurnal ISTORIA, Vol.8 No.1 (2010).
[3] Mochamad Ilham, Orang Pendalungan (Jakarta: Penerbit BRIN, 2024), hlm.35-39.
[4] Mexican Immigrants in the United States : https://www.migrationpolicy.org/article/mexican-immigrants-united-states
[5] Vilma Ortiz dan Edward Telles, “Racial Indentity and Racial Treatment of Mexican Americans”, National Institite of Health, Race Soc Probl. 2012 April ; 4(1): . doi:10.1007/s12552-012-9064-8.
[6] Syaiful Anam, Demaduralogi: Manusia Madura, Kemewaktuan, dan Memori (Malang: Edisi Mori, 2023), hlm. 8.
[7] Ira Mentayani, Ikaputra dan Putri Rahima Muthia, “Menggali Makna Arsitektur Vernakular: Ranah, Unsur, dan Aspek-Aspek Vernakularitas”, Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2017, hlm. 109.
- BACA artikel lain dariARIF WIBOWO