Memasuki ruang pertunjukan di ruang Mayor yang bergaya arsitektur Cina Peranakan Palembang itu, penonton disambut dengan lagu dangdut Sambolado-nya Ayu Ting Ting. Lagu dangdut populer ini menyambut penonton dengan suka cita yang mencairkan suasana. Ya, musik dangdut memang mampu menyatukan semua kalangan. Para penikmat seni dari berbagai genre rupanya disatukan dengan dangdutan Sambalado dalam pertunjukan ini. Dua perempuan bergoyang bagai biduan di bagian tengah ruangan. Sedangkan tiga perempuan lain duduk bersimpuh sambil berjoget ria di antara gamelan Selonding yang mengitarinya. Sorot lampu warna-warni seakan membawa penonton pada konser dangdut rakyat. Memasuki pertunjukan, dua penari itu melontarkan dialog-dialog centil nan genit kepada penoton. Mulai dari perihal rasa sambal, ulekan dan urusan dapur yang dekat dengan keseharian perempuan Nusantara dengan nada-nada sensual yang menggoda.
Berangkat dari latar kultur perempuan Melayu yang berbasis di Lampung dan Singapura, gagasan pertunjukan ini mencoba menanyakan ulang narasi tentang batu lesung atau cobek yang dekat dengan kehidupan perempuan Melayu dan Nusantara pada umumnya. Dalam khasanah tradisi Melayu, perempuan memiliki kendali penuh dengan urusan dapur. Batu lesung atau cobek batu menjadi salah satu piranti penting dapur untuk menghasilkan ragam budaya gastronomi. Di tengah keseharinya sebagai piranti dapur, batu lesung dan cobek juga menumbuhkan mitos tentang seksualitas perempuan sebagai tubuh yang memiliki otoritas.
Bertajuk “Batu”, adalah sebuah karya pertunjukkan dari kolaborasi dua seniman Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung) dan Hasyimah Harith (Dance Nucleus, Singapura). Keduanya bersama Mulawali Institute menjalani ko-produksi melalui residensi beberapa minggu pada salah satu program B-Part (Performing Arts Meeting) 2024. Sebuah inisiatif temu seni jejering platform, seniman dan kelompok multidisiplin pertunjukan yang diselenggarakan saban tahun di Bali. B-Part berlangsung 29 November-2 Desember 2024 di Masa-Masa, Gianyar, Bali. Sebagai sebuah ruang transit dan pertukaran pengetahuan dari berbagai latar belakang, residensi Ayu dan Hasyimah juga melibatkan kolaborasi komposer perempuan Bali, Ni Komang Wulandari dari Komunitas Nayaknari (Blackkobra) serta Arco Renz (Belgia) sebagai creative presence. Tampil di hari kedua, pertunjukan ini menawarkan gagasan menarik tentang seksualitas dalam perspektif perempuan. Sebuah narasi alternatif di tengah ketabuan perempuan membicarakan perihal seks dan tubuhnya sebagai mahluk biologis yang setara dengan laki-laki.
Menyuarakan Ketabuan melalui Bahasa Koreografi
Di tengah panggung yang dikelilingi penonton duduk lesehan, tergelar sekumpulan batu lesung, cobek dan serta bumbu-bumbu dapur lain. Kedua perempuan Ayu dan Hasyimah duduk bersimpuh melakukan aktivitas membikin sambal. Dua penari asal bumi Melayu itu mengingatkan kita lazimnya perempuan yang sedang beraktivitas di dapur. Kemudian disusul Komang Wulandari yang beranjak dari kalangan gamelan memasuki obrolan mereka. Ketiga perempuan dengan latar belakang budaya berbeda itu menceritakan pengalamannya masing-masing melalui perannya sebagai perempuan di dapur dengan aktivitas sambal-menyambal. Adegan ini menunjukkan bentang keragaman sambal Nusantara dari sambal yang dirajang di Bali, sambal yang diulek di Lampung hingga sambal yang digiling dengan blender di Singapura.
Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma
Ketiga perempuan tampil membawa ragam narasi perempuan dengan latar belakangan kebudayaan yang kuat. Seperti Ayu, sebagai perempuan yang lahir dari kebudayaan Melayu di Lampung, ia menangkap sebuah transfer pengetuhuan dari leluhurnya melalui mitos perempuan yang diharuskan memiliki kempuan membuat sambal dengan cobek sebagai piranti menghaluskan bumbu-bumbu. Dari aktivitas dan gerak ulekan sebagai proses menghaluskan bumbu juga melahirkan mitos lain tentang peran perempuan sebagai mahluk biologis yang memiliki hasrat seksual dengan pasangan. Mitos yang berkembang di kebudayaan Melayu mengatakan bahwa kepiwaian perempuan mengulek sambal di atas cobek juga harus diikuti dengan kepiwaiannya “mengulek” pasangan ketika memasuki fase rumah tangga di kemudian hari. Mengulek dalam konteks ini diartikan sebuah upaya perempuan menjalankan perannya sebagai istri yang harus mampu melayani sang suami dalam melakukan akivitas seksual.
Mitos ini kemudian diolah melalui pendekatan artistik pertunjukan yang membentangkan tubuh perempuan sebagai repertoar arsip untuk membicarakan seksualitas. Eksekusi artistik diekspersikan melalui berbagai medium seperti tubuh kedua penari sebagai medium utama. Sedangkan batu lesung dan cobek menjadi reprsentasi lingga yoni sebagai bahasa semiotika yang sudah umum dipahami dalam perjalanan sejarah kita sebagai simbol alat kelamin laki-laki dan perempuan. Serta sebongkah batu utuh berukuran diameter antara 30-40cmm sebagai material batu yang asali.
Sepanjang pertunjukan kurang lebih sejam itu, Ayu dan Hasyimah sangat eksploratif mengahdirkan koreografinya. Kedua koreografer ini mengekplorasi keragaman gerak tubuh yang merepresentasikan otoritas tubuh perempuan. Sensualitas gerakan menjadi sangat menonjol untuk menghadirkan bahasa tubuh perempuan dalam merespon pengalaman seksualnya. Kedua penampil merespon keberadaan batu lesung sebagai simbol penis laki dengan beragam ekspresi koreografi.
Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma
Pertunjukan ini menghadirkan fungsi batu sebagai bagian dari keseharian yang melekat dengan perempuan. Melihat Batu sebagai elemen piranti dapur yang difungsingkan sebagai alat penghalus bumbu dan rempah hingga sebagai piranti membersihkan tubuh baik untuk keseharian maupun ritus-ritus yang sakral bagi perempuan.
Lebih dari itu, kehadiran batu juga direspon melalui koreografi yang menggambarkan pengalaman seksual dari sudut pandang perempuan. Kedua penari itu membawa batu berbentuk lingga dengan berbagai komposisi koreografi. Babak akhir pertunjukuan ini menghadirkan secara gamblang ekstase puncak dari dari pengalaman seksual perempuan. Diikuti pukulan selonding yang bertalu-talu, kedua penari itu seakan mengalami puncak gairah seksual. Erotisme pengalaman seksual dibawakan melalui koreografi yang puitik sekaligus banal. Ayu menghadirkan ekspresi yang cukup menantang, bagai perempuan yang sedang mengalami puncak gairah seksual dengan gerak tubuh yang tidak terkontrol.
Sebuah lingga ditata diatas sebongkah batu, ia kangkangi seolah melakukan aktifitas persenggamaan. Posisi tubuhnya membungkuk terangkat ke atas, ditahan dengan kedua tangan dan kakinya. Kemudian diikuti tubuh memutar searah jarum jam dengan batu lingga sebagai porosnya. Di babak pamungkas, pasca esktase telah reda, masing-masing penari itu membawa batu lingga disertai dengan formasi gerak yang harmonis membentuk formasi pola lantai dengan komposisi sejajar dan juga berhadapan. Kemudian sebagai penutupnya, Ayu menyunggi sepasangang lingga dan yoni diatas kepalanya dengan posisi duduk diatas batu, sedangkan Hasyimah duduk melantai membelakangi Ayu.
Pertunjukkan ini menghadirkan pengalaman menonton yang unik. Pada babak sebelum memasuki bagian inti pertunjukan yang membicang seksualitas, penonton diajak untuk mengalami perbincangan pada dunia perempuan melalui aktivitas membuat rujak buah. Sebuah aktivitas sosial keseharian yang memungkinkan terjadinya perbincangan mulai dari yang topik keseharian hingga yang tabu dibicarakan, salah satunya urusan seksual. Tak hanya itu, penonton juga diajak merasakan rujak buah yang dibagikan ditengah pertunjukan.
Eksplorasi komposisi musik yang dibawakan oleh Ni Komang Wulandari dan kedua rekannya juga tak kalah menarik. Selonding, salah satu genre gamelan kuno Bali menjadi elemen musik utama yang menciptakan suasana dramatis apalagi pada babak yang menghadirkan ketegangan. Tak hanya itu, sumber-sumber bunyi dengan komposisi tertentu juga dihadirkan melalui eksplorasi benda-benda keseharian seperti batu lesung, pisau dan benda-benda yang diketukan pada lantai. Komposisi musik pengiring pertunjukan ini tampil menjadi bagian yang menyatu dengan pertunjukan. Pemusik juga terlibat menjadi penampil alih-alih hanya menjadi pemusik belaka.
Melawan Mitos
Dua perempuan Muslim-Melayu Ayu dan Hasyimah ini cukup berani dan menantang konstruksi kemapanan perempuan ditengah ketabuannya membicarakan pengalaman seksual apalagi dalam kultur dunia yang sangat patriarkis ini. Dalam konstruksi dunia yang patriarkis, perempuan kerap kali menjadi objek hasrat seksual laki-laki. Keadaan ini dilanggengkan dengan kapitalisme yang menjadikan perempuan sebagai komoditas yang laris manis dalam sistem ekonomi pasar.. Narasi media pun ikut melanggengkan objektifikasi perempuan. Seperti narasi perempuan sebagai sosok dengan tubuh ideal, penyangga keluarga, objek seksual, dan perempuan sebagai sosok yang identik dengan dapur. Kondisi diatas menyebabkan perempuan kerapkali tersubordinasi atas dominasi laki-laki termasuk dalam uruasan seks.
Performance “Batu”. Kolaborasi Ayu Permata Sari (Ayu Permata Dance, Lampung), Hasyimah Harith (Nucleus Dance, Singapura) dan Ni Komang Wulandari (Komunitas Nayaknari/Blackkobra, Bali) | Foto : Amrita Dharma
Sepanjang sejarah, hubungan kesetaraan laki-laki selalu diposisikan sebagai subjek sedangkan perempuan sebagai objek tertanam kuat dalam budaya baik itu seni adiluhung, seni kerakyatan hingga industri pornografi, budaya pop dan budaya sehari-hari. Bahkan tanpa kesadaran kritis, perempuan kerap kali terbawa cara tatapan laki-laki menatap dirinya sendiri. Imam Setyobudi, dkk dalam jurnalnya berjudul Antropologi Feminsme dan Polemik Seputar Tubuh Penari Jaipongan menurut Perspektif Foucault mencoba mananyakan ulang laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek dalam diskursus kesetaraan. Melalui pembalikan posisi perempuan sebagai subjek dan laki-laki sebagai objek, justru perempuanlah yang menggunakan tubuhnya untuk menguasai dan mengendalikan laki-laki. Lebih lanjut ia menyitir komentar Kris Budiman dalam salah satu bukunya yang menggambarkan relasi seksual antar laki-laki dan perempuan. Justru perempuan yang melahap laki-laki, bukan sebaliknya. Mustahil sosis melahap mulut, melainkan mulut melahap sosis!. Penggambaran ini maksudnya, dalam hubungan penetrasi justru organ tubuh perempuanlah yang secara aktif melahap organ tubuh laki-laki. Begitulah penggambarannya sebagai usaha untuk membalik mitos yang selama ini memposisikan perempuan sebagai objek dalam masyarakat patriarki.
Pada pertunjunkan ini, Ayu dan Hasyimah berusaha menantang narasi itu dengan menghadirkan tubuh perempuan yang dimilikinya secara utuh, dengan memposisikan tubuh perepempuan yang setara dalam menikmati pengalaman seksual dan membincangkannya kepada publik tanpa stigma dan stereotipe negatif. Melalui pertunjukan ini, penonton diajak untuk memahami tubuh perempuan dan suara-suara yang kerap kali tak didengarkan bahkan dipinggirkan. [T]
Ulasan pertunjukan ini ditulis dibawah program Arts Equator Fellowship 2024
- BACA artikel lain dariARIF WIBOWO