FESTIVAL Film Sinema Akhir Tahun #9 mendapat apresiasi yang sangat positif dari para sineas di Nusantara. Buktinya, festival film yang digelar Mahasiswa Program Studi (Prodi) Film Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2024 itu menerima lebih dari 300 karya film.
“Setelah kami melakukan kurasi, dari 300 film itu akhirnya memilih 5 Film untuk kategori Layar’e Cah ISI, 12 Film kategori Layar Umum dan 4 Film untuk Layar Pelajar,” kata salah satu Kurator, Ahmad Faiz, Rabu 13 November 2024.
Para sineas itu berasal dari berbagai kota di Indonesia itu, ada yang dari Bandung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Depok, Surakarta, Tangerang, Jepara, Tegal, Garut, Kalimantan Selatan, Padang Panjang, Padang, Payakumbuh, Jakarta Selatan, Pontianak, dan Pangkalpinang.
Ada pula dari Kota Ponorogo, Pekanbaru, Lombok, Samarinda, Malang, Tomohon dan Denpasar. Khusus peserta dari Kota Denpasar, sebetulnya ada beberapa film yang masuk, tetapi setekah dikurasi hanya 1 karya film yang lolos kurasi.
Ahmad Faiz mengatakan dari 20 film pendaftar di program Layar’e Cah ISI Solo terpilih 5 film yang lolos kurasi. Film yang masuk dengan menampilkan keragaman genre dan pendekatan artistiknya, sehingga film tersebut tidak hanya diproyeksi sebagai menggambar, tapi bisa menggambarkan.
“Inilah yang memantik kurator untuk menuliskan pembacaan terhadap lima film yang bisa dianggap sebagai gambaran perkembangan mahasiswa Film & Televisi ISI Surakarta,” terang Ahmad Faiz.
Menurutnya, karya-karya yang dipilih menjadi catatan kecil tentang sinema, tren budaya, dan perdekat isu yang potensial di masa sekarang. Meski memiliki kekuatannya masing-masing, ‘selera pengkarya’ tidak cukup menjadi landasan awal kurator menentukan lolosnya suatu film.
Sebab, perlu memastikan bahwa film-film tersebut menyampaikan tema, visi, atau pesan tertentu yang selaras dengan tema Sinema Akhir Tahun 9; Niti Tangga.
Pada tataran karakter, Balada Baya menjadi film komedi yang menggunakan psikologi sosial sebagai penggerak cerita. Tak hanya itu, kesungguhan pengkarya untuk menghasilkan film yang ringan namun tetap ‘berisi’ bisa ternilai dari konsep teknisnya.
Guk-guk dan Kiwo Tengen memberikan kebebasan tafsir antara fantasi dan ekspresi kepada penonton sehingga menghasilkan banyak perspektif tentang sosio-kultural. Walau terkadang masih ambigu dalam narasi filmnya, tetapi film ini menjadi harapan baik tentang ‘ekspresi karya’ dalam menilai sesuatu.
Persoalan komunal, seperti di film Peserta Kerja Bakti menjadi kekayaan pengolahan cerita tentang bagaimana isu sosial dan dominasi antar karakter dipilih sebagai karya yang perlu bertemu dengan penontonnya agar membentuk harmoni baru dalam bentuk diskusi.
Sedangkan film experimental, seperti Abimanyu Gantung menjadi film tari yang tidak cukup dinilai dari segi teknis dan pendekatan, tetapi juga penyelarasan dengan statement sutradara.
“Penting untuk dicatat, dari lima film tersebut kami selaku kurator berharap adanya diskusi berkelanjutan tentang isu, konsep dan pendekatan bentuk film guna memberikan pengalaman menonton dan relevansi kebudayaan,” harapnya.
Kurator Dwi Windarti merasa terkejut dengan beragam ekspresi yang semakin-makin berani. Namun, film sebagai bahasa komunikasi agaknya masih banyak yang berjarak antara filmmaker dan penontonnya.
“Sering kali gagasan yang ingin disampaikan kurang tebal dan kurang sampai,” ucap Dwi Windarti yang memberi catatan.
Sementara Kurator Bani Nasution mengakui program Layar Umum Sinema Akhir Tahun 2024 menampilkan deretan film pendek yang memperlihatkan ketajaman dalam membingkai gagasan melalui medium film.
Film-film terpilih menunjukkan kepiawaian bercerita yang mendukung pesan yang ingin disampaikan, sehingga setiap elemen visual, suara, dan penyutradaraan memiliki peran signifikan dalam menciptakan pengalaman sinematik yang mengajak penonton untuk berefleksi.
“Film-film ini membawa kita melalui perjalanan visual, emosional, dan karakter, membuka ruang diskusi yang lebih luas antara penonton dan pembuatnya,” ucapnya serius.
Sedangkan Kurator Galih Pramuditho merasa pada kurasi Sinema Akhir Tahun ini, dirinya dan tim kurasi yang lain memilih total 12 film yang akan diputar pada Program Layar Umum. “Kurasi film tahun ini tentunya penuh dengan ragam bentuk, emosi dan gagasan,” bebernya senang.
Pada permainan bentuk, ada After Party yang bereksperimentasi pada pengalaman penonton, memanfaatkan bentuk dan mempretelinya. Fate adalah pengalaman sinematik sederhana, cenderung kontemplatif yang berdasarkan pada cerita Adam dan Hawa.
Akibat Internet Bebas melanggar semua batas yang ada, entah itu norma dan juga sinematik, membawa pesan mengenai edukasi internet tidak pernah semenyenangkan ini.
KAAK merupakan film tarian yang tidak seperti tarian koreografi saja, tetapi juga bermain dengan gestur dan estetika sinematik. Pada ranah emosi, ada Tanpa Syarat yang cukup emosional mengiris emosi penonton hanya dengan dialog penuh dengan emosi meletup-letup.
Ngudang membawa kita larut pada duka berkabung seorang Ibu yang kehilangan anaknya. Ballad in a Sea Of Rubbish berlandaskan pada cerita sederhana namun memiliki kompleksitas emosional yang kompleks.
Galih Pramuditho menegaskan, pada aspek gagasan, ada berbagai macam gagasan yang ditawarkan pada kurasi Sinema Akhir Tahun ini. Gagasan mengenai perjuangan perempuan adalah hal yang lumrah dalam festival film, tahun ini, ada Laterpersoken yang membahas sistem patriarki di tanah Karo, Layla Want It yang fokus pada kegelisahan gadis remaja di kala masa puber.
Komedi satir juga hadir dalam kurasi tahun ini. Only God Can Judge Me yang fokus menyindir kelompok agama, Santunan yang menyindir selebritas internet. “Dua film ini merupakan kombo pas dalam menggelitik tentang kehidupan masyarakat sehari-hari,” sebutnya.
Terakhir ada Ramo Bucco’ yang membahas pada gagasan relasi kuasa di lanskap agraria. “Walaupun beragam, film-film pilihan kurasi kurator tahun ini fokus tentang bagaimana manusia merespon keadaan sekitarnya. Entah itu merespon duka, ketidakadilan ataupun dunia yang kejam ini,” jelasnya. [T][Rls/*]