DUA belas jam menanti penerbangan di Jakarta menuju Bengkulu membuatku termenung dan hanyut dalam pikiran: Mungkin ini semua hanya mimpi dan ketika pesawat tiba aku akan terbangun.
Jujur saja, walau kerap mengikuti sayembara cerpen dan berhasil membawa pulang medali perunggu Peksiminas XVI, adanya Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) baru kuketahui dua bulan sebelum waktu pengajuan naskah ditutup, dari seorang teman via Instagram. Alhasil, ditambah perjalanan menulis yang baru menginjak tahun ketiga, aku tidak memancang ekspektasi apa-apa. Sedari proses riset hingga penyuntingan, semua itu kuniatkan untuk mengisi waktu luang selepas menuntaskan keperluan wisuda.
Meski demikian, Tuhan selalu saja menuliskan alur yang lebih baik—mencuri ungkapan Bioy Casares, la trama celeste (plot surgawi). Tepat sebulan setelah tali toga berpindah—masa-masa ketika badai kegamangan tak bosannya menerpa—Bang Gustra Adnyana, selaku pihak UWRF, mengabarkan kalau salah satu cerpen yang kuajukan membuatku terpilih menjadi Emerging Writer tahun ini.
Tentunya, selain rasa bahagia, kebingungan memborbardir pikiranku: Secepat ini? serius langsung lolos, nih? Nanti aku harus bersikap bagaimana? Apa aku bisa diterima mereka yang sudah lebih banyak membuahkan tulisan? Namun, itu semua perlahan sirna setelah beberapa kali bincang-bincang via zoom sebelum keberangkatan. Baik pihak penyelenggara, dewan kurator, dan rekan Emerging lainnya, interaksi dengan mereka hanya memunculkan kehangatan bagiku.
Perjalanan ke Bali, selain memakan waktu panjang, menjadi pengalaman pertamaku bepergian ke luar kota seorang diri. Akibatnya, sesampainya di penginapan, penat memenuhi raga dan jiwaku. Tapi, untungnya, sambutan dan obrolan singkat dengan Bang Arif Purnama dan Bang Nanda Winar (Emerging Writer asal Padang dan Aceh), yang sampai lebih dulu, seketika memangkas rasa lelah.
Begitu juga esok paginya, perkenalan dengan Bang Ade Mulyono dan Bang Kurnia Gusti (Emerging Writer asal Tegal dan Tanggerang) menambah warna baru untuk anak muda dari daerah yang kerap disangka terletak di Kalimantan ini. Tidak berhenti sampai situ, beberapa interaksi dengan rekan Emerging perempuan (kebetulan, tahun ini gender penulis yang terpilih terbagi rata) juga memenuhi hari-hari selama di Ubud. Walau, kebanyakan guyonan dan cengcenganlah yang kudapati.
Bincang-bincang sedari sarapan sampai malam buta, yang terus bergulir hingga hari terakhir, memperluas horizon harapanku terhadap sastra. Pengalaman dari latar belakang mereka yang berbeda-beda, pandangan terhadap dunia kreatif, kesan mereka terhadap politik dan komedi dapur kesusastraan, semua obrolan itu—yang selama ini kudamba ada di kota asal—sampai bila-bila akan terus mengakar dalam batok kepala. Bisa dikatakan, di Angkatan UWRF ini, akulah si bungsu yang mengekori bayangan kesembilan kakaknya.
Selama festival, selain peluncuran antologi, ada tiga momen yang paling berkesan untukku.
I. Goenawan Mohamad: Arti Kesunyian Si Penyair Malin Kundang
Sejak para pembicara mulai diumumkan melalui media sosial UWRF, perhatianku hanya tertuju pada satu orang: GM. Dari banyaknya penyair, aku merasa begitu dekat dengan puisi-puisi GM. Entahlah … bagiku, kebisuan bisa begitu bising lewat pilihan katanya.
Goenawan Mohamad (kiri) dan saya | Foto: Dok. Arif Kurniawan
Menghadiri sesi peluncuran buku puisi dwibahasanya, Don Quixote, memandang GM begitu dekat, membuatku tidak hentinya kegirangan. Sampai sesi tanya jawab, dengan gemetar, kuberanikan diri untuk mengangkat tangan. Namun, ketika mulai berbicara, dan GM yang sejenak terkejut mengetahui kalau ada seorang pembaca muda yang terpikat, dan khatam, dengan puisi-puisinya, menyirnakan semua kecemasan.
Pak Goen, kataku, dalam puisi-puisi Anda, saya merasa bahwa kesunyian, kesepian, kemuraman, kedukaan, adalah karib-karib Anda. Tapi, entah bagaimana, itu semua juga memikat saya. Jadi, pertanyaan saya, apa kesunyian bagi Anda?
Tepat setelah mengembalikan pelantang suara, hanya rasa senang yang kuketahui, mungkin aku juga lupa untuk berhenti tersenyum sepanjang sesi.
Pertama, mulainya, saya mau berterima kasih karena sudah membaca tulisan-tulisan saya. Jarang ada anak generasi saat ini yang terhubung dengan karya saya. Mendengar ini, makin berlipat-lipatlah kegiranganku. Setelah itu, GM menjelaskan bahwa ia tidak pernah memutuskan sejak awal akan jadi seperti apa puisinya. Puisinyalah yang menjadi, membentuk, dirinya sendiri. Tapi, kemudian, ia berpendapat kalau kesunyian amat diperlukan, apa lagi di tengah kebisingan kini hari yang melaju kian cepat. Bayangkan Taman Zen, sambungnya, enggak perlu jauh-jauh ke Jepang juga, tinggal dicari di internet. Kesunyian itulah penyeimbangnya, suatu ruang tenang bagi kita untuk berkontemplasi. Jadi, bagi saya itulah pentingnya kesunyian.
Lanjut ke sesi tanda tangan, aku membawa buku sendiri dari rumah. Sekali lagi, aku dibuat bahagia dengan kehangatannya. Tak ada mimpi paling indah bagi seorang pembaca, selain diucapkan terima kasih oleh penulis panutannya. Kamu sering ke Jakarta? tanyanya sembari menandatangani puisi favoritku, Meditasi. Tidak, Pak, jawabku—entah apa maksud dari pertanyaan itu. Selepas berfoto dan sembari menjabat tangan, GM kembali berterima kasih diiringi senyuman teduh.
Seumur-umur, aku tidak pernah membayangkan momen seperti ini dapat terjadi.
II. Seno Gumira Ajidarma: Banyolan yang Mendarah Daging
Agaknya, alasan banyaknya tokoh flamboyan, easy-going, ceplas-ceplos dalam karya SGA dikarenakan mereka semua adalah serpihan diri si pengarang langsung. Sesi bincang-bincang SGA adalah yang “paling ramai pertanyaan” karena si empunya sesi tidak punya, mungkin tidak menyiapkan sama sekali, hal untuk dibicarakan. Alhasil, SGA hanya menjawab pertanyaan yang bergantian dilontarkan para hadirin. Walau pada akhirnya, tanggapan tanpa jawaban pasti pula yang diutarakannya.
Meski demikian, aku cukup senang karena berhasil, agaknya, membuat SGA sedikit “berpikir” ketika menjawab. Bagi Pak Seno, tanyaku, bagaimana membedakan tulisan yang buruk dengan tulisan yang baik, dan kapan momen Anda mengetahui bahwa tulisan yang Anda tulis sudah selesai, tidak perlu lagi disunting?
SGA, yang pada pertanyaan sebelum-sebelumnya langsung menjawab alakadarnya, kini diam sejenak, memandang langit-langit, mungkin tengah menerawang ke luar atap. Kemudian, kurang-lebih, menjawab seperti ini: Saya mulai dari yang kedua. Jujur, saya tidak pernah tahu kapan tulisan itu benar-benar selesai. Saya hanya menuliskannya. Dan untuk pertanyaan satunya lagi, saya bisa katakan begini, tulisan yang baik itu latihan keterampilan menulis kita, sedangkan tulisan yang buruk itu latihan keterampilan membaca kita … Yahh, saya rasa, itu, tutupnya dengan seringai jenaka.
Aku sebenarnya mengharapkan jawaban yang lebih “nyastra”, semacam wangsit dari orang yang kerap dijuluki “berhala” itu. Tapi setelah kupikir kembali, memang tidak ada klenik atau kemegahan yang meledak-ledak dalam proses kreatif. Tidak seperti produknya, perjalan untuk menjemput itu memanglah apa-adanya—bahkan, kadang kala penuh kemuraman.
Sesi itu, seperti sesi lainnya, diakhiri dengan penandatanganan karya dan foto bersama. Ya, silahkan, silahkan, katanya ramah tiap kali hadirin meminta izin. Toh, foto tinggal foto, kan?
III. Soesilo Toer: Abadinya Jiwa Muda
87 hanya angka bagi Soesilo Toer. Usia senja tak kuasa menumpulkan ketajaman ingatannya. Bahkan, sebelum sesi peringatan 100 tahun kakaknya—Pramoedya—dimulai, beliau sudah begitu ceria berbincang-bincang dengan siapa saja yang mau duduk di sampingnya dan mengajukan pertanyaan ini-itu. Dan mendapat kesempatan sebagai salah satu pembicara bersama beliau, tentu menjadi pengalaman yang surreal.
Begitu banyak yang Pak Soes bagikan sepanjang sesi. Watu satu jam bahkan berlalu seperti beberapa menit. Mulai dari riwayat singkat keluarganya, Pram yang sempat tak naik kelas, sedikit membahas akhir hayat Pushkin—yang secara pribadi, menjadi favoritku dalam hal cara matinya para penulis besar setelah Mishima, ketidakadilan yang menimpa mereka bersaudara, juga hari-hari akhir sang nenek, si Gadis Pantai, ketika ditanya salah seorang hadirin, Kak Dewi Setiawan. Tapi, yang paling menarik adalah ketika beliau membagikan pengalaman kelam Pram semasa di penjara.
Soesilo Toer dan saya | Foto: Dok. Arif Kurniawan
Kurang-lebih, seperti ini terang Pak Soes: Pram bosan dengan makanan penjara. Jadi, dia mau makanan baru. Kamu tau, apa makanannya, tanya beliau ke hadirin. Pensil sama kertas! Jadi, Pram itu diam-diam menulis karena itu dilarang di penjara. Suatu kali, ada sweeping. Pensil Pram ketinggalan di atas ranjang. Jadi, pensil itu digenggamnya, terus pura-pura sakit perut. Ketika ditanya oleh sipir penjara, Pram bilang kalau dia sakit pertu. Jadi, sipir itu nendang perutnya Pram dan disuruh ke WC. Di WC, pensil yang dipegang dimasukkan ke anusnya. Ya, pantat. Supaya tidak ketahuan.
Mendengar cerita itu, Fitra Ariesta, selaku interpreter, sontak kebingungan mesti menyampaikan dengan kata apa agar terdengar “halus” bagi hadirin. Jujur, momen singkat itu, dahi yang sepersekian detik mengernyit tegas dibarengi senyum yang tersimpul kikuk, kemudian sebisanya menerjemahkan adegan ekstrem itu sesopan mungkin, menjadi salah satu gambaran yang tak terlupa. Untungnya, Iyas Lawrance, selaku moderator, secara apa-adanya menyampaikan itu ke hadirin. Agaknya, Fitra begitu ketat dalam memilah kata yang terlontar dari mulutnya.
Di penghujung sesi, Pak Soes menyatakan sikapnya ketika ditanya mengenai kehidupannya kini sebagai pemulung, meski memiliki riwayat pendidikan mumpuni dari negeri kelahiran Tolstoy dan Dostoevsky itu. Beliau dengan bangga menerangkan betapa, pada nyatanya, kegiatan memulung ikut berdampak krusial menjaga keasrian lingkungan. No problem! cetusnya menanggapi pihak yang mungkin memandangnya aneh. Saya hidup bukan dari mereka.
Sebagai penutup, ada satu kalimat yang kerap dijargonkan Pak Soes, dan akan selalu menggema sepanjang langkahku: Hidup harus berani! Menang-kalah lain lagi.
Selain ketiga itu, tentu masih banyak hal berkesan lainnya. Hanya saja, akan terlalu panjang jika dituliskan satu-satu. Ditambah ini adalah festival pertama yang kudatangi, slogan Ubud is Magical terasa benar adanya untukku.
Hari terakhir datang dan menjadi ujian ketegaranku menghadapi perpisahan. Karena jadwal penerbangan malam hari, aku menjadi yang paling terakhir meninggalkan penginapan. Memandangi punggung mereka pergi—pulang ke kesibukan dan kesunyian masing-masing sampai waktu perjumpaan kembali yang hanya Tuhan tahu, kamar yang kehilangan candanya dan hanya menyisakan selimut-selimut kusut, rupanya lebih menyesakkan dibanding diselingkuhi dalam hubungan cinta masa remaja.
Bersama penulis emerging lain di UWRF 2024 | Foto: Dok. Arif Kurniawan
Berkeliling seorang diri, melewati venue festival yang perlahan dibongkar, seketika menghapus magis yang selama ini menyelimuti: Ubud, bagiku, hanya menawan jika bersama kawan.
Sore hari, sopir mengantarku ke bandara. Sepanjang jalan aku hanya menatap kosong kemacetan yang baru pertama itu kusaksikan langsung. Kantuk perlahan mengisi jiwa lalu aku terlelap. Begitu juga di bandara, aku khusyuk seorang diri, tenggelam dalam lembar-lembar puisi GM, lalu tidur sepanjang penerbangan.
Jika sebelumnya aku mesti menunggu seharian, kini aku mesti menunggu semalaman. Sedari waktu pesawat tiba, lalu menaiki anak tangga, sampai duduk di kursi penumpang dan mengencangkan sabuk pengaman, perubahan euforia yang begitu tiba-tiba itu menciptakan jurang kenyataan dan memuntahkan keraguan yang memenuh sum-sum kesadaran.
Pukul 11.25 pesawat mendarat di Bengkulu. Dalam benak, aku masih berpikir: Mungkin aku akan terbangun setelah turun pesawat.
Ternyata tidak.
Ah, mungkin sebentar lagi, tepat setelah keluar bandara.
Masih juga tidak.
Ketika menarik koper, seorang bapak-bapak menepuk pundakku dan berkata: Mas, itu tangannya berdarah. Entah tersayat apa, tak kusadari kelingking dan jari manis kananku terluka. Untungnya, darah tidak mengenai kemeja putihku. Ketika memandang jemari berlumur merah saga itu, juga perih mulai mencuat, dalam hati terpantik satu perasaan aneh, semacam rasa syukur, serupa kelegaan selepas sunat.
Hah … ternyata bukan mimpi. [T]
Rejang Lebong, November 2024