DI Subak Pedahanan, Desa Angantaka, Abiansemal, Badung, tiba-tiba berubah jadi ruang pameran seni rupa. Ini barangkali bukan sesuatu yang baru, namun seni rupa di tengah sawah tetap memiliki sisi-sisi keunikan, karena alam raya senantiasa ikut memberi warna.
Pameran seni rupa itu tepatnya dilakukan di Balai Subak Pedahanan. Pameran menghadirkan karya seniman patung, yakni Nyoman Bagiana, dan seniman lukis I Wayan Santrayana serta seniman lukis I Gede Made Surya Darma.
Bagiana adalah seniman patung yang juga anggota Subak Pedahanan yang terkenal dengan pembuatan patung kayu kurungan ayam. I Gede Made Surya Darma (penulis) adalah seniman muda dari Tabanan.
Kenapa ada pameran seni rupa di tengah sawah di Subak Pedahanan? Ceritanya begini:
Pada tanggal 30 Oktober 2024, Ecolise yang diwakili oleh Sarah Queblati, yang juga Co-founder and Executive Director Green Releaf Initiative, Inc., berkerja sama dengan Subak Pedahan melakukan kegiatan representasi mengenai lokakarya tentang Bioregional Mapping.
Pameran seni rupa di Balai Subak Pedahan | Foto-foto oleh Benindra Sanjaya
Sebelumnya, 27 Oktober2024, telah dilakukan lokakarya pemetaan Bioregional dari Ecolise yang diwakili oleh Sarah Queblatin. Acara itu dihadiri 22 LKK Subak Pedahan, Pekaseh Pedahan I Wayan Sarimerta, Pekaseh Uma Bun Ketut Nada, Pekaseh Padedekan Bapak Sardiana, Majelis Alit Abiansemal Bapak Sugiarta dan Forum Pasedehan Yeh Lauh.
Hadir juga unsur Majelis Madia Kabupaten Badung Agus Gede Widita, PPL, Windu Putra, Kepala BPP Abiansemal Dewa Ari Parwata, Pasar Rakyat Bali Benindra Sanjaya, dan dari unsur petani muda.
Saat itu hadir juga seniman I Wayan Santrayana dan I Gede Made Surya Darma, penerjemah Rahajeng Fitria Melati HICC, dan kordinator lapangan I Ketut Punia.
Acara itu diawali dengan literasi singkat di Museum Subak Masceti, dipandu oleh Ketut Sugata. Kegiatan tersebut dikordinir oleh Bapak I Ketut Punia dari Kembali Organik.
Kegiatan ini adalah rangakaian dari kegiatan peserta pelatihan United Cities and Local Gaverments Asia-Pasific (UCLG-ASPAC) yang dilakukan di Courtyard Bali Nusa Dua Resort, dari tanggal 30 sampai 31 oktober 2024 yang bertemakan “Creating New Climate Resilent and Inclusive Cities”. Salah satu kegiatan tersebut adalah kunjungan ke museum subak di Masceti, juga kunjungan ke Subak Pedahanan.
Para peserta kegiatan menyusuri sawah di Subak Pedahanan | Foto-foto oleh Gusti Astawa
Nah, di tengah rangkaian acara itulah, pada 30 Oktober 2024 diadakan pameran Seni Rupa di Balai Subak Desa Pedahanan. Selain menampilkan karya rupa Nyoman Bagiana, Wayan Santrayana dan I Gede Made Surya Darma, juga ditampilkan video dokumentasi Subak Pedahanan oleh Pasar Rakyat Bali Benindra Sanjaya, dari unsur petani muda.
Penampilan karya patung dan lukisan dari seniman itu merupakan pameran amal yang mana 50 % dari hasil penjualan lukisan disumbangkan ke Subak Pedahanan. Dan saat itu terjual dua lukisan yang dibeli oleh peserta UCLG-ASPAC yang berkebangsaan Spanyol, dan founder Hijauku.com, juga satu karya seni patung dari karya seniman Nyoman Bagiana yang dikoleksi oleh pengunjung berkebangsaan Spanyol. Hasil dari penjualan karya tersebut langsung diserahkan kepada Ketua Pekaseh Desa Pedahanan I Wayan Sarimerta.
Ada sesuatu yang istimewa dalam rangkaian acara itu. Dalam acara kunjungan UCLG-ASPAC ke Subak Pedahanan, anggota subak melakukan upacara masegeh, yaitu tradisi budaya agama Hindu, yaitu sebuah upacara sederhana, untuk keharmonian alam dan manusia. Apalagi saat itu adalah hari baik yang bertepatan dengan hari pegat tuakan, yaitu hari terakhir dari rangakain upacara Galungan, dengan di tandainya pencabutan penjor. Acara itu dipimpin oleh pemangku setempat.
Selanjutnya perkenalan anggota UCLG-ASPAC yang berjumlah kurang lebih enam puluh orang peserta. diwakili oleh Cokorda Istri Dewi yang merupakan Senior Advisor at United in Diversity Indonesia, dilanjutkan oleh Eric Hizbullah, founder hijauku.com, juga laporan kegiatan workshop Bioregional Mapping oleh Sarah Queblati, dan penjelasan secara detail mengenai subak. Penjelasan itu dilakukan sambil melakukan perjalanan menyusuri lahan pertanian Subak Pedahanan yang dipandu I Ketut Punia.
Di situ juga dijelaskan salah satu sesaji upacara biyu kukung, yang merupakan simbol dari alam semesta, dengan meperlihatkan simbol bulan, matahari, bumi, lengkap dengan simbol air, dan makhluk hidup di dalamnya dan galaksi di alam semesta ini. Sarana upacara itu digarap sederhana dengan janur yang menggambarkan perubahan iklim dengan anggota subak setempat.
Setelah mengunjungi lahan pertanian, peserta juga menyaksikan langsung sistem irigasi dalam manajemen air. Peserta pelatihan United Cities and Local Gaverments Asia-Pasific (UCLG-ASPAC ) sempat mengunjungi ruang pameran yang dilakukan di Balai Subak Pedahanan, yang memajang karya Lukisan I Wayan Santrayana. Lukisan itu mengkritisi kehidupan manusia Bali yang diikat oleh adat budaya dan agama melalui karya seni lukis.
Penjelasan-penjelasan tentang subak, pertanian dan lingkungan sambil jalan-jalan di sawah | Foto-foto oleh Gusti Astawa
Salah satu karya lukisanya berjudul Merawat Ritus. Dalam lukisan itu tampak ia menampilkan kehidupan masyarakat subak yang sudah terhimpit oleh pembangunan villa dan hotel, yang sangat terjepit dari perkembangan pariwisata yang masif di Bali, dan banyak lahan pertanian yang sudah beralih fungsi menjadi Villa dan hotel.
Begitu juga lukisan I Gede Made Surya Darma, yang menampilkan lukisan mengenai Bio Regional di Subak Pedahanan, juga lukisan suasana pertanian di Bali, dengan manajeman air subak dan satu lukisan dengan menampilkan bualatan bulatan hijau, dengan judul Photosynthesis.
Para seniman anggota Subak Pedahanan dari Desa Angantaka menampilkan patung kayu dengan objek ayam kurungan, yang sangat terkenal dengan teknik rumitnya dalam pemahatan patung. Yang mana patung tersebut memperlihatkan di dalam kurungan ayam ada objek ayam dan objek orang tua. Itu menjadi ciri khas patung dari Desa Angantaka.
Pameran dan patung-patung kurungan aam khas Desa Angantaka | Foto: Made Raras Puspita Dewi
Seiring berjalannya waktu, para seniman patung ini sudah langka digerus jaman dan perkembangan pariwisata. Banyak seniman beralih kerjaan menjadi petani, dan buruh bangunan, atau menjadi sopir pariwisata, karena generasi penerus sudah jarang mau melanjukan tradisi pembuatan patung tersebut. Apalagi harga jual patung itu sudah tidak sebanding dari rumitnya pembuatan patung tersebut.
Para peserta UCLG-ASPAC sangat terkesan dalam kunjungan tersebut, karena bisa belajar langsung dari petani, dari anggota subak, mengenai langkah dan tata cara manajemen pertanian di Bali. Peserta melihat para petani selalu menghormati alam di dalam mereka mengolah lahan pertaniannya, dengan pendekatan spiritual dengan menjaga rangtai makanan di lahan pertanian, ke dalam simbul keagamaan. [T]
Jimbaran 31 Oktober 2024
- BACA artikel lain dari penulis GEDE SURYA DARMA