KARYA-KARYA arsitektur di Bali belakangan ini, terutama pasca pemerintah menyatakan wabah Covid-19 berakhir, menarik untuk ditelisik atas beberapa alasan.
Pertama adalah jumlah dan sebaran proyek yang bermunculan dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan tanda-tanda kebangkitan ekonomi yang luar biasa. Bangunan-bangunan baru berbagai jenis dan ukuran bermunculan benar-benar seperti jamur di musim hujan.
Kedua, wujud arsitekturnya semakin beragam nyaris tanpa satupun benang merah yang membantu kita memahaminya dalam sebuah framework teoritik yang utuh.
Ketiga, kita tidak perlu berkunjung ke tempat dimana proyek tersebut dibangun untuk bisa turut menikmatinya. Hal ini dimungkinkan karena semuanya kini terpampang vulgar di media sosial. Postingan-postingan tentang karya-karya arsitektur tersebut tidak hanya diunggah oleh pemilik atau pengelolanya saja, melainkan juga oleh pengunjung selaku penikmat karya tersebut.
Keempat adalah aroma international yang muncul dari berbagai elemennya; aktivitasnya, program ruangnya, sajiannya (ini khusus yang kuliner), penataan ruang dan arsitekturnya, hingga investor di baliknya.
Sebuah tower di dalam kawasan enclave di Tabanan | Foto: Gede Maha Putra
Saya beberapa kali melakukan unggahan di media sosial tentang fenomena ini. Yang muncul adalah komentar-komentar tentang perlunya Bali memiliki peraturan yang mengatur tata ruang dan arsitektur. Ada juga yang berkomentar tentang penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di lapangan.
Di lain kesempatan, banyak juga kawan yang mengapresiasi munculnya karya-karya arsitektur yang memiliki wujud beragam ini karena mereka memberikan nuansa baru dan dianggap memperkaya khasanah arsitektur lokal.
Menimang perbedaan-perbedaan tersebut, saya mencoba melihatnya dari kaca mata yang fokusnya lebih lebar, tidak membahasnya dari sisi bentuk semata. Dengan memperlebar sudut pandang, kita bisa membahas fenomena ini dengan memasukkan sistem ekonomi yang saat ini bekerja di seluruh dunia yaitu neoliberalisme.
Sistem ekonomi neoliberal adalah paradigma yang memberi peluang luas bagi terciptanya pasar bebas. Geografer Marxis, David Harvey berargumen bahwa kebangkitan paradigma ini terjadi pasca “kegagalan” sistem ekonomi Keynesianisme yang berfokus pada intervensi negara. Paradigma terakhir ini dianggap gagal pasca krisis ekonomi awal decade 1970-an.
Mall dengan fasilitas ruang makan dan nongkrong | Foto: Gede Maha Putra
Dalam sistem ekonomi baru ini, negara mengurangi pengawasan dan pengaturan yang membatasi sektor keuangan, tenaga kerja, dan industri agar pasar bisa bergerak dan beroperasi dengan lebih leluasa. Tugas negara lebih dititikberatkan pada upaya untuk menjaga stabilitas pasar dan memastikan aturan hukum yang memberi keuntungan bagi kaum pelaku pasar dalam hal ini kapitalis dan investor.
Upaya untuk membangun pasar yang menarik bagi investor adalah dengan membuka negara bagi masuknya modal asing. Hal ini membuat modal dan produksi dapat berpindah lintas batas nyaris tanpa adanya halangan. Akibatnya, tercipta pasar global yang saling terkait.
Salah satu landasan pokok paradigm ini, seperti diungkap Harvey, adalah bahwa pasar akan mengelola sumber daya lebih efisien melalui kompetisi tanpa adanya campur tangan negara. Di Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan tahun 2020, meski tidak menyebut secara eksplisit, menunjukkan arah dukungan kepada pandangan neoliberalisme ini. Aturan-aturan yang dianggap rumit untuk investasi dipangkas dan disederhanakan sehingga pemodal memiliki keleluasaan lebih untuk membuka dan menjalankan usahanya.
Restaurant bambu untuk menarik konsumsi | Foto: Gede Maha Putra
Pada saat wabah sedang melanda, perekonomian Bali ada di titik terendah akibat ditutupnya penerbangan. Saat itu, bisnis pariwisata mati suri yang berimplikasi pada kelumpuhan keuangan pemerintah. Akibatnya, pemerintah merasa tidak mampu berbuat banyak tanpa adanya peran swasta. Setelah penerbangan dibuka dan wisatawan kembali datang, pemerintah juga membuka peluang luas bagi sector swasta untuk berperanserta lebih aktif dalam perekonomian di wilayahnya.
Peran serta swasta ini tentu didukung oleh Undang-undang yang disahkan tersebut. Kondisi ini sejalan dengan lonjakan kunjungan ke Bali. Selain pengunjung internasional, minat wisatawan nasional dan orang lokal Bali untuk berwisata juga meningkat. Mereka ini turut membuat pasar pariwisata menjadi berlipat. Pascawabah, Bali menjadi ladang yang sangat menarik bagi sektor swasta karena dua hal: pemerintahan yang semakin terbuka dan pasar yang menggelembung sangat besar.
Salah satu situs jual-beli-sewa properti bahkan menyebut bahwa saat ini Bali merupakan tempat dengan Return on Investment (ROI) paling tinggi di dunia mengalahkan Dubai.
Secara tata ruang, tingginya pengembalian modal atau ROI ini menyebabkan alih fungsi lahan yang deras. Alih fungsi ini didorong oleh masuknya arus modal yang dibawa serta ditawarkan oleh aktor-aktor global.
Dari situ akan muncul apa yang disebut dengan enclave atau kawasan ekslusif yang tertutup dan hanya bisa diakses oleh para pemilik. Wujudnya bisa berupa resorts dan villa vila yang all-inclusive, gated villa communities, pantai-pantai yang diprivatisasi, atau permukiman yang berbentuk semacam kota kecil mandiri. Kawasan ini secara aktif memisahkan dirinya dari lingkungan sekitar, menciptakan pemisahan fisik dan simbolik.
Dalam kondisi semacam inilah pradigma neoliberalisme masuk melalui arsitektur. Karya-karya arsitektur yang lahir dalam dua tahun belakangan ini merupakan alat untuk menarik perhatian dan sekaligus merebut pasar. Pasar di sini bisa berarti propertinya atau pengunjungnya. Karena pasar yang besar ini tidak hanya diisi oleh konsumen nasional atau internasional tetapi juga lokal, maka tidak pula mengherankan jika wujud arsitekturnya menyesuaikan dengan selera penduduk Bali.
Karya arsitektur masuk jauh hingga tepian jurang | Foto: Gede Maha Putra
Di awal pengembangan pariwisata massal tahun 1970-1980-an, saat pasar masih didominasi oleh wisatawan internasional, arsitektur tradisional mengalami kebangkitan. Fasilitas-faslitas yang melayani turis dirancang dengan cara mengadopsi bangunan-bangunan tradisional. Ini adalah pasar yang masih membawa imaji Bali tahun 1930-an. Kini, saat pasar adalah juga orang lokal maka yang muncul adalah kebalikanya, yaitu arsitektur internasional. Ini adalah bentuk-bentuk yang sedang menjadi trend secara global dan menarik perhatian masyarakat lokal.
Wujud-wujud yang tidak pernah kita jumpai dalam kosakata bentuk tradisi kini mudah dijumpai. Arsitektur tower dengan bentuk seperti lidah api, bangunan villa dengan dinding sepenuhnya kaca, coffee shop dengan vibes ala bangunan di Italia, restaurant mie ramen dengan gaya Jepang, dan lain-lain adalah sebagian dari wujud yang lahir untuk menggaet pasar lokal dan nasional.
Dalam kompetisi, wujud-wujud arsitektur tersebut saling bersaing satu sama lain untuk menarik perhatian secara bebas, dengan intervensi yang minim dari pemerintah. Mekanisme pasar akan menentukan bentuk arsitektur seperti apa yang paling laku dan mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama untuk terus melipatgandakan kapital.
Sebaliknya, bentuk-bentuk yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen akan ditinggalkan atau hilang dari lansekap. Dalam kondisi ini, aturan-aturan tentang wujud bangunan bersifat sekunder dikalahkan oleh seleksi alami yang merupakan cara kerja pasar.
Sejalan dengan pasar yang dinamis, bentuk-bentuk arsitektur yang dilandasi paradigma tersebut, dalam upayanya untuk merebut pasar serta melipatgandakan modal, akan terus menyesuaikan diri dengan selera dan tuntutan konsumennya. Konsumen yang mudah jenuh, akibat bombardir media sosial, terus menerus membutuhkan inovasi. Dari sini lahir wujud-wujud arsitektural baru silih berganti. Sebuah farmhouse adalah sesuatu yang tidak terbayangkan beberapa tahun lampau dan kini hadir di dekat Bedugul.
Clubhouse yang dulu hanya ada di pantai kini bisa kita jumpai di kawasan dataran tinggi, Ubud, bahkan di tengah permukiman seperti di Celuk. Ada pula yang berbentuk mobil berkeliling kota. Dalam wujud yang seperti ini, arsitektur tidak hanya menjadi akibat dari neoliberalisme ekonomi, tetapi ia secara aktif menjadi subyek yang terus menduplikasi diri dan turut menciptakan pasar yang saling berkompetisi.
Banyak kawasan yang tidak bisa hidup tanpa turis | Foto: Gede Maha Putra
Arsitektur modern memang tidak bisa dilepaskan dari tiga komponen utamanya yaitu regulasi, kapital dan kreativitas arsitek atau designer-nya. Dalam kondisi saat regulasi dikurangi dan mekanisme diserahkan kepada pasar, maka kreativitas dan kapital berperan dominan dalam membentuk ruang-ruang hidup kita di masa yang akan datang.
Selain berkompetisi menghasilkan bentuk yang unik dan menciptakan pasar, kapital juga dapat ‘memaksa’ arsitek untuk menciptakan bangunan yang murah. Artinya, bangunan-bangunan yang memiliki cost pembangunan tidak terlampau tinggi namun dapat dipaksa untuk menghasilkan profit yang gigantic.
Selain cost produksi, bisa saja biaya perencanaan juga akan terimbas semakin murah. Ini terjadi terutama jika fee untuk arsitek dihitung berdasarkan atas kalkulasi dari prosentase harga bangunan per meter persegi. Semakin murah harga bangunan bisa ditekan, maka fee untuk arsitek yang harus dibayarkan juga semakin tidak mahal.
Arsitek mungkin berargumen bahwa mereka terlepas dari berbagai tekanan saat melahirkan karyanya yang dinilai sebagai karya yang inovatif, progresif dengan mengedepankan kebebasan individu dan kreativitas personalnya.
Tetapi, Douglas Spencer, seorang kritikus arsitektur asal Inggris, mengkritik bahwa arsitek sebenarnya juga sedang melayani keinginan kapital untuk memaksimalkan profit dengan cara menciptakan ruang-ruang yang mampu membuat konsumsi masyarakat meningkat. Peningkatan belanja ini ditujukan untuk mendukung investor global yang menjadi kliennya.
Dalam situasi saat ini, dan jika kita memegang apa yang disampaikan oleh Spencer, sepertinya tidak ada lagi teori arsitektur dan estetika yang berperan selain untuk melayani cara kerja ekonomi kapitalistik. Bentuk-bentuk arsitektur menjadi tidak netral tetapi dibentuk oleh dan berguna untuk kepentingan pelipatgandaan modal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa meningkatnya konsumsi yang terjadi telah memberi kesejahteraan. Tetapi, kita perlu berhati-hati dalam menanggapi hal ini karena selalu ada bahaya tersembunyi di balik euforia.
Bentuk-bentuk arsitektural yang lahir dalam dua tahun belakangan ini memang ‘sukses’ mencuri perhatian kita. Ini terlihat dari jumlah postingan yang ramai di media sosial. Tetapi, wujud-wujud tersebut, jika kita lihat lebih seksama, mengalami pen-dangkal-an makna.
Secara sadar atau tidak, terjadi banalitas atau pengutamaan tampilan atau kemasan, alih-alih isi atau substansi. Ini terjadi karena karya dibuat untuk kepentingan bisnis. Manusia dilihat hanya sebagai konsumen dan karya arsitektur sebagai komoditas. Kebosanan yang mudah terjadi memicu produksi dan reproduksi atas banalitas ini.
Kondisi berikutnya yang bisa diamati dari munculnya fenomena bangunan-bangunan ini adalah krisis historisitas. Meskipun banyak karya yang berupaya untuk memenuhi unsur-unsur kedaerahan, yang kemungkinan diimbuhkan untuk kepentingan perijinan, tetapi elemen-elemen budaya yang ditampilkan tidak memiliki keber-akar-an sejarah. Kata-kata atau jargon lokal seperti tri hita karana seturut menjadi alat pemasaran. Ia tampak hanya sebagai citra-citra yang justru menjadi penanda terputusnya transmisi tradisi. Alih-alih membentuk ikatan yang kuat dengan tempat, kondisi ini justru mempertontonkan ketidaktahuan atau ketidakpedulian kita pada sejarah.
Bangunan berdesain unik bisa memancing popularitas di media sosial | Foto: Gede Maha Putra
Bangunan-bangunan baru, permanen dan non-permanen, karya arsitektur lama, ruang-ruang ekonomi, sakral, berbudaya, hari ini memenuhi lansekap kita. Kembang api megah bersanding dengan upacara adat. Atraksi pertunjukan tradisional berpadu dengan tarian api modern atau gerakan disco menjadi kenormalan. Orang-orang berbikini yang bersanding dengan pemangku berpakaian putih bersih adalah keseharian kita saat ini.
Masalahnya adalah kita belum mampu menyejajarkan diri dengan kondisi tersebut. Ruang-ruang yang terjadi hari ini membentuk liminalitas atau kegamangan. Kondisi terkatung-katung yang membuat kita terombang-ambing dan gugup dalam situasi paradoks. Konflik-konflik atas ruang muncul. Hiperspace adalah istilah yang umum dipakai. Ini adalah kondisi saat kita tidak mampu membentuk pengalaman ruang perseptual yang utuh akibat banyaknya benturan-benturan yang ditimbukan oleh praktek-praktek produksi ruang neoliberalistik.
Pertanyaannya, mampukah kita menyikapi hal ini? Atau setidaknya kita bisa menanyakan kepada diri kita sendiri, adakah kita menyadari hal ini? [T]
- BACA artikel tentangARSITEKTURatau artikel lain dari penulisGEDE MAHA PUTRA