LAHIRNYA Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU) No. 13 Tahun 2024 telah menimbulkan kesalahpahaman oleh sebagian kalangan masyarakat. Munculnya calon tunggal kepala daerah dibarengi dengan adanya kotak kosong sebagai lawan tanding dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Akibatnya, muncul pemasangan alat peraga kampanye yang mengusung kotak kosong. PKPU ini dianggap sebagai buah ketidakpastian KPU terhadap kondisi riil (kotak kosong) memasang alat peraga seperti baliho dan rontek yang dihadapi oleh pasangan calon (Paslon) tunggal. Di saat membaca PKPU tersebut, tidak ada pemberian fasilitas oleh KPU kepada pihak-pihak tertentu memasang alat peraga. Apalagi jika mengingat kondisi riil politik hukum, bahwa tidak ada satu pasal pun memberikan fasilitas bagi kotak kosong untuk memasang baliho dan rontek.
Adakah unsur politis di balik terbitnya PKPU No.13/2024? Apakah peraturan tersebut sengaja diciptakan agar Paslon tunggal mendapatkan “perlindungan khusus” dari serangan kotak kosong? Untuk mewujudkan aspirasi serta kepentingan pemilih, dalam logika inferensi harus menitipkan kepada calon tunggal sebagai peserta pemilihan, bukan kepada kotak kosong karena bukan peserta pemilihan.
Paling tidak, itulah substansi yang terkandung dalam pelaksanaan demokrasi. Dalam pencapaiannya, hal tersebut (demokrasi) membutuhkan ongkos yang tidak kecil. Karena, itulah konsekuensi demokrasi yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan kata lain pemilih harus memilih Paslon untuk memperjuangkan aspirasi serta kepentingan pemilih itu sendiri.
Kaitanya dengan PKPU No, 13 Tahun 2024, tentu Paslon yang karena tunggal harus melaksanakan peraturan tersebut. Pertama, melakukan komunikasi politik, program politik, dan visi misi Paslon kepada masyarakat dengan tujuan membantu masyarakat dalam memahami pilihan yang mereka miliki. Kedua, kampanye untuk membangun citra positif dalam rangka menggalang dukungan dan memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pilkada.
Ketiga, mendorong partisipasi pemilih, melalui pesan yang meyakinkan dan mengispirasi, sehingga pemilih dapat merasa lebih terlibat dan termotivasi untuk menggunakan hak suaranya. Dengan demikian, partsisipasi yang tinggi dalam Pilkada merupakan indicator kesehatan demokrasi dan penting Pilkada yang representatif.
Kehadiran PKPUNo.13/2024, sesungguhnya merupakan kenyataan yang tidak dapat dilepaskan dari Pasal 65 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No.1/2015 tentang Penetapan PP Pengganti UU. No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota., yang selama ini diterapkan dalam mennjalankan proses demokrasi untuk kegiatan peserta pemilihan .
Konsekuensinya, pihak-pihak yang memasang alat peraga berupa baliho kotak kosong tidak dapat memenuhi unsur dari definisi kampanye ( Vide Pasal 63 UU 10/16). Termasuk tidak dapat memenuhi segunung tuntutan rakyat, yang diharapkan dapat menopang wujud aneka kepentingan yang tidak jelas.
Karena itulah, pihak-pihak yang begitu getol mamasang alat peraga kotak kosong, bukanlah memperjuangkan segala bentuk peraturan yang dapat memenuhi kepentingannya. Termasuk kampanye kotak kosong adalah giatan yang dilarang, karena kotak kosong bukan peserta pemilihan, sehingga yang diperbolehkan hanyalah sosialisasi bahwa memilih kotak kosong adalah sah (vide PKPU No.8/2017).
Sebagai orang yang beriman, rasanya tidak begitu yakin dan percaya, gencamya alat peraga kotak kosong tersebut akan berakhir pada hasil yang diharapkan, karena “pertarungan ” baliho bukan menjadi jaminan sekaligus garansinnya. Padahal, yang menanggung justru pihak-pihak tertntu, serta harus mengeliminasi cita-cita orientasi demokrasi itu sendiri.
Itulah regulasi demokrasi yang sesungguhnya. Bukan kotak kosong yang dibungkam, melainkan cuma calon tunggal melawan kotak kosong, yang sudah barang tentu sangat oprtunis. PKPU 13/2024 dan UU No.10/2016 telah mencerminkan bahwa kehadiran kotak kosong untuk melengkapi proses demokrasi itu sendiri. Hanya saja tidak ada norma secara eksplisit mengatur boleh tidaknya mengkampanyekan kotak kosong di Pilkada dengan Pasion tunggal. Lain hal, hak Paslon tunggal untuk kampanye.
Subyek Hukum Kotak Kosong
Menciptakan polemik kotak kosong dengan calon tunggal sama saja menggarami lautan. Sebab mengkampanyekan kotak kosong secara hukum terjadi “kekosongan hukum”. Tidak sebagaimana calon tunggal diatur dalam Pasal 63-65 UU No.10/2016 maupun PKPU 13/2024 hanya mengakomodasi hak Paslon untuk kampanye, sementara kotak kosong tidak diatur. Sebab definisi kampanye sendiri adalah seseorang atau tim kampanye yang mendapatkan mandat dari Paslon.
Sementara kotak kosong abstrak atau tidak seorang pun yang mendapat mandat mengkampanyekan kotak kosong. Karena kotak kosong tidak punya orientasi program dan tidak memiliki visi-misi.
Penggunaan terminologi kekosongan hukum (rechtsvacum) adalah dapat diartikan sebagai “kekosongan norma hukum positif (wet vacuum), tidak ada definisi yang baku mengenai kekosongan hukum, namun secara harafiah dapat diartikan belum ada peraturan yang mengatur bagi kotak kosong untuk berkampanye. Penjelasan secara sempit ” kekosongan hukum” dapat diartikan sebagai suatu “keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan (hukum) yang mengatur tata tertib (tertentu) dalam masyarakat”, sehingga kekosongan hukum dalam hukum positif lebih tepat dikatakan sebagai ” kekosongan UU/peraturan perundang-undangan”.
Sebagai contoh, untuk merevisi UV No.10/2016 untuk harmonisasi dan akomodasi kotak kosong berkampanye saja tidak semudah itu (butuh waktu cukup lama) atau dalam Pasal 63 ayat (4) UU No.10/2016 tentang Kampanye dapat diatur dengan Peraturan PKPU sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan (vide Pasal 8 ayat (1&2) UU 12/2011).
Artinya, penyusunan sebuah pertauran baik oleh legislatif maupun eksekutif termasuk dari KPU pada kenyataannya memerlukan waktu yang cukup lama. Selain itu kekosongan hukum terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi berupa boleh tidaknya kotak kosong berkampanye belum diatur dalam suatu pertauran perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan , namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.
Dengan begitu, bukan untuk tereliminasi, menyulitkan atau bahkan menyisihkan proses demokrasi, yang sesungguhnya membuat dan menuntut pihak-pihak ada. Bukan begitu? Semua gebyar baliho kotak kosong dan rontek untuk menilainya, ada di tangan masyarakat. Karena itu, simak dan cermatilah Pasal 5 dst PKPU 13/2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubemur, Bupati dan Walikota. Serta lengkap dengan PKPU No.8 Tahun 2017 tentang Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubemur, Bupati dan Walikota.
Perlu dicatat, kotak kosong muncul sebagai konsekuensi dari cuma satu calon dalam Pikada. Masyarakat dapat memilih kotak kosong apabila calon tunggal dipandang tidak sesuai harapanya. Sebaliknya, calon tunggal perlu tim sukses dan juru bicara khusus, menerapkan strategi komunikasi politik.
Pertama, menciptakan citra calon tunggal yang ingin dimenangkan, dikenal sebagai tokoh penyelesaian masalah sosial di masyarakat, Kedua, menentukan publik sasaran, yakni untuk mengedukasi publik dalam menghadapi isu tertentu.
Setelah kedua strategi komonikasi ini dibangun, maka fungsi komunikasi dan fungsi proteksi untuk mempertahankan potret Paslon tunggal seperti yang dikenal oleh publik sasaran. Jika peserta pemilihan (Pasion) tidak dapat hadir dalam suatu komunitas, maka tim khusus adalah penggantinya. Fungsi proteksi, sebagai calon tunggal tentunya mudah tersenggol fitnah negatif dan dapat meruntuhkan citra yang selama ini dibangun. Semoga mencerdasakan dan mencerahkan . Wallahu a ‘lam bis-hawab. [T]