PECINTA gong kebyar pasti ingat penampilan Gong Kebyar Legendaris, Sekaa Gong Tunas Mekar, Pengosekan, Kecamatan Ubud sebagai duta Duta Kabupaten Gianyar pada Utsawa (Parade) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-46. Sekaa gong ini tampil mempesona di hadapan para penggemar kesenian tradisional, Rabu, 10 Juli 2024.
Gong kebyar Tunas Mekar dari Pengosekan ini memang layak disebut sekaa gong legendaris. Berdiri sekitar tahun 1958. Perangkat gongnya mula-mula dibeli dari hasil maderep atau menjadi buruh panen padi.
Di PKB tahun 2024 sekaa tampil satu panggung bersama Sekaa Gong Kebyar Legendaris Jaya Kusuma, Desa Adat Jagaraga, Kecamatan Sawan duta Kabupaten Buleleng di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali. Penampilan sekaa gong ini sangat kentara sekali, kalau memang sekaa ini mempunyai sejarah panjang dalam melestarikan seni karawitan di Bali.
Sekaa Gong Tunas Mekar menyajikan gending-gending merupakan warisan dari para pendahulu mereka. Meski sudah uzur, namun mereka masih mampu menunjukan kesohoran mereka di jaman itu. Penampilan Sekaa Gong Tunas Mekar memang unggul, bagai pepatah “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan Belang.
Maka tak heran, penonton yang menanti sajian itu sejak awal terasa terobati. Para penonton benar-benar dapat menyaksikan kemasyuran sekaa gong dari kampung turis itu. Saat itu, Sekaa Gong Tunas Mekar, Pengosekan menampilkan empat sajian seni pertunjukan, yakni dua tabuh, dan dua tari.
Penampilannya, diawali dengan Tabuh Nem Lelambatan Galang Kangin. Tabuh ini diwarisi oleh Sekaa Gong Tunas Mekar yang pada awalnya bernama Mekar Sari merupakan Sekaa Gong angkatan pertama. Tabuh ini ditata kembali pada pertengahan tahun 1970-an oleh Alm. I Wayan Gandra, sehingga menjadi lebih dinamis. Sebelum itu, sudah ada Tabuh Nem klasik yang diajarkan oleh Pekak I Made Lebah, ayah dari I Wayan Gandra.
Sekaa gong Tunas Mekar Pengosekan Ubud saat tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024 | Foto: Ist
Kemudian menampilkan, Tari Legong Kraton Lasem, sebuah bentuk tari klasik dari Pelegongan, yang mengisahkan kisah cinta Prabu Lasem yang mendapat penolakan dari Diah Rangke Sari karena sudah punya pilihan hatinya. Kemarahan Prabu Lasem atas tolakan ini, menyebabkan Prabu Lasem menyerang pilihan hati dari Diah Rangke sari.
Namun, dalam perjalanannya, Prabu Lasem mendapat pertanda-pertanda buruk dari burung Gagak (pada tarian ini digambarkan dengan Tari Garuda). Prabu Lasem menghalaunya dan melanjutkan perjalanannya untuk menyerang pilihan hati Diah Rangke Sari. Tari ini dibina Ni Luh Mas merupakan cucu dari Pekak I Made Lebah.
Sajian ketiga, menampilkan Tabuh Sekar Jaya yang dimainkan terakhir oleh Sekaa Gong Angkatan Pertama tahun 1978 pada festival se-Kecamatan Ubud sebagai Duta Desa Mas.
Pada tahun 1987, dimainkan kembali oleh Sekaa Gong Anak-anak Tunas Mekar yang berdiri tahun 1983, (kini sebagian besar menjadi penabuh legendaris Sekaa Gong Tunas Mekar).
Tabuh Sekar Jaya menggambarkan kejayaan Penabuh Tunas Mekar yang mana telah mampu memainkan gending-gending kekebyaran baik saat mengiringi tari maupun berbentnuk tabuh yang dipertunjukan. Tabuh Sekar Jaya ditata oleh I Wayan Gandra.
Sebagai sajian pamungkas, Sekaa Gong Tunas Mekar menampilkan Tari Truna Jaya yang menggambarkan masa panca roba dari kaum remaja yang begitu dinamis dalam mencari kesejatian dirinya. Gerakan-gerakan yang menghentak diiringi dengan tabuh yang sangat dinamis serta penuh energi. Penata tari ini adalah : Alm. I Gde Manik dari Jagaraga Buleleng.
Sejarah
Berdasarkan data yang didapat dari salah satu sekaa gong itu, menyebutkan Sekaa Gong Tunas Mekar pada awalnya bernama Sekaa Gong Mekar Sari berdiri sekitar tahun 1958. Sekaa gong ini lahir, ketika tergugahnya hati warga Desa Adat Pengosekan untuk memiliki seperangkat gambelan gong. Hal tersebut didasari keinganan ngayah setiap ada pujawali di Pura Khayangan Tiga.
Sekaa gong Tunas Mekar Pengosekan Ubud saat tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024 | Foto: Ist
Warga merasa ada yang kurang lengkap saat melakukan pujawali, tanpa adanya iringan gamelan gong kebyar. Walaupun saat itu telah diramaikan dengan iringan Gamelan Angklung dengan anggota sekaa sebanyak 32 orang, namun belum juga merasa puas. Hal itu, mengingat setiap akan menggelar unen-unen (tontonan) seni, hati masyarakat gelisah kemana harus meminjam gamelan.
Padahal, setiap pujawali warga rutin menggelar seni pertunjukan tari, seperti Tari Topeng, baik sebagai topeng wali maupun sebagai seni hiburan. Terlebih lagi, ketika mengiringi tari papendetan yang diselenggarakan setap ngaturan “Ajum Pendet”.
Bahkan beberapa hari sebelum pujawali datang, warga khususnya yang suka megamel tak segan-segan mengucurkan keringat memikul gamelan yang dipinjam dari Cokorda Joni asal Puri Ubud Kaleran. Warga secara bergotong-royong berjalan kaki mengangkat barungan galemen gong kebyar itu. Wajar, saat itu belum ada jalan raya, seperti sekarang ini.
Saat mengiringi tari-tarian tersebut, warga utamanya yang memiliki hobi memainkan gamelan tidak perlu mendatangkan penabuh dari luar desa. Sebab, sudah banyak di antara warga tersebut yang bisa dan mengetahui akan irama gamelan. Walau, itu tak sempurna, namun mereka merasa puas, karena masih bisa mengikuti jejak jejak leluhurnya.
Para penabuh biasa mengiringi Tari Rejang dengan tabuh-tabuh palegongan, yaitu Gending Condong, Lasem, Playon, dan Kuntul. Kadang-kadang juga memainkan Tabuh Sisian, Cupak, Tembang Selisir, Calonarang, dan lainnya. Pada saat itu, gamelan yang ada pada waktu itu jumlahnya hanya sedikit, yaitu sekitar 7 wadah.
Kuatnya hasrat warga Desa Adat untuk memiliki gamelan selalu terbentur dengan permasalahan dana. Lalu, Dewa Putu Bitra selaku Bendesa bersama Dewa Putu Sugi selaku wakil dan Dewa Ketut Rimin selaku prajuru lain kemudian berusaha memenuhi keinginan warga yang haus ingin memiliki gamelan melalui paruman (rapat).
Melalui paruman itu, kemudian disepakati mengadakan gamelan dengan cara bergotong-royong, yakni maderep (buruh panen padi). Kegiatan ini dilakukan selama 5 kali panen (kurang lebih dua setengah tahun) untuk mencapai dana sejumlah Rp 35.000- (tiga puluh lima ribu rupiah), harga barungan gamelan waktu itu.
Sekaa gong Tunas Mekar Pengosekan Ubud saat tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024 | Foto: Ist
Setelah merasa dana hampir mencukupi, maka segera memesan seperangkat gamelan kepada pande gamelan bernama Gan Griya, seorang pande gamelan dari Desa Tiyingan Klungkung. Warga desa hampir tidak sabar menantikan dan mengharapkan penyelesaian gamelan miliknya. Sedangkan, dana yang terkumpul setelah dihitung-hitung masih jauh dari harga gamelan itu.
Keadaan itu, menjadi beban berat bagi pemimpin-pemimpin desa adat itu sendiri. Sebagai jalan keluarnya, beban itu dikembalikan kepada Desa Adat untuk minta persetujuan masing-masing warga. Dari parum itu, kemudian disepakatan untuk menutupi dana dengan jalan menggadaikan “Druwe Laba” yaitu hak milik Desa Adat.
Milik desa adat itu berupa tanah sawah yang terletak di Subak Lateng seluas +_20 are. Milik desa adat itu digadaikan kepada Jro Mangku Dalem Padang Tegal, senilai Rp 12.000,- (dua belas ribu rupiah). Dana sejumlah itu, untuk melengkapi dana yang sebelumnya sudah terkumpul Rp 23.000,- (dua puluh tiga ribu).
Mungkin sudah takdir, sehingga lahirlah seperangkat gamelan gong yang belum ada pelawahnya, seperti 1 buah pangugal, 4 wadah gangsa pemade, 2 wadah Kantilan, 1 wadah Reyong, 2 wadah Jegogan, 2 wadah Calung, 1 buah kempli (Kajar), 1 buah gong, 1 buah kempur, 1 pasang kendang, 1 buah cengceng dan 5 cakep cengceng kopyak.
Lalu, masalah pelawahnya desa adat kemudian membeli kayu blalu dan pule. Untuk penanganan dan penyelesaian plawah ini diserahkan kepada Dewa Putu Sugi dan Gusti Ketut Dana (kelian pura penataran) untuk menyelesaikannya.
Pemilihan anggota sekaa gong
Gamelan gong kebyar itu kemudian rampung semuanya pada tanggal 31 Januari 1961, maka segera diadakan paruman desa adat lagi. Paruman itu untuk mebicarakan beberapa hal seperti pemilihan anggota sekaa gong dari desa adat itu sendiri. Sekaa ini adalah milik desa adat yang diberi kewajiban mengemban tugas sebagai Sekaa Gong Desa Adat Pengosekan.
Pada saat itu, juga membicarakan tentang permasalahan biaya latihan, jaminan pelatih, pembagian hasil bila kelak dikemudian hari ada hasil. Di parum itu didapatkan keputusan tentang biaya latihan ditanggung oleh desa adat sendiri serta bila ada kerusakan dan kekurangan dari gamelan itu adalah tanggung jawab desa adat.
Untuk pembagian hasil bila kelak di kemudian hari mendatangkan hasil, yakni pembagian hasil 1/3 (sepertiga) ke Desa Adat, 2/3 (duapertiga) ke Sekaa Gong. Pada saat itu, mengadakan pendaftaran anggota sekaa dan pengurusnya dengan struktur yang ada. [T][Disusun dari sejumlah sumber]