SUDAH barang tentu tidak ada seseorang yang ingin sedih dalam kehidupan ini, semua orang menginginkan kebahagiaan. Namun pada realitasnya, hitam dan putih kehidupan pasti selalu ada. Kebahagiaan pasti akan selalu ditemani oleh kesedihan, kebaikan pasti akan selalu disertai kejahatan, serta kehidupan pasti akan selalu dihampiri kematian. Jadi bagaimana cara agar insan bisa menikmati dualitas yang menggelikan ini?
Semesta sebenarnya telah memberikan berbagai ajaran luhur tentang konsep dualitas yang tidak terbantahkan. Setiap konsep yang lahir, hadir sebagai jalan luhur untuk mengarahkan jiwa mencapai kebahagiaan abadi. Nah salah satunya adalah ajaran luhur yang dikenal dengan istilah Rwa Bhineda.
Secara etimologi, Rwa Bhineda terbentuk dari dua buah kata, yaitu ‘Rwa’ dan ‘Bhineda’, Rwaartinya dua, sementara Bhineda artinya berbeda. Dengan demikian, Rwa Bhineda adalah ajaran luhur yang mengisyaratkan pada dua hal berbeda, dua hal yang beroposisi, dua hal yang memiliki sifat bertentangan, namun selalu ada sebagai dualitas yang membuat hidup harmoni (Segara, 2000: 5). Dalam hal ini, Rwa Bhineda tergolong dalam Kasuistik “Oposisi Hubungan.”
Bahkan dalam sastra Siwaistik, dua hal yang beroposisi justru menjadi entitas yang berjasa dalam membentuk berbagai macam pengetahuan, kehidupan, alam semesta, beserta isi yang ada di dalamnya. Dualitas ini tertuang dalam konsep yang bernama Cetana dan Acetana. Cetana merupakan energi Tuhan sebagai sumber kehidupan berupa atma yang bersifat serba tahu, dan selalu ada untuk selamanya.Sementara Acetana merupakan unsur kebendaan yang memiliki sifat layaknya benda mati seperti batu, tanpa pengetahuan dan tidak kekal. Namun walaupun memiliki sifat yang bertentangan, dalam Wrhaspati Tattwa disebutkan (dalam Jendra dan Jumadiah, 2014: 11) “Atemu pwekang cetana lawan acetana, ya ta mangdadyaken sarwa tattwa” yang artinya “Bertemunya Cetana dengan Acetana melahirkan berbagai macam Tattwa.”
Kemudian dari sini, dikenal juga konsep Rwa Bhineda lainnya yaitu Purusa sebagai unsur jiwa dan Prakerti sebagai unsur pembentuk alam semesta, Sukla sebagai benih maskulin dan Swanita sebagai benih feminim. Ditemui juga, contoh Rwa Bhineda dalam berbagai sudut kehidupan yang lebih sederhana, seperti adanya siang dan malam, suka dan duka, panas dan dingin, ingat dan lupa, hitam dan putih, serta berbagai contoh lainnya.
Setelah mengetahui esensi dan contoh Rwa Bhineda dalam kehidupan, sebuah pertanyaan dasar pun muncul. Bagaimana memaknai ajaran Rwa Bhineda itu sendiri dalam mencapai kehidupan yang damai? Jawabannya, dapat ditemui lewat pesan Sang Kresna kepada Sang Arjuna dalam Bhagavad Gita 2. 15 (Maswinara, 1997: 123) yang berbunyi sebagai berikut:
yam hi na vyathayanty ete purusham purusharsabha,
sama-duhkha-sukham dhiram so ’mrtatvaya kalpate.
Terjemahannya:
“Orang yang tidak tergoyahkan oleh hal-hal ini, wahai pemimpin di antara manusia Arjuna, yang tetap sama dalam menerima kedukaan dan kesenangan, dan yang bijaksana, menjadikan dirinya layak untuk hidup abadi mencapai pembebasan.”
Dengan mengetahui pengetahuan akan hakikat Rwa Bhineda, kemudian ditambah dengan adanya petuah luhur, sudah sepatutnya manusia yang dibekali dengan Citta atau alam pikiran mampu memaknai ajaran Rwa Bhineda dengan menerima segala dualitas yang ada di dunia ini. Jangan terlalu menyombongkan diri jika diri menerima kesenangan, dan jangan juga terlalu berlarut-larut sedih ketika diri mengalami kemalangan. Mari sama-sama berusaha tetap bersikap seimbang, menerima segala dualitas yang ada baik itu panas dan dingin, suka dan duka dengan tangan terbuka sesuai hukum Rta dan Karma yang berjalan. layaknya pesan seorang Guru Bijaksana yang pernah berujar (Prama, 2009: 10):
“Orang yang tenang ketika dalam suka adalah jiwa yang biasa, namun orang yang sudah terbiasa tenang baik dalam suka maupun duka ialah jiwa yang luar biasa.”
DAFTAR PUSTAKA
Jendra, Jro Mangku Nyoman & Jumadiah, Sri. 2018.Kapamangkuan, Wrhaspati Tattwa. Denpasar: Dharma Pura.
Prama, Gede. 2009. Bali Shanti: Percikan-percikan Renungan dari Kedalaman Keheningan. Surabaya: Paramita.
Maswinara, I Wayan. 1997. Bhagavad Gita: Dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Surabaya: Paramita.
Segara, Nyoman. 2000. Mengenal Barong & Rangda. Surabaya: Paramita.
BACA artikel lain dari penulisDEWA GEDE DARMA PERMANA