AJINING raga gumantung saka busana. Begitulah pepatah Jawa yang sering dihubungkan dengan penampilan. Nilai tubuh seseorang tergantung dari busananya. Persepsi orang tentang orang lain dikaitkan dengan busana atau pakaiannya.
Busana merupakan salah satu bentuk komunikasi nonverbal artifaktual. Busana dapat mengkomunikasikan dirinya serta kepribadiannya. Juga mengkomunikasikan komunitas maupun masyarakat.
Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas pakaian mencerminkan kepribadiannya, apakah ia orang yang konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Pakaian, sebagaimana rumah, kendaraan, dan perhiasan, merupakan proyeksi citra tertentu yang diinginkan pemakainya ( Deddy Mulyana, 2010).
Pemakai busana berharap agar orang lain memiliki citra tertentu yang diinginkan pemakainya. Ada benarnya peribahasa Latin yang mengatakan vestis virum reddit. Pakaian menjadikan orang. Busana adalah orang yang menggunakannya.
Busana acapkali menjadi pertimbangan penting bagi seseorang ketika hendak berkomunikasi dengan orang lain. Dalam kasus tertentu, orang cenderung mempersepsi dan memperlakukan orang yang sama melalui cara yang berbeda ketika ia menggunakan busana berbeda.
Suatu saat, orang akan merasa nyaman ketika berbicara dengan teman yang menggunakan kaos biasa. Namun di saat yang lain, ia akan merasa canggung untuk berbicara ketika temannya menggunakan busana yang rapi, berbaju, berjas, dan berdasi.
Perspektif Busana
Dalam perspektif komunikasi, busana meliputi pakaian yang dikenakan seseorang, termasuk asesoris dan pernak-pernik yang melekat di tubuh. Orang merasa tidak cukup jika hanya menggunakan baju dan celana dalam berbusana.
Atribut yang melengkapi busana pun menjadi beraneka rupa. Mulai dari ujung kepala hingga kaki. Mulai dari topi, kerudung, dasi, arloji, sabuk, cincin, anting, gelang, tas, dompet, dan sepatu. Semua menjadi bagian dari atribut berbusana.
Busana memiliki makna sosial, ekonomi, psikologi, politik, dan budaya. Makna busana tersebut akan digunakan orang untuk berkomunikas; dengan harapan orang lain akan menafsirkan pesan tentang dirinya melalui busana yang dipakainya.
Secara sosial, busana digunakan untuk berbagai aktivitas sosial, seperti olah raga dan rekreasi, serta menghadiri undangan resepsi pernikahan. Busana juga dapat menjadi identitas sosial seseorang. Pegawai negeri sipil (PNS) akan menggunakan pakaian seragam yang berbeda dengan karyawan swasta maupun buruh pabrik.
Orang bisa berdebat panjang dan bertengkar dengan pasangan, hanya lantaran perbedaan selera tentang busana yang akan dipakai dalam satu acara. Mulai dari pilihan warna, model, serta merek. Termasuk pilihan sepatu, tas, dasi, dan kerudung yang akan dipakai.
Makna ekonomis dari busana adalah menggambarkan status ekonomi seseorang. Penilaian orang tentang status ekonomi orang lain kadangkala dilihat dari penampilan busananya. Bahkan beberapa merek pakaian, tas, sepatu, dan arloji seringkali dijadikan simbol prestise dan kekayaan seseorang.
Dalam kancah politik, busana menjadi begitu penting. Masing-masing partai politik menjadikan busana menjadi identitas partai. Busana dan segala atributnya menjadi perhatian bagi para calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tatkala debat berlangsung di televisi.
Semua berharap busana yang mereka kenakan akan menimbulkan citra positif tentang dirinya. Apakah rakyat akan memilih capres dan cawapres atas dasar preferensi busana yang mereka pakai? Masih perlu kajian lebih mendalam.
Produk Budaya
Busana, pakaian, atau fashion adalah produk budaya suatu masyarakat atau bangsa. Pada masyarakat yang atributif, busana menjadi bagian dari kesantunan, kebanggaan, dan harga diri seseorang. Busana menjadi norma tak tertulis dalam interaksi sosial budaya masyarakat.
Setiap masyarakat memiliki karakteristik busana yang khas. Secara kultural, keunikan busana itu berkaitan dengan adaptasi alam. Beberapa suku di pedalaman menggunakan kulit kayu dan dedaunan sebagai busana mereka. Sedangkan masyarakat di Amerika dan Eropa menggunakan wol sebagai bahan pakaian untuk beradaptasi dengan suhu yang dingin.
Identitas budaya suatu masyarakat dapat dilihat dari busana yang dipakainya. Melihat orang menggunakan kimono, persepsi akan terbentuk tentang sosok masyarakat Jepang. Identitas kultural masyarakat Bali disimbolkan dengan atribut busana seperti kamen, saput, dan udeng.
Sebagai produk budaya, busana menciptakan kepatuhan tentang kapan dan di mana busana itu dipakai. Kepatuhan berbusana itu berhubungan dengan harga diri dan relasi budaya. Maka, ketika diadakan perhelatan di lingkungan keraton di Jawa, ada pantangan bagi undangan menggunakan busana motif tertentu.
Larangan tamu undangan menggunakan kain batik Parang saat pernikahan anak Presiden Jokowi di Pura Mangkunegaran, Solo menggambarkan betapa busana sarat dengan nuansa budaya. Batik Parang identik dengan busana raja beserta keluarganya; dan masyarakat awam tidak etis menggunakan busana itu di lingkungan keraton.
Bukan hanya itu, busana pun diwarnai mitologi di berbagai daerah. Tidak setiap orang, di setiap waktu, dan di semua tempat boleh menggunasakan busana tertentu. Masyarakat di pesisir Pantai Selatan misalnya; tidak menyarankan orang untuk menggunakan busana berwarna hijau ketika berada di pantai. Hijau adalah warna mitologis busana penguasa Laut Selatan, Nyai Roro Kidul.
Busana hanyalah sebagian dari representasi identitas seseorang. Jatidiri selanjutnya akan terbentuk dari banyak hal. Sebagaimana pepatah Jawa yang lain, ajining diri gumantung saka lathi. Harga diri seseorang tercermin dari lidahnya, kata-kata, dan ucapannya. [T]
- BACA artikel lain dari penulis CHUSMERU