PADA ZAMAN dahulu ada sepasang suami istri bermukin di Alas Tapesan. Pasangan suami istri itu bernama Pan Dalang dan Men Dalang. Pekerjaan Pan Dalag adalah mencari ikan dengan menggunakan sau.
Suatu hari Pan Dalang menangkap ikan di sungai Tukad Yeh Wos. Pan Dalang tidak mendapatkan ikan tetapi ada batu yang terjaring di sau Pan Dalang. Batu tersebut berwarna hitam. Ukurannya sebesar bakal buah kelapa (bungsil). Batu itu dilemparkan ke dalam sungai.
Pan Dalang berpikir, batu hitam tersebut milik makhluk halus penunggu ikan di sungai Yeh Wos. Penunggu itulah yang menyebabkan semua ikan tidak berani muncul kepermukaan. Itulah penyebabnya ketika Pan Dalang ingin menjaring, tidak satupun ikan yang muncul ke permukaan.
Pan Dalang berkali-kali menjaring ikan, bukan ikan yang ada dalam sau-nya tetapi yang terjaring adalah batu hitam itu. Kejadian itu berulang-ulang terjadi. Selanjutnya Pan Dalang mengikatkan batu itu di ujung kainnya (kancut).
Setelah batu itu diikatkan di ujung kain Pan Dalang, Pan Dalang mencoba untuk menjaring ikan. Banyak ikan yang terjaring seperti nyalian, udang, dan boso-boso. Dalam waktu singkat tempat ikan (dungki) Pan Dalang penuh dengan ikan.
Pan Dalang berisitirahat di batu besar yang dikelilingi air sungai. Pan Dalang beristirahat sambil memakan sirih. Setelah beristirahat Pan Dalang bergegas ke rumahnya. Sampai di rumah Pan Dalang memberitahu Men Dalang bahwa dirinya banyak mendapatkan ikan.
Hati Men Dalang sangat bahagia dan bertanya kepada Pan Dalang, “Kenapa tumben mendapat ikan yang begitu banyak?”
Pan Dalang memberitahu Men Dalang. “Tadi ketika menjaring ikan, Bli bertemu dengan penunggu ikan. Penunggu tersebut yang memberikan ikan ini.” Pan Dalang memberitahu istrinya sambil berseloroh. “Inilah penunggu ikan di sungai Yah Wos.”
Pan Dalang membuka ikatan di kancutnya. Men Dalang memperhatikan batu tersebut sambil berkata, “Batu oranga gamang (batu dibilang makhluk halus), buang saja batu itu”
Ilustrasi : Dok. Suar Adnyana
Pan Dalang tertawa terbahak-bahak. Batu itu dibuang ke kolong tempat tidurnya. Ketika tengah malam, cuaca begitu panas sehingga Pan Dalang tidak dapat tidur. Pan Dalang berpikir apakah cuaca panas disebabkan oleh batu yang dilemparkan ke kolong tempat tidur. Batu itu diambil oleh Pan Dalang dan dilemparkan ke tegalan di sebelah Barat rumahnya.
Setelah beberapa saat, batu itu mengeluarkan api dan asap dan membakar alang-alang yang tumbuh di tegalan tersebut. Seketika hujan lebat disertai kilatan petir dan suara bergemuruh datang dari langit. Pan Dalang dan Men Dalang ketakutan. Mereka berpikir yang mempunyai batu tersebut datang dan akan mencelakai mereka.
Pan Dalang ke luar rumah dan mencari batu tersebut. Di depan batu itu Pan Dalang duduk bersila dan sambil berucap. ”Saya tidak tahu apa-apa. Siapa yang berstana di batu ini. Saya minta maaf atas kesalahan saya.”
Pan Dalang segera memungut batu tersebut dan di taruh di sanggar tawang. Sejak batu itu distanakan di sanggar tawang mereka sangat mudah mencari pekerjaan dan hasil pertanian melimpah. Mereka hidup sejahtera tidak kekurangan suatu apapun.
Setelah berpuluh-puluh tahun mereka tinggal di Alas Tapesan, keturunan Pan Dalang semakin banyak. Ada sepasang suami istri yang datang bermukim di Alas Tapesan keturunan predewa (trah kesatria di Bali). Mereka berpindah ke Alas Tapesan karena wilayahnya dikerubungi oleh semut. Daerahnya bernama Ancut Mawang.
Rumah (puri) yang mereka tempati ketika mereka tinggal di Ancut Mawang, sekarang bernama Jeron Dewa. Lama kelamaan warga pindahan mencapai dua belas pasang suami-istri. Mereka membangun Pura berbentuk gedong di rumah Pan Dalang. Batu yang sebelumnya distanakan di sanggar tawang dipindahkan dan distanakan di gedong yang telah dibuat.
Batu (pretima) yang distanakan di gedong tersebut lama kelamaan berkepala, bertangan, dan memiliki hidung yang panjang (lantang idung). Batu tersebut lama-kelamaan berupa Gana (Ganesha). Orang yang sujud bakti kepada pretima Gana itu semakin banyak.
Pretima tersebut dipindahkan ke sebelah barat rumah Pan Dalang (tegalan yang merupakan tempat batu itu dibuang oelh Pan Dalang). Di tempat itu dibuatkan pelinggih gedong dan sekarang gedong itu bernama Pura Buda Kliwon. Wali (upacara) dilakukan setiap enam bulan yaitu pada Buda Kliwon Paang.
Masyarakat mempercayai wujud Dewa Gana dalam pretima tersebut merupakan putra dari Bhatara Lingsir yang berstana di alas Intaran Desa Sanur. Setiap pelaksanaan wali di Pura Buda Kliwon, upacara diawali dengan melakukan persembahhyang di Pura Belanjong Sanur untuk nunas pekuluh (memohon tirta). Masyarakat juga melakukan persembahyangan (nangkil) ke Pura Belanjong Sanur pada saat hari Pahing Kuningan.
Masyarakat Desa Adat Lantangidung mempercayai bahwa berdasarkan cerita itulah daerah yang ditempatinya dinamakan Lantangidung. Masyarakat mempercayai ikatan kerohanian antar warga Desa Adat LantangIdung dengan masyarakat Sanu. Hal ini dapat dibuktikan dari perwujudan pretima yang distanakan di Pura Belanjong berbentuk Dewa Gana. Di Alas Intaran Sanur ada juga alas yang bernama Lantangidung.
Masyarakat Desa Adat Lantangidung sampai saat ini mempercayai apabila ada masyarakat yang sakit, masyarakat memohon obat (tamba) di Pura Buda Kliwon. Banyak pula masyarakat sujud bhakti kehadapan sesuhunan di Pura Buda Kliwon memohon keselamatan.
Apabila ada penduduk Desa Lantangidung yang akan berangkat/ bekerja ke luar negeri, mereka memohon izin ke hadapan sesuhunan di Pura Buda Kliwon agar mereka sukses dan selamat sampai di tempat tujuan. Disamping itu, banyak pejabat, calon legislatif dan bahkan calon kepala daerah memohon ke hadapan sesuhunan di Pura Buda Kliwon agar dilancarkan karirnya.
- Dinarasikan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. I Ketut Suar Adnyana, M.Hum. Dosen pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Dwijendra, berdasarkan narasi berbahasa Bali yang didapat dari Jero Bendesa Adat Lantangidung Bapak I Wayan Sujana, Juli 2023).
- Tim Peliput/Pengumpul data : FBI (Federasi Biro Investigasi) FKIP Universitas Dwijendra: Dwicky, Ronny, De Juli, Agus Satria, Dek Tu, dan Bagus.