SASTRA BALI MODERN saat ini berkembang baik di Bali. Banyak penulis-penulis muda Bali sudah tak malu-malu lagi menulis karya sastra modern dengan berbahasa Bali. Banyak buku puisi dan cerita berbahasa Bali terbit, meski terbit dengan jumlah terbatas.
Kondisi baik itu tentu saja melegakan. Jika Made Sanggra masih ada, ia barangkali akan sangat senang melihat perkembangan Sastra Bali Modern saat ini. Made Sanggra adalah orang, di masa hidupnya, yang selalu memberi semangat kepada para penulis muda untuk terus menulis, dalam bahasa Indonesia, apalagi dalam bahasa Bali.
Untuk itu, bukan hal berlebihan jika dalam Festival Seni Bali Jani V tahun 2023, nama Made Sanggra dibicarakan lagi dengan pergelaran yang dikemas dalam berbagai bentuk seperti musikalisasi puisi, pergelaran drama, video documenter dan video testimony.
Di sela pergelaran itu juga diselipi gelar wicara (talkshow) bersama sejumlah tokoh, seperti Jean Couteau, Putu Suasta, Ari Dwijayanti serta putra kedua Made Sanggra yang juga sastrawan Bali modern, I Made Suarsa. Ditampilkan juga bintang tamu penyair Wayan Jengki Sunarta dan pangawi sastra Bali modern, Carma Citrawati yang membacakan sajak-sajak Made Sanggra.
Pergelaran itu bertajuk “Tribute to Made Sanggra: Katemu Made Sanggra ring Bali Jani”, digelar di Ksirarnawa, Denpasar, Sabtu sore, 22 Juli 2023.
Pergelaran Tribute to Made Sanggra merupakan wujud apresiasi atas pencapaian dan pengabdian Made Sanggra pada dunia seni sastra Bali. Persembahan Yayasan Wahana Dharma sastra Made Sanggra Sukawati digarap Putu Suarthama, seorang jurnalis dan penulis yang juga putra Made Sanggra dan Gde Aryantha Soethama, sastrawan yang juga berasal dari banjar yang sama dengan Made Sanggra di Banjar Gelulung, Desa Sukawati Gianyar.
Siapa Made Sanggra?
Made Sanggra merupakan sastrawan kelahiran 1 Mei 1926 di Banjar Geliulung, Desa Sukawati, Gianyar dan meninggal 20 Juni 2007 karena sakit tua. Sebagai veteran pejuang, Made Sanggra dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Gianyar.
Made Sanggra memulai proses kreatifnya sejak duduk di kelas tertinggi Vervlog School di Sukawati tahun 1938. Karya pertamanya terkumpul dalam buku “Hikayat Prabu Mayadenawa” berupa geguritan Sinom.
“Tribute to Made Sanggra: Katemu Made Sanggra ring Bali Jani” | Foto: Tim Kreatif FSBJ 2023
Dia menulis dalam bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Dia beberapa kali meraih juara dalam lomba menulis. Cerpen “Katemu ring Tampaksiring” menyabet juara I Sayembara Listibya Bali, 1972.
Made Sanggra meraih hadiah sastra Rancage perdana untuk sastra Bali tahun 1998 melalui buku “Kidung Republik”. Penghargaan lainnya, Satya Lencana Perang Kemerdekaan (1, II), Bintang Gerilya dan Bintang Legiun Veteran RI.
Selain itu ia jua menerima Penghargaan Seni Wija Kusuma dari Pemerintah Kabupaten Gianyar (1986) dan Piagam Penghargaan Seni dan Medali Emas Dharma Kusuma dari Guberur Bali 1987.
Transformasi Kevudayaan Bali
Selain sebagai penulis yang tekun, Made Sanggra juga turut berperan dalam transformasi kebudayaan Bali melalui jalur sastra. Dia menjadi semacam jembatan antara Bali lama yang mencurahkan perhatian pada tradisi dan Bali sekarang yang lebih modern dan mengindonesia.
Tak hanya itu, Made Sanggra juga sebagai jembatan dengan dunia luar. Itu tercermin dalam karyanya cerpen “Katemu ring Tampaksiring” yang berkisah tentang hubungan antara orang Bali dan Belanda.
“Cerita itu menyangkut peristiwa pascaperjuangan, sedangkan dia sendiri terlibat dalam perjuangan. Artinya, dia bisa melampaui segala ketegangan bahkan mungkin segala kebencian yang terkait dengan perjuangan untuk menjadi universal di dalam sikapnya. Saya rasa ini yang bisa dicatat sebagai sumbangan beliau,” kata budayawan Jean Couteau tentang Made Sanggra dalam acara pergelaran tribute di Gedung Ksirarnawa itu.
Penyair dan pemerhati seni, Hartanto, mengutip kata sastrawan Umbu Landu Paranggi yang menyebut Made Sanggra sebagai Federico Garcia Lorca dari Bali. Lorca merupakan penyair dan dramawan Spanyol yang karya-karyanya menggabungkan unsur tradisionalitas dan tema kontroversial.
“Karya-karya Pak Sanggra visioner. Dalam puisi-puisi beliau tentang Denpasar, misalnya. Beliau mengatakan sawah akan jadi rumah, rumah akan jadi sawah. Itu merupakan kritik terhadap developmentalist,” kata Hartanto.
Aktivis dan pengamat sosial, Putu Suasta mengaku tak begitu kenal Made Sanggra, tapi membaca karya-karyanya. Dari karya-karyanya itu Putu Suasta menyimpulkan Made Sanggra mampu bermetamorfosis karena hidup dalam tiga zaman yang berbeda, yakni zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, dan zaman kemerdekaan.
“Tak hanya bermetamorfosis, dia juga bertransformasi, melompat beradaptasi dengan semangat zaman. Dia punya visi dan karakternya membentuk energi luar biasa,” tandas Putu Suasta.
Akademisi serta sastrawan Bali modern, Ni Made Ary Dwijayanti mengaku tak pernah bertemu Made Sanggra tapi dia merasa berutang sastra terhadap Made Sanggra. Karya-karya Made Sanggra menerbitkan keinginannya untuk menulis sastra Bali. “Karya-karya Pak Made Sanggra ibarat mantra dalam hidup saya. Dalam puisinya tentang hidupe nemu sengsara. Tapi, Pak Made Sanggra juga meyakinkan saya, di jalan sastra, saya tidak akan mati kelaparan,” kata Ary.
Putra Made Sanggra, I Made Suarsa yang kini melanjutkan sang ayah menjadi pangawi sastra Bali modern mengaku selalu ingat dengan wasiat dan nasihat ayahnya agar ikut membantu kelangsungan sastra Bali modern.
“Ayah tahu basic saya sastra Indonesia. Ayah berkata, ‘Sa, tulungin jep sastra Bali anyar, pang ada ajak liu. Sastra Indonesia kan suba ajak liu. Itu yang membuat saya terjun ke sastra Bali, walaupun saya sering dikatakan salah pilih jurusan karena memilih sastra Indonesia tapi berkarya di sastra Bali. Tapi, justru saya mendapat banyak penghargaan karena menulis sastra Bali,” tutur Suarsa.
“Tribute to Made Sanggra: Katemu Made Sanggra ring Bali Jani” | Foto: Tim Kreatif FSBJ 2023
Suarsa juga mengapresiasi karya-karya ayahnya diapresiasi, bahkan menjadi makin berkembang. “Katemu ring Tampaksiring” yang merupakan cerita pendek dikembangkan menjadi cerita panjang dalam bentuk drama gong, arja, dan belakangan geguritan. Alih wahana ini menjadi karya-karya Made Sanggra melintas batas dan diterima berbagai kalangan.
Memang, cerpen “Katemu ring Tampaksiring” karya Made Sanggra pernah dialihwahanakan menjadi arja oleh Prof. Wayan Dibia. Belakangan, cerpen itu dijadikan lakon drama gong dalam lomba drama gong remaja Pesta Kesenian Bali (PKB).
Menurut Dibia, awalnya dia tak tertarik dengan cerpen “Katemu ring Tampaksiring” karena hanya cerpen. Namun, setelah membacanya, dia menyadari karya itu penting karena merepresentasikan relasi Bali dalam konteks globalisasi. Lalu muncul idenya untuk menjadikannya sebagai lakon arja.
“Saya lalu menemui Pak Made Sanggra, minta izin untuk menjadikan cerpennya sebagai lakon arja. Ketika saya minta izin memasukkan tokoh antagonis, beliau tak memasalahkan,” tutur Dibya. [T]