Perkenalkan, nama saya Delima. Saya seorang guru di sekolah swasta. Saya baru saja mengikuti rapat tentang Asesmen Nasional di sekolah. Asesmen Nasional atau disebut secara singat, AN, adalah sebuah penilaian yang bukan menentukan lulus tidaknya siswa tetapi sebagai rapor mutu sekolah.
Saya tidak mengikuti dengan sungguh-sungguh rapat ini, jadi mohon maafkan bila saya tidak bisa membagi dengan jelas apa itu AN dan bagaimana prosedurnya. Mohon jangan sampaikan pada kepala sekolah saya atau pada dinas pendidikan apalagi kementerian.
Yang saya tangkap adalah AN ini pengganti Ujian Nasional alias UN yang dihapuskan. UN adalah penentu lulus tidaknya siswa. Perihal inilah yang membuat saya tak fokus pada rapat karena saya hanya bisa dibawa pada sebuah cerita tentang UN dan bagaimana dampaknya terhadap seseorang yang saya kenal. Namanya, Tunas.
***
Benar, namanya unik sekali karena itu saya terus mengingatnya. Sebelum membaca lebih lanjut izinkan saya menyampaikan imbauan bahwa mungkin kisah ini tak terlalu penting, tak akan memberi dampak apa pun pada masa depan Anda tapi lanjutkanlah membaca bila Anda bersedia mendengarkan perihal yang mengusik hidup saya sepanjang malam.
Tunas adalah juara kelas sejak SD. Peringkat terendahnya adalah juara tiga saat kelas enam SD. Saat SD, Tunas sering mewakili sekolah dalam berbagai lomba. Lomba membaca cepat saat kelas 2 SD, lomba membaca puisi saat kelas empat, dan lomba murid teladan saat kelas lima. Tunas terlalu serius dan mungkin terlalu manut terhadap perintah guru.
Tunas sempat bercerita, ambisinya menjadi yang terbaik di kelas adalah untuk membuktikan bahwa dia mampu. Dia berusaha untuk dirinya, bukan untuk ibunya atau untuk teman-temannya. Dia pernah menangis saat pertama kali turun peringkat menjadi juara dua.
Saat lomba murid teladan pun Tunas hanya masuk 30 besar dari sekian siswa terbaik di kabupaten. Dia tidak menangis saat itu. Dia malah sangat bersyukur bisa masuk 30 besar melawan siswa terbaik masing-masing sekolah. Saat persiapan lomba dia bingung tentang bakat apa yang bakal ditampilkan dalam lomba. Dia tak bisa menari, main musik, atau menyanyi.
Dia tak bisa menyanyi tapi suka menyanyi. Suka dan bisa adalah hal yang berbeda bukan? Begitu bagi Tunas. Akhirnya dia memilih untuk bernyanyi.
***
Saat masuk SMP, Tunas mulai benar-benar berjuang. Dia masuk di salah satu SMP terbaik di kotanya melalui tes tulis, bukan nilai rapor. Peringkat 180 dari 192 siswa yang dicari. Tunas tetap senang. Bukan peringkat yang dia lihat, tapi keberhasilannya bergabung ke salah satu SMP terbaik di kotanya.
Saya pikir, Tunas tak benar-benar ambisius untuk menjadi yang terbaik. Di SMP, Tunas tenggelam, tak meraih prestasi apa pun. Hidupnya kikuk saat adaptasi dengan remaja-remaja pintar juga harus berhadapan dengan pubertas. Tak ada cerita tentang juara kelas atau lomba-lomba yang dia ikuti. Tunas hanya menonjol di pelajaran bahasa Inggris tapi itupun yang kesekian dari siswa di kelasnya.
Walau sering unjuk tangan saat pelajaran bahasa Inggris tapi Tunas tak pernah terpilih mengikuti lomba, bahkan seleksi pun tidak. Banyak siswa kelas tinggi yang lebih baik, jauh lebih baik dari Tunas. Untuk pertama kalinya dia merasa sekolah tak lagi menyenangkan. Ia mulai ketakutan karena merasa tak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Ia mulai bolos pada hari tertentu, saat pelajaran yang tidak dia kuasai.
Mimpi buruk Tunas datang saat ada telepon dari sekolah pada hari pengumuman kelulusan ujian nasional. Pihak sekolah ingin berbicara dengan orangtuanya. Saat itulah dia tahu berita ini bukan berita baik. Teman dekatnya di sekolah menghubunginya melalui telepon rumah dan bertanya mengapa dia belum datang ke sekolah karena lima menit lagi pengumuman kelulusan.
Tunas mengurung diri di kamar, menangisi nasib yang malang. Ia merasa tak pernah benar-benar mengabaikan pelajaran di sekolah. Dia bolos sekolah hanya pada hari Rabu dan karena ia merasa tidak enak badan. Perutnya mual setiap membayangkan guru ekonomi yang akan selalu menyindirnya, menyampaikan mengapa Tunas tak penah berkonsentrasi saat pelajarannya.
Tunas mulai mengingat kegemilangannya di SD. Ia menangis sejadi-jadinya harus menerima fakta bahwa ia tak lulus SMP karena nilai matematikanya 4,00. Syarat kelulusan saat itu adalah tak boleh ada nilai 4,00 di tiga mata pelajaran yang diujikan. Nilai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris Tunas adalah 8,00, hanya matematika yang tak memenuhi syarat.
Tunas hampir putus asa bahkan ingin mengulang SMP kalau saja dia tak tahu bahwa ada SMA swasta yang bersedia menerima siswa tidak lulus UN SMP selama mengikuti paket B. Tunas dan beberapa siswa lain yang tidak lulus SMP mendaftar paket B sambil mendaftar di SMA. Saat itu Tunas mendaftar di SMA swasta itu sendirian.
Dia datang membawa uang yang dipinjamkan dari teman bapaknya karena pendaftaran ini terlalu mendadak. Saat membawa syarat pendaftaran dan menyampaikan kondisinya yang tidak lulus SMP, pegawai sekolah itu menatapnya lekat-lekat dan menyampaikan bahwa dia harus berhadapan dengan kepala sekolah. Tunas yang saat itu 14 tahun mulai cemas, apakah impiannya lanjut ke SMA akan terjegal lagi.
“Kenapa tidak lulus? Boleh saya lihat nilai-nilai ujian sekolah dan juga ujian nasional?” suara kepala sekolah itu terdengar ramah walau penuh selidik.
Tunas menyerahkan apa yang diminta kepala sekolah dengan tatapan cemas.
Kepala sekolah melihat nilai Tunas, dibolak-balik mulai dari lembar nilai UN, ujian praktik, ujian sekolah.
“Nilaimu…” Kepala sekolah mengalihkan pandangan dari lembar nilai ke wajah Tunas yang pucat penuh harap. Kepala sekolah memperbaiki posisi kacamatanya. “Hanya matematika yang bermasalah. Nilaimu bagus semua yang lain. Bahkan lebih bagus dari beberapa siswa yang lulus.”
Tunas hampir menangis mendengar kalimat itu.
“Kalau saya terima kamu di sini, apakah kamu akan bertanggung jawab dengan kesempatan ini atau akan tetap melempem bersama nilai matematikamu?” Tunas belum sempat menjawab ketika kepala sekolah melanjutkan “Orangtuamu dimana? Dengan siapa ke sini? Sendirian?”
“Saya ke sini sendirian. Kesungguhan saya mendaftar di sekolah ini saya tunjukkan dengan berani datang sendirian karena bapak dan ibu saya harus bekerja dan saya berjanji akan membuktikan bahwa saya layak diterima di sekolah ini dan akan berterima kasih pada sekolah yang telah memberikan saya kesempatan,” suara Tunas bergetar namun pasti. Ia tak tahu darimana datangnya keberanian ini.
Kepala sekolah tersenyum. “Baik, akan saya tunggu. Akan saya ingat nama ini dan saya tunggu pembuktianmu.” Kepala sekolah menoleh ke pegawai pertama yang ditemui Tunas. “Daftarkan nama ini.”
Tunas merasakan kelegaan luar biasa mengalir di sekujur tubuhnya yang telah tegang sejak kedatangan pertamanya.
Pegawai itu mengangguk dan mengisyaratkan Tunas agar menghampirinya. “Biar adik tahu, hari ini pendaftaran terakhir. Jam 2 seharusnya nama-nama siswa yang diterima di sini sudah diumumkan dan ditempel di papan pengumuman.” Tunas dan ibu pegawai menoleh jam dinding. Jam 1:45.
“Terima kasih, Bu,” Tunas mengucapkan dengan sangat tulus walau mungkin ibu itu tak menyadarinya.
“Terima kasih pada kepala sekolah,” gumam pegawai itu sambil mengecek berkas pendaftaran yang dibawa Tunas.
***
Kisah SMA Tunas dimulai. Tunas tak ikut pelajaran dari Senin-Rabu karena harus mengikuti paket B. Saya tidak akan menceritakan bagian-bagian dia harus mengejar pelajaran SMA Senin-Rabu sambil belajar paket B persiapan untuk ujian penyetaraan, karena itu bukan fokus cerita ini.
Saya akan menceritakan sedikit janji Tunas pada kepala sekolah sebelum saya menuju bagian utama kisah Tunas.
Di kelas Tunas ada banyak siswa pandai. Tunas tak yakin dia mampu meraih juara belum lagi kadang dia ketinggalan pelajaran Senin-Rabu dan harus memaksimalkan pemahamannya sendiri agar sebanding dengan teman-temannya. Matematika dan fisika masih menjadi kelemahan Tunas. Dia berupaya bertanya dengan teman sekelasnya yang menganggap Tunas asing.
Di kelas Tunas ada beberapa teman SMP-nya yang tahu bahwa Tunas tak lulus. Tunas mengabaikan apa pandangan teman-teman sekelasnya karena toh faktanya dia memang tak lulus. Suatu ketika saat pelajaran bahasa Inggris Tunas angkat tangan dan memperkenalkan dirinya dalam bahasa Inggris sembari bercakap-cakap dengan guru bahasa Inggrisnya.
Percakapan pertama dengan temannya yang pandai fisika adalah dia ingin bertukar jawaban bahasa Inggris. Tunas sangat bersyukur karena Fisika benar-benar kelemahannya. Tunas ingin segera kelas sebelas agar bisa memilih jurusan bahasa.
Setelah Tunas menuntaskan ujian paket B-nya Tunas telah menjadi siswa kelas sepuluh sepenuhnya dari Senin-Sabtu. Di kelas Tunas ada Oktober, siswa yang sangat pandai Matematika dan seluruh pelajaran IPA. Ada juga Jemari yang pandai fisika, belum lagi Semara yang pandai secara merata di seluruh mata pelajaran. Tunas teringat dengan janjinya pada kepala sekolah.
Saat pengumuman juara kelas Tunas tak ada di tiga besar. Dia peringkat keempat. Sungguh mengejutkan mengingat masih ada Astangga dan Suratmaja yang begitu pandai. Akan tetapi ada yang lebih mengejutkan lagi, yang baru diketahui Tunas. Bapak kepala sekolah dipindahkan. Bapak kepala sekolah kini menjadi pengawas sekolah.
Tunas begitu terkejut dan ia hampir menangis karena tak sempat memenuhi janjinya pada sosok yang menjadi jembatan mimpinya yang hampir putus. Bahkan Tunas tak sempat mengucapkan perpisahan karena yang ia dengar hanyalah pergantian kepala sekolah.
Saat kelas sebelas, Tunas berhasil masuk kelas bahasa dan mewakili sekolah mengikuti lomba. Tunas meraih juara dua di kabupaten dan akan mewakili kabupaten bersama juara satu untuk berlomba di tingkat provinsi. Walau tak meraih juara di provinsi, Tunas sangat puas. Tunas meraih juara satu di kelas.
Saat pengumuman juara di lapangan sekolah, nama Tunas didengungkan lebih keras oleh kepala sekolah. “Selain meraih juara umum di kelas bahasa, Tunas, teman kalian meraih juara dua dalam lomba di kabupaten dan mewakili sekolah berlomba di provinsi. Inilah sebuah bukti siswa cerdas dan giat berusaha mampu meraih prestasi untuk dirinya sendiri dan untuk sekolah,” kata kepala sekolah disertai pujian lainnya.
Tunas bangga. Mungkin dia hanya ingin melihat wajah bapak kepala sekolah yang dulu dan juga teman sekelas yang meledeknya sebagai siswa tak lulus.
***
Kisah utama Tunas dimulai di sini, di kelas dua belas, sebelum ujian nasional (UN). Tunas terkenal di sekolah sebagai siswa pandai dan penurut. Tak ada pelanggaran dalam buku sakunya. Suatu ketika saat sedang ke sekolah untuk membantu persiapan persembahyangan di sekolah Tunas melihat bapak kepala sekolah sedang duduk di dekat ruang guru.
Tunas bergegas menghampiri bapak kepala sekolah. Bagi Tunas, hanya bapak kepala sekolah yang dulu menerimanyalah disebut bapak kepala sekolah walau tak lagi menjadi kepala sekolah di sekolahnya.
“Bapak, selamat siang,” katanya terengah.
Bapak kepala sekolah menoleh. “Oh ya, selamat siang. Kenapa berlari?”
“Bapak, apakah Bapak masih ingat saya? Saya Tunas.” Tunas memandang penuh harap.
Bapak kepala sekolah terdiam sejenak mengamati wajah Tunas mungkin berusaha mengingat. “Saya siswa yang dulu tidak lulus SMP dan diterima di sini di hari terakhir pendaftaran oleh Bapak. Saya sangat terkejut mendengar berita kepindahan Bapak. Saya berhasil meraih juara, Pak. Saya juara umum dari kelas sebelas hingga kelas duabelas semester satu. Saya juga berhasil meraih juara dua mewakili sekolah saat lomba di kabupaten. Saya berhasil memenuhi janji saya, Pak.”
Bapak kepala sekolah tersenyum memandang Tunas. Tunas tak tahu apakah senyum itu menandakan bapak kepala sekolah sudah mengingatnya. “Kamu murid pandai, memang layak diberikan kesempatan kedua. Saya turut senang atas prestasimu.”
Sebelum sempat berkata-kata lagi, Tunas mendengar suara bapak wakil kepala sekolah memanggil Bapak kepala sekolah. “Saya harus ke kantor. Sekali lagi selamat. Teruslah membuktikan diri.” Bapak kepala sekolah mengulurkan tangan.
“Bapak, saya sangat berterima kasih atas kesempatan yang telah diberikan sampai saya bisa melanjutkan SMA. Saya akan selalu mengingat Bapak.” Tunas menjabat tangan bapak kepala sekolah dengan erat.
Bapak kepala sekolah mengangguk.
“Panggilan untuk Tunas siswa kelas duabelas Bahasa harap menuju ruang wakil kepala sekolah!” Terdengar suara di speaker sekolah.
Tunas bergegas merapikan buku pelajarannya dan mohon izin pada guru yang sedang mengajar di kelas. Hari ini adalah satu minggu sebelum ujian nasional dilaksanakan. Siswa kelas duabelas sedang mendapat kelas intensif untuk persiapan UN. Tunas mengetuk pintu dan segera membuka pintu. Bapak wakil kepala sekolah mengangguk dan mempersilakan Tunas duduk di hadapannya.
“Bagaiamana persiapan UN-nya, Tunas?” Pak wakil kepala sekolah membuka percakapan.
“Sejauh ini lancar, Pak. Tadi kami sedang menjawab soal sastra.” Bapak wakil kepala sekolah memperbaiki posisi duduknya, memfokuskan perhatiannya pada Tunas. Tunas langsung memperbaiki posisi duduknya.
“Tunas, kamu juara umum dan kebanggan sekolah bukan?” Pak wakil menatap Tunas lekat-lekat. “Tunas, saya memiliki sebuah permintaan, permohonan bantuan padamu.”
Tunas menahan napas.
“Tunas, ini adalah kunci jawaban ujian nasional.” Pak wakil menyodorkan amplop.
Tunas menatap pak wakil tak percaya, matanya membelalak.
“Tunas, jangan sebarkan jawaban ini sebelum ujian masing-masing mata pelajaran. Sebarkan jawaban ini seolah-olah kamu yang menyebarkan. Seolah-olah jawaban yang disebar adalah jawabanmu. Jangan sampai ketahuan ini jawaban dari sekolah. Semua siswa kelas bahasa akan percaya pada jawaban Tunas. Sebarkan jawaban ini mungkin 40 sampai 30 menit sebelum waktu ujian masing-masing mata pelajaran berakhir.”
Tunas memandangi wajah pak wakil kepala sekolah.
“Tunas murid yang baik, saya yakin Tunas pasti bisa. Kelas bahasa dibagi menjadi dua ruangan bukan? Nanti Tunas sebar jawaban pada teman yang Tunas percaya di ruang dua untuk menyebar pada teman-teman di sana.”
“Pak, saya tidak pernah mencontek. Saya tak pernah berlaku curang saat ujian. Saya bahkan tak lulus SMP karena saya dulu tak berani bertanya satu jawaban pun pada teman saya yang pandai matematika. Saya bahkan yakin kalau saja saat itu saya bertanya satu soal saya lulus SMP, Pak.” Tunas menatap wajah pak wakil memelas, berharap beliau mengerti kecemasannya.
“Tunas, ini bukan tentang kamu. Kamu akan menyelamatkan seluruh teman-temanmu, bahkan menyelamatkan lembaga. Lihat efek yang lebih besar Tunas. Kamu murid pandai, kamu pasti lulus UN, tapi bagaimana dengan teman-temanmu? Teman-teman yang kamu ajak bersama tiga tahun. Kamu adalah orang yang paling tahu bagaimana perasaan tak lulus sekolah.”
Tunas diam.
Pak wakil berusaha meyakinkan Tunas. “Ini tidak hanya kamu yang melakukan, Tunas. Juara umum dari kelas IPS dan MIPA juga sudah bapak panggil. Mereka sanggup dengan senang hati karena bisa membantu teman-teman dan sekolah. Saya sampaikan dengan cara yang sama. Tidak akan ada yang meragukan kalian para juara umum sekolah.” Pak wakil mendorong amplop itu pada Tunas. “Ingat Tunas, jangan sampaikan perihal ini pada siapapun. Jawaban yang tersebar bukanlah dari sekolah tapi jawaban dari juara umum.” Pak wakil mengisyaratkan agar Tunas meninggalkan ruangan.
Tunas melipat amplop itu dan memasukkannya ke saku.
Setiap hari, menjelang UN, Tunas berdoa pada Tuhan. Baginya hanya Tuhan yang paling layak membenarkan atau menyalahkan tindakan ini. Tunas sudah dibutakan dengan ketakutannya. Dia menangis tiap malam tanpa sepengetahuan bapak dan ibunya. Dia melihat pesan teman-temannya yang ketakutan karena hari-hari penghakiman mereka sebagai siswa kelas duabelas akan segera datang.
Tunas memandangi amplop yang masih tersegel, yang belum dia buka sama sekali. H-1 UN sore hari, Tunas mengajak Bening, teman sekelasnya yang berada di ruang 2 untuk bertemu lebih awal besok pagi saat UN. UN dimulai jam 8 pagi dan Tunas meminta Bening agar ke sekolah sekitar jam 7 sambil belajar bersama.
Bening adalah juara dua di kelas. Kadang Tunas sering mengajak Bening diskusi bila ada tugas matematika yang tak bisa dikerjakan sendiri. Doa Tunas malam ini lebih khusyuk dari biasanya. Dia membuka amplop jawaban dan menyalinnya ke dalam 39 kertas kecil, 39 karena dia tidak menulis untuk dirinya. Itulah kejujuran yang dijanjikan Tunas pada Tuhan. Dia akan membuatkan jawaban untuk teman-temannya tapi tidak untuk dirinya.
UN hari pertama telah tiba, Tunas berangkat ke sekolah sesuai janji dengan Bening. Setelah berbasa-basi menanyakan persiapan UN, Tunas menyampaikan pesan pak wakil kepala sekolah pada Bening. Pesan yang sama persis. Tidak ada yang terlewat kecuali kalimat tentang Tunas yang paling tahu perasaan siswa yang tidak lulus. Tunas menyerahkan kunci jawaban untuk mata pelajaran hari ini, ada dua mapel.
“Untuk mata pelajaran selanjutnya akan kuberikan di jam yang sama seperti ini juga ya,” bisik Tunas sambil bergegas ke ruangannya karena teman-teman sudah mulai berdatangan. Tunas duduk di bangkunya sambil menghitung jam, menunggu bel tanda UN akan dimulai. Akhirnya Bel itu terdengar juga.
Tunas duduk dengan gelisah di bangkunya, dia ingat lukanya saat SMP dulu. Tahun ini lagi-lagi dia harus berhadapan dengan tekanan yang sama karena UN. Pengawas memeriksa ruangan dan siswa, meyakinkan tidak ada yang membawa HP, catatan, atau contekan. Tas diletakkan di depan kelas. Tunas membuka soal bahasa Inggris. Soal pertama adalah menyimak percakapan dari audio. Seminggu sebelum ujian dimulai teman-teman sudah berpesan untuk saling berbagai jawaban, pesan itu terutama ditujukan pada Tunas. Ia hanya mengangguk.
Tunas tak menyangka dia bisa menjawab sebagian besar soal bahasa Inggris. Ia ingat betul saat try-out soal-soal bahasa Inggris lebih sulit dari ini. Tunas melirik jam, hampir saja dia lupa. 09.25. Tunas merogoh sakunya perlahan, mengambil lipatan-lipatan kecil yang disiapkan kemarin malam.
“Pssssttt…” Tunas memanggil Bara yang duduk di sebelahnya. “Sebar ya, berantai,” bisik Tunas saat pengawas itu berdiri di depan pintu.
Bara mengangguk, menerima lipatan Tunas. Tunas mengawasi pergerakan Bara yang menyebar perlahan lipatan itu secara berantai. Tunas begitu gugup sampai ia merasa kesulitan berkonsentrasi saat menjawab 10 soal terakhir.
Saat istirahat menunggu ujian kedua Tunas merasa ada yang aneh pada pandangan teman-temannya. Mereka tak melirik Tunas saat Tunas menatap mereka, tak berkata apapun. Setelah Tunas mengalihkan pandangan, ia bisa mendengar teman-temannya berbisik sambil meliriknya. Ini bukan hal biasa. Biasanya mereka akan berdiskusi, meminta Tunas mengajari mereka. Tunas menghampiri Bening di ruang 2 untuk menanyakan bagaimana prosesnya, teman-teman di ruang 2 langsung hening saat Tunas masuk.
Tunas tahu ada yang tidak baik dari hal ini. Kelas mulai ribut lagi setelah Bangsa, teman sekelas Tunas di ruang 2 membuat lelucon dari lengan bajunya yang terlipat aneh. Perasaan Tunas tak begitu baik, dia bergegas ke kelas berharap ujian kedua segera berakhir. Saat ujian kedua dimulai Tunas langsung membenamkan diri di soal-soal. Setelah sekian lama Tunas mengangkat wajahnya dan kaget betul karena ini sudah jam 13.00. Artinya, 30 menit sebelum waktu ujian berakhir. Tunas segera memanggil Bara untuk menyebar jawaban.
Bara menerima jawaban Tunas. Saat menyebar jawaban Tunas sadar ada beberapa siswa yang menolak jawabannya.
Hari kedua UN, Tunas menyerahkan jawaban pada Bening. Tunas melihat teman-temannya yang di ruang 1 menghampiri Bening saat Tunas keluar dari ruang 2. Mereka juga masih mendiamkan Tunas, kecuali beberapa siswa laki-laki yang masih bercanda dan meminta jawaban pada Tunas.
Pada 30 menit sebelum waktu berakhir Tunas menyebar jawaban dan sekali lagi melihat beberapa teman yang dia lihat menemui Bening tadi tak meminta jawaban yang disebar Tunas lewat Bara. Saat bel tanda ujian kedua akan dimulai Tunas melihat teman-temannya di ruang 1 berlarian dari ruang 2, mereka memasukkan sesuatu ke sakunya.
Tunas menyebar jawaban lagi, kali ini 45 menit sebelum waktu ujian berakhir. Terjadi lagi beberapa siswa menolak jawaban Tunas. Jam 13.30 Tunas pulang dengan gontai, menunggu kendaraan umum yang melintas di sekolahnya. Perasaannya tak tenang selama ujian. Untung saja dia bisa menjawab soal bahasa jepang tadi.
Tunas ingat betul saat hari ketiga UN ia menyerahkan jawaban pada teman-temannya bahkan sebelum ujian dimulai tapi teman-temannya menolak dan mengatakan sudah mendapatkan dari Bening. Tunas masih tak paham salahnya dimana. Ia hanya menuruti prosedur yang diminta oleh wakil kepala sekolah. Pulang ujian Tunas langsung ke kamar dan tidur tanpa mengganti seragam sekolah.
“Tunas bangun! Mau belajar jam berapa?”
Tunas terbangun mendengar suara ibunya. Dia melirik jam, 18.30. Ia segera bergegas mandi. Bersiap-siap untuk UN hari terakhir besok. Tunas sedang memandangi soal latihan sastra Indonesia saat handphone-nya berbunyi. Nomor tak dikenal. Tunas mengangkat dengan ragu.
“Halo, selamat malam!” sapa Tunas.
“Selamat malam, Tunas. Ini Ibu Gelora.” Tunas terkesiap. Ibu Gelora adalah guru matematika di kelasnya, yang juga ibu Bangsa, teman sekelasnya.
“Oh selamat malam, ibu. Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya Tunas gelagapan.
“Tunas, tenang belajarmu? Tenang setelah kamu menyimpan sendiri kunci jawaban yang kamu miliki, kamu gunakan sendiri agar nilaimu bagus sendirian?” Tunas terdiam, berusaha mencerna kalimat Ibu Gelora.
“Maksud ibu?”
“Tidak usah pura-pura, Tunas. Ibu sudah tahu, ibu sudah dengar cerita dari Bangsa. Kamu tidak membagikan jawaban yang kamu dapatkan. Bangsa mendapat jawaban dari Bening, bukan kamu!” Suara ibu Gelora meninggi.
“Jawaban dari Bening itu jawaban dari saya juga, Bu. Saya diminta memberikan pada Bening agar disebar dengan teman-teman di ruang 2.” Tunas berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Lalu kenapa teman-teman di ruang 1 malah meminta jawaban pada Bening yang di ruang 2, bukan sama kamu?!” hardik Bu Gelora. Belum sempat Tunas menjawab Bu Gelora sudah berkata lagi “Tunas, saya sangat kecewa dengan kamu. Saya kira kamu memiliki moral yang baik karena kamu pandai. Tunas kita lihat apa hukuman Tuhan padamu karena kamu begitu licik dan egois. Itu jawaban untuk bersama malah kamu simpan sendiri. Kamu tidak merasa bersalah dengan teman-temanmu? Kamu benar-benar mengecewakan, Tunas. Nilai besar sendiri itu untuk apa sih, Tunas? Caramu kotor begitu, tidak ada artinya kalau nilaimu besar Tunas. Seharusnya kamu malu. Dosamu tidak hanya sama teman-temanmu, tapi juga pada Tuhan. Saya yakin Tuhan tidak akan diam melihat tingkah lakumu.”
Tunas diam sebelum akhirnya mengumpulkan sisa kekuatannya. “Baik, Bu. Mari kita lihat. Bila memang benar Tuhan tidak diam melihat ketidakbenaran, saya tidak akan menjelaskan lagi. Biarkan Tuhan yang menunjukkan siapa yang benar, Bu. Saya hanya meminta satu hal, silakan ibu tanyakan pada pihak sekolah apakah saya salah atau tidak.”
Esok harinya, hari terakhir UN Tunas menyerahkan amplop kunci jawaban pada Bening. “Bening aku minta tolong kamu saja yang menyebar ini ya. Toh sama saja teman-teman pada mencarimu untuk menyalin jawaban. Terima kasih banyak atas bantuanmu, Bening.”
Tunas benar-benar ingin ini semua segera berakhir. Ia sangat ingin segera bertemu dengan Bu Gelora dan pak wakil kepala sekolah. Setidaknya pak wakil kepala sekolah harus menjelaskan ini semua dan membersihkan nama Tunas. Apakah sia-sia perjuangannya belajar dan bahkan tidak melirik sedikitpun kunci jawaban yang diberikan padanya sejak seminggu lalu.
Tidakkah teman-temannya seperti Bu Gelora, menganggap nilai besar yang dia dapatkan saat UN adalah hasil contekan? Apa yang sebenarnya sedang dia perjuangkan? Apakah UN memang akan selalu memberikan kenangan menyakitkan pada dirinya? Tapi kenapa?
Saat bel tanda jam ujian sudah berakhir seisi kelas bersorak bahagia karena UN telah berakhir. Mereka saling peluk, tepuk tangan, dan mengucapkan perpisahan pada guru pengawas. Tunas tersenyum melihat tingkah laku teman-temannya.
Bara menatap Tunas. Begitu pula teman-teman yang lain. “Tunas, kami sudah tahu bahwa kau memegang kunci jawaban. Kami sengaja tidak minta karena kami ingin tahu kenapa kau sengaja memberikan jawaban menit-menit sebelum ujian berakhir. Bisa kau bayangkan kalau kami tidak meminta jawaban untuk pelajaran umum pada siswa kelas IPA dan IPS? Kami tidak tahu akan dapat jawaban darimu atau tidak sementara kau begitu tenang membaca soal tanpa menoleh ke arah kami yang waswas.” Begitulah kata Bara.
“Kami sudah tahu kalau setiap juara umum diberikan kunci jawaban. Kami mendengar kabar dari Rosalia juara umum kelas IPS,” tambah Kirana yang selama ini selalu menolak kunci jawaban Tunas.
“Mereka memberikan jawaban sebelum ujian dimulai, tidak beberapa menit sebelum ujian berakhir,” ungkap Kirana. “Kami akan melupakan hal ini karena syukurnya ketakutan-ketakutan kami telah berakhir. Semoga hidupmu baik-baik saja, Tunas. Bagi kami yang bodoh ini nilai besar tak pernah penting. Kelulusan bersama adalah yang paling penting. Dan kami merasa lebih baik darimu dalam hal ini.”
Teman-teman keluar beriringan meninggalkan Tunas yang mematung.
Tunas menuju ruang wakil kepala sekolah, berharap beliau ada di sana. “Halo, Tunas. Ada yang bisa saya bantu?” Pak wakil kepala sekolah sedang berdiri di lemari berkas dengan beberapa lembar kertas di tangannya.
“Saya ingin memohon bantuan bapak untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Ibu Gelora dan teman-teman. Saya menuruti semua kalimat yang bapak perintahkan. Saya bahkan tak bisa tidur dan tak henti-henti menangis sebelum ujian. Saya bahkan tak bisa berkonsentrasi dengan baik saat menjawab soal ujian. Ibu Gelora dan teman-teman mengira saya dengan sengaja menyimpan kunci jawaban untuk kepentingan saya sendiri, mereka mengira saya sengaja memberikan jawaban menit-menit terakhir ujian. Padahal saya hanya menuruti apa yang bapak katakan, buat mereka percaya bahwa jawaban yang disebar adalah jawaban dari saya demi nama sekolah.”
“Saya menuruti semuanya dengan takzim, betapa takutnya saya karena saya akan mempertaruhkan nama sekolah, belum lagi ketakutan saya tertangkap pengawas. Saya melakukan ini demi sekolah, Pak. Demi teman-teman. Tapi yang terjadi malah berbanding terbalik, Pak. Mereka katakan saya egois dan licik, Pak. Saya bahkan mempertaruhkan kejujuran saya tak melakukan kecurangan. Saya tidak mencontek kunci jawaban, Pak. Saya menjawab sendiri.”
“Hasil ujian nasional saya walau bagaimanapun hasilnya nanti adalah hasil belajar saya sendiri, bukan karena kunci jawaban. Saya bangga dengan itu, Pak. Saya berhasil mempertahankan kejujuran saya. Saya ingin bapak menjelaskan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi dan untuk siapa saya sebenarnya begini.” Tunas menahan tangisnya. Dia tak mau menangis karena dia tak salah.
Pak wakil kepala sekolah tersenyum. “Tunas, bagus itu yang kamu katakan. Saya rasa sekolah tidak perlu menjelaskan apapun pada mereka. Ini bukan masalah besar, Tunas. Biarkan saja mereka mengatakan apapun, kejujuran itu biar kamu dan Tuhan yang tahu. Mereka hanya bisa berkata-kata, tak bisa melakukan apapun lagi. Sekolah tidak perlu menjelaskan apapun pada siapapun terkait hal ini.” Wakil kepala sekolah memandang Tunas lekat.
“Pak, Ibu Gelora guru di sekolah ini. Tidakkah seharusnya beliau tahu bagaimana rencana sekolah tentang hal ini? Kenapa ini bisa jadi kesalahan saya, Pak? Mereka membawa Tuhan, Pak dalam setiap percakapan. Tidak ada masalah untuk sekolah tapi ini masalah untuk batin saya, Pak. Saya melakukan ini demi sekolah, Pak tapi sekolah tidak peduli dengan efek yang harus saya terima.”
“Tunas, ini bukan perkara besar. Percayalah. Setelah ini kamu lulus SMA. Kamu akan mengerjakan hal-hal lain yang lebih besar dan lebih penting dari pandangan mereka terhadapmu. Abaikanlah, Tunas. Fokuslah pada mimpi-mimpimu yang lebih besar.” Pak wakil kepala sekolah menutup percakapan.
Tunas menatap pak wakil dengan pandangan nanar. “Saya permisi, Pak”
***
Nama saya Delima. Saya seorang guru di sekolah swasta. Dan saya tak begitu mengerti dengan sikap Tunas, teman-teman sekalian.
Mengapa dia begitu jujur dan serius menanggapi pesan pak wakil kepala sekolah. Seharusnya dia bisa seperti juara umum lain yang santai dan berbagi untuk kepentingan bersama. Sekarang lihat apa yang harus dia terima? Bukan hal baik. Dia harus menanggung hal yang bukan salahnya karena ketulusannya, karena kejujurannya.
Saya juga tak tahu apa yang begitu membebaninya hingga dia harus pergi ke danau pada suatu malam. Tunas memandang danau dengan mata berlinang. Dia merasa tak perlu bermimpi besar lagi. Mimpinya hanyalah menjadi siswa yang baik, yang jujur. Dia senang belajar tapi kalau ternyata pendidikan sekotor ini toh dia tak butuh lagi. Lihat berapa kali UN melukainya. Hampir mematahkan mimpinya kalau saja dia tak diterima di SMA swasta ini. UN kedua juga tak baik. Lembaga pendidikan yang dia percayai, yang dia agungkan tak peduli pada nasibnya.
Tunas tak ingin telibat lagi dengan segala tetek bengek ujian nasional. Dia benci ujian nasional. UN tak memberikan efek baik untuk dirinya dan juga tak layak menghakimi kemampuannya. Tunas benci setengah mati. Dibawanya dendam itu ke danau. Semakin dalam, semakin dalam dia pergi, kemudian tenang.
***
Saya bukan Tunas, saya hanya mengamati dari luar, jadi saya masih tak tahu mengapa dia memilih mengakhiri hidupnya. Saya hanya tahu betapa dia membenci ujian nasional dan sekarang ujian nasional ditiadakan. Saya bukan Tunas dan saya menyesal dia harus mengakhir hidupnya. Lihat, ujian nasional pada akhirnya ditiadakan. [T]