Setiap jiwa yang dilahirkan selalu memiliki sisi terang dan gelapnya masing-masing—tak terkecuali manusia. Jiwa-jiwa itu liar, dan memiliki jiwa berarti harus pandai-pandai menjinakkannya. Manusia sering terlena akan hal-hal buruk, bahkan bagi dirinya sendiri, mereka mudah membenci, meremehkan, dan mengutuk, termasuk kepada dirinya sendiri. Sedih, benci, marah, kecewa, tidak percaya diri, dengki, dan keburukan lainnya datang ke setiap makhluk yang memiliki jiwa liar. Dan pilihanmu tenggelam di dalamnya atau melawannya lalu kembali ke sisi yang lebih baik.
******
Di lereng gunung berapi yang sudah lama tak pernah muntah, terdapat sebuah desa yang memiliki tanah subur. Terlihat lalu-lalang masyarakat dengan pakaian tebal berlapis untuk melindungi kulit mereka dari sengat dingin; topi kupluk pada tiap-tiap kepala, yang menutup telinga mereka. Transportasi sepeda dan gerobak yang ditarik kuda terlihat di jalanan desa. Kerikil dan bebatuan memenuhi jalanan. Suara angin, burung-burung berkicau, dan hewan-hewan ternak bersautan seperti orang ngobrol. Kebanyakan penduduk desa itu adalah seorang petani dan peternak. Tidak heran, tanah desa itu sangat cocok dijadikan lahan perkebunan, sayur atau buah selalu memberi hasil melimpah, dan itu juga berlaku untuk makanan ternak sehingga mudah mencari makanan untuk mereka.
Anjing lalu lalang di desa itu, mereka seperti kawan bagi para petani atau peternak. Tapi mereka bukan ternak, tapi adalah kawan adalah hewan penting di desa itu. Anjing-anjing itu punya tugasnya sendiri, seperti petani yang bertugas menanam, peternak memelihara ternaknya, anjing-anjing menjaga semua itu. Setiap rumah, paling tidak memiliki satu ekor anjing penjaga untuk mengusir tikus, musang, dan hama-hama lain yang dapat mengancam ternak dan meracau kebun mereka.
Suatu pagi salah satu keluarga di desa itu mengadopsi dua anjing jantan yang dipersembahkan sebagai hadiah ulang tahun putranya yang berumur tujuh belas. Anak itu bernama Danil. Anak laki-laki dengan rambut cukup panjang hingga menutupi telinga, tangannya kasar, dan tubuhnya kekar. Ia terlihat lebih dewasa dari anak-anak berumur tujuh belas. Ayahnya memberikan kedua anak anjing itu karena sudah waktunya Danil belajar mengurus ternak dan ladang keluarga mereka.
“Jaga kedua anak anjing ini, mereka akan membantumu kelak,” tegas Ayahnya.
“Aku akan menjadikan mereka anjing yang baik,” jawab Danil penuh semangat.
Wajah Danil berseri, sorot matanya seperti seorang ayah yang sejak lama menanti anak. Sejak hari itu, Danil menjaga dan merawat anjing-anjingnya dengan penuh kasih, memberinya makan teratur, mengajak anjing-anjing itu bermain, dan memandikannya, atau sekedar mengelus-elus bulu mereka yang semakin lama semakin bertambah lebat. Terkadang, Daniel lelap bersama kedua anjing berbulu tebal itu di gudang.
Dua tahun berlalu, anjing yang dulunya lucu dan menggemaskan, kini menjelma anjing-anjing gagah. Bulu yang panjang memenuhi badan, otot-otot di sekitar betis dan kakinya, dan jika mereka berlari tampak seperti elang memburu itik. Taring mereka panjang dan tajam mengintai di balik mulutnya, dan dengan tatapan awas, mereka mengawasi ladang dan ternak milik keluarga Danil.
“Waktunya makan malam!” Danil memanggil mereka dengan lantang. Anjing itu langsung mengerti bahwa panggilan itu tanda untuk mengisi perut.
“Jon! Jay! Kemari!” teriak Danil memanggil kedua anjing itu.
Jon dan Jay berlari menghampiri Danil. Lalu, Jon dengan lahap menyantap makan malamnya sampai tak tersisa sedikit pun, tetapi sebaliknya dengan Jay. Sejak beberapa hari lalu, Jay tidak menghabiskan makanannya, entah karena apa. Danil yang melihat itu berbicara kepada Jay seperti ayah yang menegur anaknya.
“Jay habiskan makananmu! atau tak kuberi makan lagi!”
Tentu saja tak ada jawaban dari Jay, dan Jay tetap menyisakan makanannya dan berpaling dari hadapan Danil, lalu tertidur di atas karung goni tempat biasa ia tidur.
Beberapa hari kemudian, Danil dan Ayahnya menuju kebun. Di kebun keluarga Danil terdapat berbagai macam sayuran dengan pagar kayu mengelilingi seluruh bagian dari kebun itu. Saat mereka sampai di sana, sungguh terkejutnya mereka melihat sayur-sayur yang mereka tanam habis tercabut dari tanahnya. Semua rusak, tersisa bekas gigitan pada setiap sayur itu. Unggas-unggas yang ada di peternakan mereka mati. Sama seperti sayur, ada bekas gigitan.
“Hama-hama sialan!” gumam Ayah Danil.
Ayah Danil merasa kesal, kesal terhadap hama yang telah menghancurkan kebun dan membunuh ternak, dan dengan anjing-anjing yang seharusnya menjaga itu semua.
“Danil! Bagaimana kau mengajari anjing-anjing itu, bagaimana bisa ternak dan kebun kita dibiarkan seperti ini?” Ayah Danil marah.
Jon si anjing ada di hadapan mereka. Sepertinya, Jon paham perasaan ayah Danny, sehingga ia menelungkupkan ekornya ke bawah dan menundukkan kepalanya sambil melenguh seperti anak-anak yang memelas meminta mainan. Tetapi, tidak dengan Jay, anjing yang belakangan menjadi pemalas, bahkan untuk sekadar menghabiskan makanannya itu tak terlihat batang hidungnya.
Sadar dengan Jay yang tak bersama Jon, Danil berlari mencari Jay dengan memanggil-manggil namanya. Mereka disusul oleh Ayah Danil di belakang. Tak berselang lama, kemudian Danil melihat Jay tertidur dengan posisi menelungkup ketakutan di belakang gudang penyimpanan jerami. Ia mengigil dan mengeluarkan suara-suara yang tak biasa Danil dengar. Tentu saja saat itu Danil merasa cemas, cemas dengan keadaan Jay yang sepertinya tidak baik-baik saja. Dan, Danil ingat kembali, belakang ini Jay kehilangan nafsu makannya.
“Akhir-akhir ini, Jay bertingkah aneh, Ayah,” terang Danil kepada ayahnya.
Tapi, Ayah Danil tidak menjawab. Ia memperhatikan Jay lebih hati-hati, Danil merasa ada yang aneh sebab di mulut Jay terlihat ada bekas sayur dan darah meski kedua itu disamarkan oleh liur Jay yang terus menetes, tetapi masih terlihat.
“Di mana dia mendapat sayur? Dan sejak kapan kau memberinya daging segar?” Ayah terlihat sedang berpikir, mengelus-elus dagunya tanpa memalingkan tatapan dari anjing yang tidur melingkar itu.
“Tidak!” jawab Danil singkat.
“Aku tahu siapa penyebab kekacauan ini!” gumam ayahnya tanpa memalingkan tatapan pada Jay.
Danil tidak ingin mempercayai apa yang Ayahnya maksud. Sebelum ayahnya mengambil keputusan, Danil bergegas memberikan tawaran.
“Aku akan memangil Dion untuk memeriksa Jay,” kata Danil.
Dion adalah dokter hewan yang paling disegani penduduk desa itu. Mereka memercayai Dion sebagai pemilik tangan ajaib, sebab bila dia mengobati ternak, dalam hitungan beberapa hari, ternak mereka akan pulih kembali. Danil bergegas ke rumah Dion. Tidak sampai 10 menit, Danil sampai di depan rumah Dion dengan napas terengah-engah. Danil tahu persis di ruangan mana biasanya Dion berada.
“Dion! Tolong periksa anjingku!” kata Danil dengan terengah-engah.
“Ada apa? Tenang!” jawab Dion.
“Anjingku menunjukkan gelagat aneh, dan ayahku curiga anjingku membunuh ternak dan merusak kebunku. Sepertinya Jay, anjingku tidak sedang baik-baik saja. Tolong ajingku, Dion!”
“Tunjukan aku di mana anjingmu berada,” kata Dion.
Dion membawa alat-alat yang sekiranya berguna untuk memeriksa Jay. Mereka pun bergegas pergi menuju tempat di mana Jay berada. Sampainya di tempat Jay berbaring, Dion mulai memeriksa Jay. Dion mengeluarkan sarung tangannya, lalu, memeriksa mata Jay, tapi tiba-tiba, anjing itu mulai agresif lalu menyerang Dion. Anjing itu mengerang seperti menghadapi musuh, air liurnya mengalir lengket, dan menggonggong namun ekornya tetap menelungkup.
“Tenang Jay, Kau hanya diperiksa sebentar.” Danil berusaha menenangkan Jay.
“Ikat saja dia!” kata Dion setelah memperhatikan liur yang terus-menerus menetes.
Ayah Danil bergegas mengambil tali tambang untuk mengikat leher Jay. Danil yang melihat itu merasa ngilu dan matanya mulai berkaca-kaca. Setelah tali itu terikat di leher Jay, Dion lanjut memeriksa. Tak lama, Dion tampaknya sudah mendapatkan kesimpulan.
“Kau harus merelakannya,” kata Jay kepada Danil.
“Tidak! kau dokter, kau pasti bisa menyembuhkannya!” bantah Danil.
“Jay menderita penyakit menular yang tidak ada obatnya, yang bisa kita lakukan sekarang hanya membunuhnya. Jika tidak, penyakit itu akan menular ke anjingmu yang lain,” jelas Dion.
Danil memeluk Jay dengan erat, ia tidak rela jika Jay dibunuh. Tapi, Jay tampaknya merasa asing dengan Danil, sehingga Jay hendak menyerang Danil sebagaimana menyerang Dion. Beruntung, tali itu membatasinya. Danil terpelanting ketika Jay menyeringai ke arahnya. Danil berusaha menenangkan Jay, tetapi ia justru menggonggong denga liur yang terus menetes. Meskipun begitu, bagi Danil, Jay bukan sekedar hewan peliharaan, dia adalah teman, sahabat sekaligus keluarga yang harus sembuh, bukan dibunuh.
“Tidak! jangan bunuh Jay!” Danil berteriak di hadapan Dion dan Ayahnya.
Danil mendekati Jay, tapi Jay memberontak, menggonggong, meraung seperti tangisan anjing pada malam-malam musim kawin mereka. Jay nampaknya sudah tidak mengenali siapa pun.
“Tenang Jay, aku, Danil!” Danil berusaha menenangkan Jay dan berusaha menyentuh kepalanya.
“Kau lihat, dia sudah tidak mengenalimu lagi, jika tidak dibunuh, akan ada banyak korban lain. Ternak akan dimakan, kebun akan hancur, dan tentunya Jon kelak bernasib sama,” tegas ayahnya, tetapi kata-kata itu tidak membuat Danil merelakan Jay, ia masih berusaha menyentuh kepala anjingnya itu.
“Kau akan menyelamatkan Jay atau kau akan menyelamatkan ternak, kebun, dan Jon? Jika kau tetap menahannya, maka kenangan buruk tentang Jay akan selalu kau ingat, tetapi jika kau membiarkan Jay pergi, maka tidak akan ada kenangan buruk,” kata Dion.
Mendengar itu, Danil menghentikan usahanya, seketika Ayah Danil menarik Jay dan membawanya ke arah tumpukan jerami yang sudah kering, jerami yang tertumpuk di dekat pagar sebelah timur, jerami-jerami kering yang mudah terbakar.
“Dion, pegang yang erat,” kata Ayah.
Dion memegang erat tali yang diikatkan ke Jay, sedangkan Ayah mengambil korek dan minyak di gudang. Danil masih tidak rela jika Jay harus berakhir menjadi seonggok anjing gosong, ia berlari dan berusaha merebut tali itu dari Dion. Mereka tarik-menarik. Tapi, Dion terempas. Lalu, bangkit dan kali ini, ia berharsil menyentuh Jay yang sudah lemas.
Jon seperti paham bahwa semuanya tidak baik-baik saja, lalu keluar dari persembunyiannya. Ia berlari ke arah Danil dan menggonggong sekeras-kerasnya dan menarik Danil untuk menjauh. Melihat Danil seperti orang bodoh, ayahnya ikut menariknya menjauh dan mendorongnya hingga tersungkur.
“Jon pun tahu mana yang baik dan buruk. Anak bodoh!” Ayah Danil membentak.
Tanpa ragu-ragu ayah langsung memukul Jay dengan besi panjang yang ia pegang. Besi itu melayang dengan cepat lalu membentur kepala Jay. Darah keluar dari bagian kepala. Jay merintih sambil meronta-ronta. Gerakan anjing itu kehilangan kendali. Dan lagi-lagi, Danil mencoba menghalangi Ayahnya, tapi gagal. Berkali-kali, hal itu dilakukan ayahnya, lalu Jay yang sudah tak sadar ditaruh di atas tumpukan jerami. Sisa sayur, bangkai ternak turut di taruh di atas anjing itu. Tidak menunggu lama, minyak ditumpahkan.
“Dion kau pegang Danil,” suruh Ayah.
Ayah melempar api ke tumpukan jerami berlumuran minyak itu, dengan cepat api menyambar seluruh permukaan yang tersiram minyak. Perlahan-lahan tubuh Jay terbakar, bulunya yang lebat telah lenyap, ototnya yang kekar menghitam, lalu semua itu hangus tak menyisakan bentuk kecuali belulang.
“Maafkan aku Jay!” Danil mengungkapkan penyesalannya.
“Pilihan yang tepat,” kata Dion.
Asap hitam mengepul memenuhi udara. Bau menyengat tak juga habis meskipun Jay sudah tak bisa dikenali lagi.[T]
____