Nepal adalah sebuah tujuan bagi banyak orang. Nepal adalah tempat orang menemukan dan ditemukan oleh tujuan. Dalam sebuah malam yang dingin, saya tiba di Tribhuvan International Airport, Kathmandu. Saya sangat siap. Saya tahu menuju kemana.
Pertanyaannya, mengapa Nepal? Jawabannya karena mungkin sudah takdir saya. Saya hadir di Nepal bukan untuk mendaki Gunung tertinggi di dunia, Mount. Everest. Bukan juga untuk bermain paragliding, atau rafting di sungai Nepal yang indah, atau bermeditasi di kuil kuil dan pagoda pagoda yang indah. Saya datang untuk menulis puisi. Benar. Seorang Profesor bernama Alan Maley mengundang saya turut menulis dan hadir di Creative Writing workshop di Pokhara. Tugas utama kami adalah membuat puisi, Haiku, dan cerpen. Sebelum hadir di Nepal, kami sudah harus mengirimkan semua syarat karya itu. Plus sebuah rancangan workshop untuk guru guru di Nepal. Semua harus dikumpul jauh hari sebelum kami datang.
Saya sempat bertimbang cukup lama, apakah harus saya datang. Mengapa harus datang. Tapi sepertinya jiwa Nepal memanggil manggil dengan lantang. Sayapun memutuskan hadir. Segenap jiwa.
Saya siapkan semua. Sebaik-baik yang saya bisa.
24 November 2019. Pukul 19.30 waktu Nepal. Udara dingin menyambut saya.
Saya disapa ramah petugas visa. Perempuan yang manis. Dia membantu saya ke mesin visa. Cepat, praktis, tidak mengantri lama. Saya tersenyum. Tidak sesulit yang saya bayangkan. Para turis yang mengantri di outlet pembayaran visa on arrival kebanyakan adalah turis dengan perlengkapan mendaki. Dari penampilan dan barang yang dibawa mereka adalah pasukan penakluk gunung. Hanya saya saja membawa tas punggung ransel kecil dan tas tangan wanita. Seorang perempuan lain, dari wajahnya orang Indonesia, berdiri di antrian. Saya menatapnya. Lalu kami hampir bersamaan keluar, saya menyapa lebih dahulu. Dari Indonesia, Mbak?
“Iya.”Jawabnya. Mbak juga?
Iya. Kata saya. Saya bertanya, dia mau kemana. Seperti yang saya duga, ia mau mendaki gunung. Wow. Perempuan pendaki gunung. Dari Indonesia pula. Tiba giliran dia bertanya, ada apa saya ke Nepal. Saya jawab, menulis puisi. Dia lebih tertegun lagi. Wow. Katanya. Menulis puisi?
Ya saya jawab. Kami berbasa basi sebentar. Lalu kami berpisah. Ia dijemput temannya dan saya dijemput oleh sopir taksi hotel.
Nepal segera membuat saya merasa nyaman. Sopir yang membawa saya adalah orang Nepal asli Kirtipur yang baik dan sopan. Hotel yang saya tuju adalah Hillside Kirtipur. Perjalanan lumayan lancar sekitar 30 menit. Kami tiba di hotel. Pemandangan yang terhidang di depan mata adalah kerlap kerlip perbukitan dan perumahan penduduk yang terserak berarak arak indah. Saya disuguhi teh Nepal yang hangat. Ajaya, laki laki pengelola hotel dan pemilik hotel menjelaskan di pagi hari kami bisa melihat view pegunungan dari tempat saya duduk. Juga dari kamar.
Malam itu saya menikmati teh yang hangat. Sambil membayangkan, betapa indahnya Nepal. Dan betapa ramahnya orang orang yang membantu saya tiba.
Keesokan harinya setelah sarapan kami berkenalan dengan peserta lain. Ternyata ada di hotel yang sama adalah penulis dari beberapa negara. Phuong and Thuy dari Vietnam, Janpa dari Thailand, Dhruva dari India dan Vishnu Ray dari Nepal. Juga ada peserta dari Indonesia yaitu Lanny Kristono dari Salatiga. Dia membawa suaminya serta. Kami semua dijemput untuk dibawa ke Pokhara. Sebuah tempat wisata yang nun jauh di sana, 209 kilometer dari Kirtipur Kathmandu. Pemandu kami sekaligus penyelenggara acara adalah Motikala Subba Dewan dan Sarita Dewan, dua duanya adalah penulis Nepal yang juga aktif di Nepal English Language Teacher Association atau Nelta. Motikala adalah Presiden Nelta. Dia begitu ramah menyapa kami semua. Sarita lebih senior dari Motikala. Mereka berdua sangat hangat.
Van kami meluncur. Di tengah perjalanan kami menjemput Maya Ray, juga salah seorang penulis Nepal.
Luar biasa. Kami menaiki Van yang cukup untuk ber 13. Perjalanan sangat indah melalui pemandangan bukit dan sungai yang mengapit jalan raya. Sungai yang mengalir di sepanjang perjalanan seakan tiada habisnya. Sungai itu bernama Trisuli. Mengingatkan pada Trisula senjata dewa Siwa.
Setiap 2-3 jam jalan tempuh kami berhenti untuk ke toilet atau meregangkan kaki.
Minum teh, membeli buah. Lalu berangkat lagi. Pemberhentian selanjutnya kami makan siang di sebuah restoran lokal yang menghidangkan menu Tali ala Nepal. Seperti makanan India juga. Ada kuah daal, ada ikan, ayam dan sayur.
Lumayan.
Perjalanan terus berlanjut sekitar 9 jam total. Kami ingat berangkat dari Kathmandu sekitar pukul 9 pagi dan baru tiba di Pokhara sekitar pukul 18.00. Sembilan jam! Wow
Namun semua kelelahan sirna dengan keindahan Pokhara. Kamipun segera beristirahat di kamar lalu makan malam. Dan mempersiapkan workshop keesokan harinya.
Pagi, 26 November adalah hari workshop bermula. Kami membahas tulisan yang telah kami bawa untuk diberi masukan oleh teman lain. Kami membaca karya teman lain, sementara karya kami juga dibaca. Saling memberi masukan dan saran untuk perbaikan. Kami juga membacakan karya.
Hari pertama sesi pertama kami fokus pada haiku. Puisi dengan 3 baris, aturan suku kata 5-7-5
Salah satu Haiku teman saya dari Vietnam berbunyi begini.
Frozen Vietnamese
Thirty nine dead in a truck
Couldn’t say goodbye
Haiku ini dibuat oleh Thuy yang terinspirasi dari berita tentang meninggalnya 39 migran Vietnam di sebuah truk kontainer yang membawa mereka ke Inggris.
Berita tentang ini dapat dibaca di:
Kami bertukar inspirasi dan cerita. Tapi Haiku memang sangat efektif menggambarkan kejadian nyata yang tragis. Haiku bersifat pendek, tajam dan menghujam langsung ke jantung. Seperti peluru.
Worshop ini jelaslah bukan bertujuan berindah indah dengan kata namun memberikan sebuah fenomena tragis tentang suatu bangsa.
Sesi berikutnya adalah pembahasan puisi. Yang membuat saya mengenal penulis Nepal Vishnu Ray.
Vishnu adalah penulis Nepal yang sangat terkenal. Karya karyanya sangat indah, filosofis dan estetis. Salah satunya adalah puisi berikut.
Lalu tentu saja saya juga membaca karya Alan Maley yang tak kalah indahnya. Seperti ini.
Dari sini saya belajar bahwa sejauh-jauhnya puisi atau sedalam dalamnya puisi adalah dia yang mampu hadir, menghadirkan dan membuat pembaca hadir dalam pesannya. Kekuatan Haiku, puisi pada akhirnya adalah being present in the presence of the other. Kehadiran haiku mneghadirkan pembaca dalam proses berpikir dan merasakan, berbicara dalam konteks yang berbeda, dengan latar budaya berbeda menghasilkan pengalaman yang berbeda.