6 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

Wulan Dewi SaraswatibyWulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
inUlas Pentas
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa tetap nikmat menyantap hidangan dari stand-stand makanan sambil menatap ke panggung utama. Suasana ini seolah perayaan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenikmatan kuliner.  Minggu, 1 Juni 2025 menjadi ruang dialog yang riuh, bukan hanya antar lidah dan rasa, melainkan antar biografi diri yang disamarkan, dipertanyaakan, bahkan diguncangkan.

Pemandu acara meminta penonton untuk bersiap menyaksikan pementasan dengan tenang. Sutradara Wayan Sumahardika membawa pelantang suara menuju tengah panggung dan menaiki podium persegi. Sutradara memberikan pengantar tentang pementasan ini, The Voices After Cak! adalah pertunjukan teater-tari yang berangkat dari pengalaman berlatih getaran tubuh pada tari kecak dan koreografi lain, untuk mempercakapkan perubahan sosial dan ikatan kerumunan lintas generasi dan wilayah.

Pertunjukan ini diproduksi oleh Yayasan Kelola dengan dukungan dari Kementerian Kebudayaan, dan LPDP. The Voices After Cak! sekaligus menandai proyek riset artistik Mulawali Institute sepanjang 2025-2031 yang bertajuk Dekolonial Expo & Bali.

Lebih lanjut Suma (panggilan akrab Sumahardika), menerangkan bahwa pertunjukan ini seperti game yang memberikan kesempatan kepada penonton untuk berinteraksi dan merespon persitiwa panggung. Penonton diperkenankan memukul gong kecil yang telah diletakkan di atas meja kiri penonton. Gong tersebut dapat dipukul, kemudian penampil akan berganti. Para penampil akan berhenti bercerita bila gong dipukul berkali-kali.

Pertunjukan ini digarap oleh Wayan Sumahardika (penulis, sutradara), Agus Wiratama (produser, dramaturg), performer Jacko Kaneko (koreografer dan seniman performance Banyuwangi-Denpasar), Jesika Kaila (siswi SMP Pasuruan-Denpasar), Karina Sokowati (penari dan DJ Bandung-Bali), Puspita Sari (mahasiswa Denpasar, pegiat lingkungan Bali), Ayu Bestari (manager produksi), Manik Sukadana (penata visual), Yogi (penata musik), Vific Bolang (foto poster), dan Abirama (desain poster).

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival

Usai pemain satu per satu memperkenalkan diri, layar menampilkan arsip dokumentasi video kecak, suara-suara penari kecak yang muncul menggetarkan tubuh-tubuh penampil. Tangan-tangan direntang ke atas, jemari-jemari mulai terbuka. Serempak dari sisi kiri panggung, kaki-kaki penampil menciptakan pengulangan-pengulangan gerak. Silau cahaya putih panggung membuka momen dramatis, dengan garis-garis yang semacam gambaran atas cahaya jiwa. Sinar-sinar kekuatan batin yang perlahan terbit. Ritme energi agresif muncul seakan mengarahkan perhatian penonton pada hentakan kata tunggal yang magis, CAK!.

Guncangan dan Benturan

Metafora gerak bermunculan bagi gelombang tsunami. Penonton terfokus pada arus utama narasi yang dihentakan berulang-ulang. Derasnya data-data diri yang terurai di atas podium, memancing ketegangan. Bentuk idiom tubuh itu saling menerjemahkan isu-isu sosial yang disampaikan melalui perfomativitas fisik dan suara napas yang terengah-engah.  Bunyi-bunyi yang timbul tidak hanya memantik empati, tapi lebih pada penggalian diri atas ketertindasan. Upaya penghadiran biografi personal penampil sebagai startegi masuk ke dalam wacana besar, cukup dipertimbangkan dalam pertunjukan ini. Pengalaman tubuh, endapan ingatan, kerak emosi, tumpukan harapan yang direbutkan, dikeroyok, dirampas, seperti dalam kosakata bahasa Bali ca-cak.

Cak!-yang disebutkan berkali-kali merupakan suara kolektif dan representasi komunitas, sebagai jendela awal percakapan terhadap kondisi Bali kini. Celah-celah untuk mengenal kondisi dan kultur Bali kini yang riuh pembangunan, kemacetan, padat penduduk, industrial, dan keagungan kapitalis lainnya. Tubuh-tubuh yang tersedak menguyah nilai-nilai modern berdampak pada gesekan nurani dan ekonomi. Sehingga dalam konteks performativitas ini, gender dan usia tidak jadi batasan bersuara, melainkan siasat mengguncangkan ketimpangan dominasi kuasa.

Ragam latar dan usia dari pemain menjadikan pertunjukan ini lebih tajam. Setiap pemain membawa perspektifnya masing-masing dengan kostum khas sebagai identitas yang melekat atau dilekatkan padanya. Bahkan bisa jadi, kostum itu membatasi dan membentuk ikatan antara ekspektasi sosial dan kebebasan ekspresi. Kostum bukanlah hal dekorasi semata, namun dapat menimbulkan arsiran dasar peristiwa. Warna yang didominasi abu-abu, hitam, putih adalah ruang kontras tentang ketidakseimbangan, hal buram yang memicu ketidakpastian.

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival

Apa yang sebenarnya dicari dalam diri? Pemain yang suntuk merentangkan tangan ke langit seolah ingin megapai-gapai udara, berharap ada kesegaran atau kesejukan yang hadir. Napas mereka terdengar nyaring dan miris. Mereka saling merespon gerak dan juga merespon ucapan-ucapan pemain lain. Serempak cerita-cerita mereka memanggil peristiwa yang luka di antara bagasi kenangan para penonton. Nyaris penonton mendapat percikan emosi yang memicu histeria. Lapis-lapis gejolak memori itu dikupas dalam kilatan-kilatan cerita yang disampaikan penampil.

Dokumenter dan Partispatoris

Artikulasi isu pada diri penampil tersebut merupakan sebuah dokumentasi personal yang dihubungkan ke dalam isu yang lebih besar dan komperhensif.  Di balik hingar-bingar pariwisata dan modernitas  yang terus berkejaran, masyarakat Bali harus tetap menggenggam erat tradisi leluhur. Namun bagaimana dengan kompleksitas ekonomi yang berdampak pada risiko besar? Tentu pembacaan atas kultur ini dibongkar lagi dengan suara-suara dari para penampil.

“Perempuan yang baik, adalah perempuan yang patuh,” ujar Puspita dalam momennya mengambil mic untuk bercerita dengan ngos-ngosan seolah sedang digempur oleh aturan yang mengikat dan justifikasi atas citraan perempuan ideal dalam masyarakat. Puspita juga menceritakan tentang dirinya yang aktivis, disekap oleh petugas polisi saat melaksanakan aksi demonstrasi menentang World Water Forum. Karena aksinya tersebut, ia dipandang oleh orang sekitarnya seperti bukan perempuan Bali sebagaimana yang dijunjung masyarakat, maka tak jarang ia dijuluki ‘jawa’.

Konteks ‘jawa’ ini tentu bukan merujuk harafiah pada pulau atau suku. Pengucapan istilah ini dilontarkan secara kasual ataupun sindirian (mungkin juga dalam candaan), bilamana terlihat ada seseorang yang dianggap berbeda, terlalu bebas, terlalu frontal, blak-blakan, atau tidak seperti orang yang patuh pada adat. Konteks ini juga dialami oleh Jacko Kaneko seorang koreografer yang sudah lama tumbuh di Bali. Jacko merasa tersulut bila mana identitas latar belakang keluarganya dijadikan topik candaan dengan istilah yang berkonotasi “kamu bukan orang kami”.

Jesika yang merupakan pelajar SMP mempunyai harapan-harapan terhadap masa depannya, namun bila pergaulannya dibatasi dengan identitas keluarganya yang tidak asli Bali, ia merasa tidak adil. Seorang anak perempuan yang berasal dari daerah luar, seperti tidak boleh menggantungkan cita-cita yang besar di Bali.

Di depan gong, gadis kecil berangkat dari bangku penonton. Ia merasa terenyuh, dan tergerak. Ia mungkin merasakan emosi dari Jesika. Meski ia tidak mengerti benar kegelisahan yang dirasa, namun, ia tahu bahwa ini tanda untuk mengawali partisipasi. Gong dipukul, sekali, dua kali, kali ketiga, spontan Karina merebut mic. Setelah gerakan memutar dan mendorong penampil sebelumnya, Karina menerangkan dengan ledak-ledakan perasaan atas momen kritis dan ironi yang dialaminya. Kuasa atas ketimpangan pendapatan antara DJ domestic dan DJ import. Kesenjangan pendapatan itu ia curahkan dengan gamblang hingga kritik pada kebijakan-kebijakan visa. Perspektif gender juga dikritisi oleh Karina dan tubuhnya. Karina berhasil mengkritisi situasi yang ia tentang, ia tahu benar panggungnya, dan kesempatan untuk menggunakan hak politisnya.

Sutradara paham benar dengan konteks  kehadiran pertunjukan The Voices After Cak! di Ubud Food Festival yang dipadati pengunjung dari berbagai latar belakang negara. Konfigurasi ruang juga diterjemahkan dengan baik oleh penampil. Letak panggung yang cenderung lebih tinggi dari pada kursi penonton menawarkan pemaknaan tentang kemunculan suara-suara yang tidak lagi setara dengan mata-mata yang penuh penghakiman dan penilaian.

Letak terali besi pembatas antar panggung dan penonton juga seperti dua mata pisau. Pertama dapat dijadikan strategi tentang kukungan, dan jeratan. Mungkin pada momen ini dibutuhkan penonton atau bahkan panitia yang berpartisipasi langsung untuk membuka batas-batas itu. Kedua, ini dapat dijadikan penghalang bahwa kita nyatanya tidak cukup empati dan tidak benar-benar peduli dengan kepahitan individu lain. Kita terjebak pada diri kita sendiri.

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival

Kemunculan egosentris itu juga terlihat dari bagaimana respon penonton memukul gong. Di satu sisi, kita akan merasa senasib dengan narasi yang dipaparkan penampil, sehingga kita asik mendengar cerita penampil lagi dan lagi. Kita larut dalam kemurkaan diri. Di saat penampil sesak, tak bisa melanjutkan cerita yang pilu, penonton tidak ada yang inisiatif memukul gong. Semua seperti terhipnotis dengan emosi masing-masing. Di sisi lain, bila penonton ingin terlibat dalam permainan pemukulan gong, seperti ada ketidaksenangan penonton terhadap cerita yang disampaikan atau ketidakpedulian terhadap derita narasi yang dihadirkan, kemudian akan memotong seketika dialog yang tengah diucapkan penampil.

Pada momen-momen aksi-reaksi yang spontan, instan, dan terburu-buru ini penampil dan penonton sedang bergulat dalam dirinya. Udara-udara yang sesak, tubuh-tubuh yang semakin terguncang, mic yang ingin diperebutkan, podium yang ingin dikuasai, serta perluasan percikan api mengharuskan semua elemen pertunjukan untuk kembali pada napas. Hingga di menit kedua puluh, ritme permainan mulai melonggar.

Kesadaran dan Kemungkinan-Kemungkinan

Karina sadar betul akan kemungkinan tubuhnya. Ia seperti udara di tengah pengapnya kenyataan yang diledakan. Ia cermat dalam menghitung lompatan adrenalinnya, ia mengukur dengan pasti ‘gencatan senjata’nya. Ketika sudah siap, ia luncurkan dengan ekspresi tajam dan menyayat. Ia sangat paham dengan isu yang sedang diputar dalam The Voices After Cak!. Tubuhnya pun luruh dalam narasi-narasi yang diuraikan pemain lain. Akankah gerakannya tersebut merupakan respon tubuh yang selama ini terguncang, namun disimpan rapat di balik-balik putaran kepingan musik DJnya?

Namun, bila kita melihat hal-hal yang dijejalkan kepada penoton, akankah timbul kemungkinan-kemungkinan lepas sadar? Pertunjukan ini serupa dengan ritual-ritual trans (ketedunan/kerauhan) yang ada di pura-pura. Pelantang suara yang diperebutkan, sama seperti perebutan keris di antara para tubuh yang sedang trans. Tubuh-tubuh itu merebut keris dan menusuk ke bagian tubuhnya. Akankah pelantang suara/mic itu adalah hal-hal yang memungkinkan melukai diri kita masing-masing? Jika yang ingin ditunjukan adalah kuasa atas diri, kuasa atas hak-hak diri, dan kemampuan memilih sikap, tentu sutradara perlu memperhatikan gejala histeria ini.

Mitigasi atas dampak pertunjukan ini perlu ditimbang, tidak semua tubuh dapat mencerna dengan baik lukanya. Perawatan emosi penampil dan penonton perlu diprediksi, sehingga tidak akan memunculkan kerauhan masal. Di satu sisi penggarapan ini sangat berhasil karena mampu mensejajarkan sudut pandang dengan realita para penontonya. Namun di sisi lain, dapat berdampak guncangan spontan yang menular. Keliaran tempo dan kosakata yang dihadirkan dapat diukur kembali dan dieja lagi diksi emotifnya. Sehingga, kepingan-kepingan fakta yang diungkapkan tidak lantas meninggalkan jejak dendam, penghindaran, ujaran kebencian, atau nyeri dada.

Adakah alternatif-alternatif komposisi adegan yang membuka kelegaan? Kemungkinan kemunculan ruang partisipatif bersama-sama, merangkul, dan saling berjabat tangan mungkin bisa diupayakan untuk melenturkan itensitas guncangan tersebut. Dapat pula sebagai upaya sutradara memberikan tawaran solusi dalam menyikapi ruang ego subjektif dengan penyadaran akan kedekatan cerita personal dan perstiwa panggung, kemudian perlahan-lahan, dengan kesadaran kolektif, bersama-sama dapat merangkai harapan dan keniscayaan yang lebih mencerahkan.

The Voices After Cak!, merupakan pertunjukan yang menggugah. Mulawali Institute berhasil memberi ruang dialog yang jujur. Sebuah harapan akan ruang-ruang yang penuh keajaiban. Bukan sekadar ungkapan data dan fakta, bukan hanya pantulan ekspresi, melainkan fragmen-fragmen tentang luka yang sadar dihadirkan, kemudian dirangkul membentuk penyadaran bersama. [T]

Penulis: Wulan Dewi Saraswati
Editor: Adnyana Ole

Sikut Awak : Mengukur Masa Depan Bali
Senyum Rikha dan Cendol Nangka Pertama: Cerita Manis di Ubud Food Festival 2025
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Tags: kecakMulawali InstituteTeaterteater tariUbud Food Festival
Previous Post

Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025

Next Post

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

Wulan Dewi Saraswati

Wulan Dewi Saraswati

Penulis, sutradara, dan pengajar. Saat ini tengah mendalami praktik kesenian berdasarkan tarot dengan pendekatan terapiutik partisipatoris

Next Post
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025

“Hey, do you sell this sauce? How much is it?” tanya seorang turis perempuan, menunjuk botol sambal di meja. “It’s...

by Dede Putra Wiguna
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co