MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa tetap nikmat menyantap hidangan dari stand-stand makanan sambil menatap ke panggung utama. Suasana ini seolah perayaan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenikmatan kuliner. Minggu, 1 Juni 2025 menjadi ruang dialog yang riuh, bukan hanya antar lidah dan rasa, melainkan antar biografi diri yang disamarkan, dipertanyaakan, bahkan diguncangkan.
Pemandu acara meminta penonton untuk bersiap menyaksikan pementasan dengan tenang. Sutradara Wayan Sumahardika membawa pelantang suara menuju tengah panggung dan menaiki podium persegi. Sutradara memberikan pengantar tentang pementasan ini, The Voices After Cak! adalah pertunjukan teater-tari yang berangkat dari pengalaman berlatih getaran tubuh pada tari kecak dan koreografi lain, untuk mempercakapkan perubahan sosial dan ikatan kerumunan lintas generasi dan wilayah.
Pertunjukan ini diproduksi oleh Yayasan Kelola dengan dukungan dari Kementerian Kebudayaan, dan LPDP. The Voices After Cak! sekaligus menandai proyek riset artistik Mulawali Institute sepanjang 2025-2031 yang bertajuk Dekolonial Expo & Bali.
Lebih lanjut Suma (panggilan akrab Sumahardika), menerangkan bahwa pertunjukan ini seperti game yang memberikan kesempatan kepada penonton untuk berinteraksi dan merespon persitiwa panggung. Penonton diperkenankan memukul gong kecil yang telah diletakkan di atas meja kiri penonton. Gong tersebut dapat dipukul, kemudian penampil akan berganti. Para penampil akan berhenti bercerita bila gong dipukul berkali-kali.
Pertunjukan ini digarap oleh Wayan Sumahardika (penulis, sutradara), Agus Wiratama (produser, dramaturg), performer Jacko Kaneko (koreografer dan seniman performance Banyuwangi-Denpasar), Jesika Kaila (siswi SMP Pasuruan-Denpasar), Karina Sokowati (penari dan DJ Bandung-Bali), Puspita Sari (mahasiswa Denpasar, pegiat lingkungan Bali), Ayu Bestari (manager produksi), Manik Sukadana (penata visual), Yogi (penata musik), Vific Bolang (foto poster), dan Abirama (desain poster).

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival
Usai pemain satu per satu memperkenalkan diri, layar menampilkan arsip dokumentasi video kecak, suara-suara penari kecak yang muncul menggetarkan tubuh-tubuh penampil. Tangan-tangan direntang ke atas, jemari-jemari mulai terbuka. Serempak dari sisi kiri panggung, kaki-kaki penampil menciptakan pengulangan-pengulangan gerak. Silau cahaya putih panggung membuka momen dramatis, dengan garis-garis yang semacam gambaran atas cahaya jiwa. Sinar-sinar kekuatan batin yang perlahan terbit. Ritme energi agresif muncul seakan mengarahkan perhatian penonton pada hentakan kata tunggal yang magis, CAK!.
Guncangan dan Benturan
Metafora gerak bermunculan bagi gelombang tsunami. Penonton terfokus pada arus utama narasi yang dihentakan berulang-ulang. Derasnya data-data diri yang terurai di atas podium, memancing ketegangan. Bentuk idiom tubuh itu saling menerjemahkan isu-isu sosial yang disampaikan melalui perfomativitas fisik dan suara napas yang terengah-engah. Bunyi-bunyi yang timbul tidak hanya memantik empati, tapi lebih pada penggalian diri atas ketertindasan. Upaya penghadiran biografi personal penampil sebagai startegi masuk ke dalam wacana besar, cukup dipertimbangkan dalam pertunjukan ini. Pengalaman tubuh, endapan ingatan, kerak emosi, tumpukan harapan yang direbutkan, dikeroyok, dirampas, seperti dalam kosakata bahasa Bali ca-cak.
Cak!-yang disebutkan berkali-kali merupakan suara kolektif dan representasi komunitas, sebagai jendela awal percakapan terhadap kondisi Bali kini. Celah-celah untuk mengenal kondisi dan kultur Bali kini yang riuh pembangunan, kemacetan, padat penduduk, industrial, dan keagungan kapitalis lainnya. Tubuh-tubuh yang tersedak menguyah nilai-nilai modern berdampak pada gesekan nurani dan ekonomi. Sehingga dalam konteks performativitas ini, gender dan usia tidak jadi batasan bersuara, melainkan siasat mengguncangkan ketimpangan dominasi kuasa.
Ragam latar dan usia dari pemain menjadikan pertunjukan ini lebih tajam. Setiap pemain membawa perspektifnya masing-masing dengan kostum khas sebagai identitas yang melekat atau dilekatkan padanya. Bahkan bisa jadi, kostum itu membatasi dan membentuk ikatan antara ekspektasi sosial dan kebebasan ekspresi. Kostum bukanlah hal dekorasi semata, namun dapat menimbulkan arsiran dasar peristiwa. Warna yang didominasi abu-abu, hitam, putih adalah ruang kontras tentang ketidakseimbangan, hal buram yang memicu ketidakpastian.

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival
Apa yang sebenarnya dicari dalam diri? Pemain yang suntuk merentangkan tangan ke langit seolah ingin megapai-gapai udara, berharap ada kesegaran atau kesejukan yang hadir. Napas mereka terdengar nyaring dan miris. Mereka saling merespon gerak dan juga merespon ucapan-ucapan pemain lain. Serempak cerita-cerita mereka memanggil peristiwa yang luka di antara bagasi kenangan para penonton. Nyaris penonton mendapat percikan emosi yang memicu histeria. Lapis-lapis gejolak memori itu dikupas dalam kilatan-kilatan cerita yang disampaikan penampil.
Dokumenter dan Partispatoris
Artikulasi isu pada diri penampil tersebut merupakan sebuah dokumentasi personal yang dihubungkan ke dalam isu yang lebih besar dan komperhensif. Di balik hingar-bingar pariwisata dan modernitas yang terus berkejaran, masyarakat Bali harus tetap menggenggam erat tradisi leluhur. Namun bagaimana dengan kompleksitas ekonomi yang berdampak pada risiko besar? Tentu pembacaan atas kultur ini dibongkar lagi dengan suara-suara dari para penampil.
“Perempuan yang baik, adalah perempuan yang patuh,” ujar Puspita dalam momennya mengambil mic untuk bercerita dengan ngos-ngosan seolah sedang digempur oleh aturan yang mengikat dan justifikasi atas citraan perempuan ideal dalam masyarakat. Puspita juga menceritakan tentang dirinya yang aktivis, disekap oleh petugas polisi saat melaksanakan aksi demonstrasi menentang World Water Forum. Karena aksinya tersebut, ia dipandang oleh orang sekitarnya seperti bukan perempuan Bali sebagaimana yang dijunjung masyarakat, maka tak jarang ia dijuluki ‘jawa’.
Konteks ‘jawa’ ini tentu bukan merujuk harafiah pada pulau atau suku. Pengucapan istilah ini dilontarkan secara kasual ataupun sindirian (mungkin juga dalam candaan), bilamana terlihat ada seseorang yang dianggap berbeda, terlalu bebas, terlalu frontal, blak-blakan, atau tidak seperti orang yang patuh pada adat. Konteks ini juga dialami oleh Jacko Kaneko seorang koreografer yang sudah lama tumbuh di Bali. Jacko merasa tersulut bila mana identitas latar belakang keluarganya dijadikan topik candaan dengan istilah yang berkonotasi “kamu bukan orang kami”.
Jesika yang merupakan pelajar SMP mempunyai harapan-harapan terhadap masa depannya, namun bila pergaulannya dibatasi dengan identitas keluarganya yang tidak asli Bali, ia merasa tidak adil. Seorang anak perempuan yang berasal dari daerah luar, seperti tidak boleh menggantungkan cita-cita yang besar di Bali.
Di depan gong, gadis kecil berangkat dari bangku penonton. Ia merasa terenyuh, dan tergerak. Ia mungkin merasakan emosi dari Jesika. Meski ia tidak mengerti benar kegelisahan yang dirasa, namun, ia tahu bahwa ini tanda untuk mengawali partisipasi. Gong dipukul, sekali, dua kali, kali ketiga, spontan Karina merebut mic. Setelah gerakan memutar dan mendorong penampil sebelumnya, Karina menerangkan dengan ledak-ledakan perasaan atas momen kritis dan ironi yang dialaminya. Kuasa atas ketimpangan pendapatan antara DJ domestic dan DJ import. Kesenjangan pendapatan itu ia curahkan dengan gamblang hingga kritik pada kebijakan-kebijakan visa. Perspektif gender juga dikritisi oleh Karina dan tubuhnya. Karina berhasil mengkritisi situasi yang ia tentang, ia tahu benar panggungnya, dan kesempatan untuk menggunakan hak politisnya.
Sutradara paham benar dengan konteks kehadiran pertunjukan The Voices After Cak! di Ubud Food Festival yang dipadati pengunjung dari berbagai latar belakang negara. Konfigurasi ruang juga diterjemahkan dengan baik oleh penampil. Letak panggung yang cenderung lebih tinggi dari pada kursi penonton menawarkan pemaknaan tentang kemunculan suara-suara yang tidak lagi setara dengan mata-mata yang penuh penghakiman dan penilaian.
Letak terali besi pembatas antar panggung dan penonton juga seperti dua mata pisau. Pertama dapat dijadikan strategi tentang kukungan, dan jeratan. Mungkin pada momen ini dibutuhkan penonton atau bahkan panitia yang berpartisipasi langsung untuk membuka batas-batas itu. Kedua, ini dapat dijadikan penghalang bahwa kita nyatanya tidak cukup empati dan tidak benar-benar peduli dengan kepahitan individu lain. Kita terjebak pada diri kita sendiri.

The Voices After Cak! | Foto oleh Niskala Studio dan Ubud Food Festival
Kemunculan egosentris itu juga terlihat dari bagaimana respon penonton memukul gong. Di satu sisi, kita akan merasa senasib dengan narasi yang dipaparkan penampil, sehingga kita asik mendengar cerita penampil lagi dan lagi. Kita larut dalam kemurkaan diri. Di saat penampil sesak, tak bisa melanjutkan cerita yang pilu, penonton tidak ada yang inisiatif memukul gong. Semua seperti terhipnotis dengan emosi masing-masing. Di sisi lain, bila penonton ingin terlibat dalam permainan pemukulan gong, seperti ada ketidaksenangan penonton terhadap cerita yang disampaikan atau ketidakpedulian terhadap derita narasi yang dihadirkan, kemudian akan memotong seketika dialog yang tengah diucapkan penampil.
Pada momen-momen aksi-reaksi yang spontan, instan, dan terburu-buru ini penampil dan penonton sedang bergulat dalam dirinya. Udara-udara yang sesak, tubuh-tubuh yang semakin terguncang, mic yang ingin diperebutkan, podium yang ingin dikuasai, serta perluasan percikan api mengharuskan semua elemen pertunjukan untuk kembali pada napas. Hingga di menit kedua puluh, ritme permainan mulai melonggar.
Kesadaran dan Kemungkinan-Kemungkinan
Karina sadar betul akan kemungkinan tubuhnya. Ia seperti udara di tengah pengapnya kenyataan yang diledakan. Ia cermat dalam menghitung lompatan adrenalinnya, ia mengukur dengan pasti ‘gencatan senjata’nya. Ketika sudah siap, ia luncurkan dengan ekspresi tajam dan menyayat. Ia sangat paham dengan isu yang sedang diputar dalam The Voices After Cak!. Tubuhnya pun luruh dalam narasi-narasi yang diuraikan pemain lain. Akankah gerakannya tersebut merupakan respon tubuh yang selama ini terguncang, namun disimpan rapat di balik-balik putaran kepingan musik DJnya?
Namun, bila kita melihat hal-hal yang dijejalkan kepada penoton, akankah timbul kemungkinan-kemungkinan lepas sadar? Pertunjukan ini serupa dengan ritual-ritual trans (ketedunan/kerauhan) yang ada di pura-pura. Pelantang suara yang diperebutkan, sama seperti perebutan keris di antara para tubuh yang sedang trans. Tubuh-tubuh itu merebut keris dan menusuk ke bagian tubuhnya. Akankah pelantang suara/mic itu adalah hal-hal yang memungkinkan melukai diri kita masing-masing? Jika yang ingin ditunjukan adalah kuasa atas diri, kuasa atas hak-hak diri, dan kemampuan memilih sikap, tentu sutradara perlu memperhatikan gejala histeria ini.
Mitigasi atas dampak pertunjukan ini perlu ditimbang, tidak semua tubuh dapat mencerna dengan baik lukanya. Perawatan emosi penampil dan penonton perlu diprediksi, sehingga tidak akan memunculkan kerauhan masal. Di satu sisi penggarapan ini sangat berhasil karena mampu mensejajarkan sudut pandang dengan realita para penontonya. Namun di sisi lain, dapat berdampak guncangan spontan yang menular. Keliaran tempo dan kosakata yang dihadirkan dapat diukur kembali dan dieja lagi diksi emotifnya. Sehingga, kepingan-kepingan fakta yang diungkapkan tidak lantas meninggalkan jejak dendam, penghindaran, ujaran kebencian, atau nyeri dada.
Adakah alternatif-alternatif komposisi adegan yang membuka kelegaan? Kemungkinan kemunculan ruang partisipatif bersama-sama, merangkul, dan saling berjabat tangan mungkin bisa diupayakan untuk melenturkan itensitas guncangan tersebut. Dapat pula sebagai upaya sutradara memberikan tawaran solusi dalam menyikapi ruang ego subjektif dengan penyadaran akan kedekatan cerita personal dan perstiwa panggung, kemudian perlahan-lahan, dengan kesadaran kolektif, bersama-sama dapat merangkai harapan dan keniscayaan yang lebih mencerahkan.
The Voices After Cak!, merupakan pertunjukan yang menggugah. Mulawali Institute berhasil memberi ruang dialog yang jujur. Sebuah harapan akan ruang-ruang yang penuh keajaiban. Bukan sekadar ungkapan data dan fakta, bukan hanya pantulan ekspresi, melainkan fragmen-fragmen tentang luka yang sadar dihadirkan, kemudian dirangkul membentuk penyadaran bersama. [T]
Penulis: Wulan Dewi Saraswati
Editor: Adnyana Ole