DALAM rangka memperingati 109 tahun hari kelahiran almarhum perupa Arie Smit, digelar pameran murid-muridnya yang tergabung dalam penggayaan Young Artist.
Pameran yang akan digelar pada tanggal 24 Mei hingga 12 Juni 2025 ini mengambil tema “Young Artist Style : Mazhab Revitalization Now and Future”.
Perhelatan ini mengambil tempat di Neka Art Museum Ubud dan House of Arie Smit. Kurator pameran ini adalah Hartanto, dan Co Kurator Benito Lopulalan.
Karya-karya generasi awal atau murid langsung Arie Smit, ada 8 orang yang sebagian juga sudah almarhum – mereka masing-masing I Njoman Tjakra, I Ketut Soki, Ngurah KK, I Ketut Tagen, I Wayan Pugur, I Wayan Tembles, I Made Runia, dan I Wayan Pageh.

Menurut Direktur Neka Art Museum (NAM) ,Dr. Pande Made K. Suteja, untuk memberi penghormatan kepada para pelukis generasi pertama ini karya mereka akan digelar di Bimasena Hall, Neka Art Museum.
Sementara itu, kata Pande Made K Suteja, generasi penerus penggayaan Young Artist datang dari desa-desa sekitar Ubud yang masih menjadi ladang subur bagi seni, antara lain Penestanan, Baung Sayan, Kutuh Sayan, Mas Sayan, Campuhan, hingga Bongkasa. Komunitas ini terus bertumbuh, membuktikan bahwa semangat Young Artist Style belum padam.
“Ada 17 perupa dari generasi kedua ini yang berpartisipasi dalam pameran ini,” kata Pande Made K Suteja menjelaskan.
Penggayaan Young Artist diinisiasi oleh maestro perupa Arie Smit. Perupa kelahiran Zaandam Belanda 15 April 1916 ini mulai mendidik anak-anak desa Penestanan tahun 1960 an. Ini, diawali oleh pertemuan pelukis Arie Smit dengan anak-anak umur awal belasan tahun di areal sawah Subak Pacekan Penestanan, Desa Sayan, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar.
Menurut penelitian Prof. Wayan Karja, Mfa, hasil yang diperoleh anak-anak yang tergabung dalam young artist memiliki metode khusus dalam pembelajaran terutama learning by doing mentorship dari seorang guru. Pertemuan ini berlanjut dengan inisiatif Arie Smit untuk memberikan bahan-bahan dan alat melukis kepada anak-anak untuk melukis sebebas-bebasnya sesuai kehendak mereka.

Ketut Hodi Soki, “Barong Dance”, acrylic on canvas
Karja menambahkan, Arie Smit pernah menjelaskan, bahwa ia meyakini yang paling tahu tentang lingkungan persawahan dan kehidupan desa sekitar itu adalah anak-anak Penestanan. Faktor kemurnian pikiran anak, kebebasan, dan motivasi ingin tahu menjadi dasar proses belajar mengajar seni lukis. Hasil akhir penelitian ini, ternyata faktor kebebasan anak, learning by doing merupakan kunci sukses pembelajaran di Desa Adat Penestanan. Sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an seni lukis ini sempat menikmati masa kejayaannya.
Spontanitas itu, menurut Prof. Karja, menjadi dasar yang sangat fundamental dalam melahirkan kemurnian insting dan jati diri imajinasi anak. Sesuatu yang naïve, lucu kekanak-kanakan muncul dengan warna yang cerah tanpa landasan teori warna yang pasti. Temanya sesuai dengan kehidupan sehari-hari, cerita rakyat dan pemandangan alam sekitar. Kreativitas ini sangat berbeda dengan tradisi sebelumnya, yang pada umumnya menggunakan teknik lebih halus.
Tentang nama young artist, Arie pernah mengatakan, “Saya lebih suka pada nama ‘Seni Hias Pelukis Muda Bali’ dari ‘Seni Lukis Kanak-kanak,’ karena semua kanak-kanak ini yang datang ke rumahku untuk melukis akan menjadi pelukis professional, apabila seorang daripada mereka mendapat uang dari sebuah lukisan,” kata Arie Smit seperti yang ditulis Prof. Karja dalam penelitiannya.
House of Arie Smit tak hanya menjadi ruang pamer, tapi juga ruang pembinaan. Di sini, semangat membimbing generasi baru terus menyala. Lokakarya pengenalan dan teknik melukis Young Artist Style digelar oleh para penerus langsung: Wayan Kaler sebagai pembina sanggar seni lukis bersama Made Ari Suprapta (anak dari I Ketut Soki) dan I Nyoman Suwirta (anak dari I Ketut Tagen).
“Mereka berkarya, membagikan ilmu, dan menunjukkan bahwa warisan ini tidak hanya dikenang, tapi juga diteruskan dengan penuh cinta dan harapan,” ujar Dr. Pande Made K. Suteja. Selain itu, juga akan digelar lomba melukis dan menulis.

Ni Made Murtini, “Pemandangan di Sawah”, acrylic on canvas
Pameran ini, menurut Pande Made K.Suteja, bukan hanya sekedar tentang melukis. Ia adalah tentang mendengar suara-suara yang selama ini mungkin luput; tentang memberi tempat pada yang sederhana namun penuh cahaya. Ia adalah tentang melestarikan semangat kreatif yang tumbuh dari alam, bukan dari pasar.
Selanjutnya, Direktur Neka Art Museum Ubud ini mengajak untuk merayakan suara-suara jujur dari generasi yang mencintai negerinya melalui warna. “Dan mari kita yakini, bahwa seni yang lahir dari akar, jika dirawat dengan kasih, akan terus tumbuh—menembus waktu, melewati zaman,” katanya.
Pameran ini didukung oleh berbagai institusi termasuk Kementerian Kebudayaan Indonesia, Dana Indonesia, LPDP, NAM, serta sejumlah* media partner seperti MyBaliNews, Tatkala, dan Radar Bali. Pameran secara resmi akan dibuka oleh Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc. Pengunjung dapat menemukan informasi lebih lanjut melalui kode QR yang tersedia di poster pameran. [T]
Reporter/Penulis: Nyoman Budarsana/Rilis
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: