PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali, tidak mampu membaca dengan lancar. Berita ini mencuat setelah Dinas Pendidikan setempat menemukan bahwa sekitar 375 siswa SMP mengalami kesulitan dalam membaca, sebuah kondisi yang seharusnya sudah teratasi di jenjang pendidikan dasar.
Temuan ini bukan hanya mencerminkan permasalahan individu, melainkan menyoroti isu sistemik dalam dunia pendidikan Indonesia. Fakta bahwa siswa-siswa tersebut telah melewati pendidikan dasar namun masih mengalami kesulitan membaca menunjukkan adanya celah dalam proses pembelajaran yang seharusnya menjamin kemampuan literasi dasar.
Pemerintah daerah merespons temuan ini dengan melakukan serangkaian tes kecerdasan untuk memahami apakah kesulitan membaca tersebut disebabkan oleh faktor intelektual atau metode pembelajaran yang kurang efektif. Hasil awal menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki tingkat kecerdasan normal, mengindikasikan bahwa masalah utama terletak pada sistem pendidikan itu sendiri.
Dinas Pendidikan Buleleng mengakui bahwa selama ini fokus pembelajaran lebih banyak tertuju pada pencapaian kurikulum dan nilai ujian, sementara aspek fundamental seperti kemampuan membaca seringkali terabaikan. Hal ini diperparah oleh kurangnya pelatihan bagi guru dalam metode pengajaran membaca yang efektif.
Ketua DPRD Buleleng mendesak pemerintah kabupaten untuk segera mencari solusi konkret atas permasalahan ini. Ia menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kurikulum dan metode pengajaran yang digunakan di sekolah-sekolah, serta peningkatan kompetensi guru dalam mengajarkan keterampilan membaca.
Psikolog pendidikan yang terlibat dalam penanganan kasus ini menjelaskan bahwa kesulitan membaca pada siswa bukan hanya berdampak pada prestasi akademik, tetapi juga pada kepercayaan diri dan motivasi belajar mereka. Anak-anak yang merasa tertinggal seringkali mengalami stres dan kecemasan, yang dapat menghambat perkembangan mereka secara keseluruhan.
Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan keyakinannya bahwa kasus serupa mungkin juga terjadi di daerah lain di Indonesia. Ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan nasional untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Masalah literasi di Buleleng mencerminkan tantangan yang lebih luas dalam sistem pendidikan Indonesia. Menurut data UNESCO, tingkat literasi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata global, dengan banyak anak yang tidak mencapai kemampuan membaca yang memadai meskipun telah menyelesaikan pendidikan dasar.
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya tingkat literasi adalah kurangnya akses terhadap bahan bacaan yang menarik dan relevan bagi anak-anak. Banyak perpustakaan sekolah yang kekurangan buku, dan budaya membaca belum menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Selain itu, penggunaan teknologi dalam pembelajaran masih terbatas. Padahal, integrasi teknologi dapat membantu menciptakan pengalaman belajar yang lebih interaktif dan menarik, serta menyediakan akses ke berbagai sumber belajar yang berkualitas.
Untuk mengatasi krisis literasi ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat. Program pelatihan guru dalam metode pengajaran membaca yang efektif harus menjadi prioritas. Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas bahan bacaan yang menarik bagi anak-anak.
Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam menyusun kebijakan yang mendukung peningkatan literasi. Ini termasuk penyediaan anggaran yang memadai untuk pendidikan, pengembangan kurikulum yang menekankan keterampilan dasar seperti membaca, dan evaluasi berkala terhadap efektivitas program-program pendidikan.
Peran orang tua juga sangat penting dalam menumbuhkan minat baca pada anak. Membacakan cerita kepada anak sejak dini, menyediakan waktu khusus untuk membaca bersama, dan menjadi teladan dalam kebiasaan membaca dapat membantu membentuk budaya literasi di rumah.
Masyarakat luas, termasuk organisasi non-pemerintah dan sektor swasta, dapat berkontribusi melalui program-program literasi, donasi buku, dan penyelenggaraan kegiatan yang mendorong minat baca. Kolaborasi antara berbagai pihak ini akan memperkuat upaya dalam meningkatkan tingkat literasi nasional.
Kasus di Buleleng harus menjadi peringatan bagi seluruh pemangku kepentingan dalam pendidikan. Ini adalah saat yang tepat untuk merefleksikan dan mengevaluasi kembali pendekatan kita terhadap pendidikan dasar, memastikan bahwa setiap anak memiliki kemampuan membaca yang memadai sebagai fondasi untuk pembelajaran selanjutnya.
Investasi dalam literasi bukan hanya tentang meningkatkan kemampuan individu, tetapi juga tentang membangun masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan produktif. Dengan memperkuat kemampuan membaca, kita membuka pintu bagi anak-anak untuk mengeksplorasi dunia, memahami informasi, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Peningkatan literasi juga berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan ketimpangan sosial. Anak-anak yang mampu membaca dengan baik memiliki peluang lebih besar untuk melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan literasi harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan nasional. Pemerintah harus menetapkan target yang jelas, mengalokasikan sumber daya yang memadai, dan memantau kemajuan secara berkala untuk memastikan bahwa setiap anak mendapatkan haknya dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Dalam jangka panjang, peningkatan literasi akan menghasilkan generasi yang lebih siap menghadapi tantangan global, berinovasi, dan berkontribusi pada kemajuan bangsa. Ini adalah investasi yang akan memberikan manfaat berkelanjutan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai penutup, krisis literasi di Buleleng harus menjadi momentum untuk perubahan. Dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif, efektif, dan berorientasi pada pengembangan potensi setiap anak. Mari kita jadikan membaca sebagai jendela dunia bagi generasi masa depan Indonesia. [T]
Penulis: Putu Gangga Pradipta
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: